Selama ini, kulit ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Namun, di tangan tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta limbah tersebut disulap menjadi barang bernilai ekonomis.
Putu Ary Dharmayanti, Aris Rudianto, dan Luqman Hakim menemukan bahwa limbah kulit ikan memiliki potensi besar dalam industri kerajinan kulit, seperti ikat pinggang, tas, maupun dompet yang biasa terbuat dari kulit buaya atau ular.
Putu Ary mengatakan, limbah kulit ikan yang berada di sentra industri fillet ikan di Benoa, Bali sangat melimpah. Namun, pemanfaatannya masih kurang maksimal. Maka, mereka pun mengolah limbah kulit ikan yang berasal dari 23 sentra industri fillet di Benoa, di mana satu sentra menghasilkan 15-23 kilogram limbah kulit setiap harinya.
“Selama ini, limbah kulit ikan di sentra industrei Benoa hanya dibiarkan menumpuk menjadi sampah. Padahal dengan jumlah yang cukup banyak, memiliki potensi yang cukup tinggi unruk dijadikan bahan baku kulit samak,” ujar Putu Ary seperti dilansir dari laman UGM, Selasa (16/8/2011).
Menurut mahasiswa Fakultas Teknik Pertanian ini, penggunaan kulit ular sebagai alternatif bahan baku pembuatan industri kulit, dapat mengurangi perburuan satwa liar dan masuk dalam konservasi yang menjadi bahan baku utama di industri tersebut.
“Saat ini, baru sekira 30 persen kebutuhan kulit di dunia dapat terpenuhi, sementara di Indonesia hanya sekira 20 persen. Pemanfaatan kulit ikan ini diharapkan mampu menjadi bahan baku alternatif untuk memenuhi kekurangan bahan baku kulit,” katanya menjelaskan.
Produk yang dilabeli Skinny Fish “Gold Leather Innovation” ini menggunakan limbah kulit tiga jenis ikan, yakni kakap, tuna, dan mahi-mahi. Pemilihan ketiga jenis ikan ini berdasarkan ketersediaan bahan dan permintaan konsumen serta karekteristik kulit ikan yang unik dan menarik.
“Kulit kakap memiliki permukaan kulit (nerf) dari bekas sisik berbentuk bulat dengan ukuran sedang yang sangat eksotik, begitu pula dengan dua jenis ikan lainnya. Selain itu, serat ketiga jenis ikan ini sangat bagus, hampir menyerupai serat kulit ular,” tutur mahasiswi angkatan 2005 ini.
Produk ini telah dipasarkan secara online sejak Desember tahun lalu dengan harga yang beragam. Untuk samak kulit ikan mahai-mahi seharga Rp15 ribu per lembar, kakap Rp20 ribu per lembar, dan samak kulit ikan tuna dengan ukuran 15cm x 30cm dihargai Rp25 ribu.
Luqman menerangkan, untuk sementara mereka hanya menjual berdasarkan pemesanan sebab masih terkendala dengan keterbatasan kapasitas produksi. Namin, ke depan mereka berencana untuk menaikkan kapasitas produksi guna memenuhi permintaan barang yang berasal dari industri di Jepang dan Rusia.
“Karena menggunakan cara manual, kami hanya mampu memproduksi 100-125 lembar dalam satu kali produksi. Ke depan, untuk meningkatkan produksi, kami akan menggunakan mesin dalam proses produksi. Sehingga dalam satu kali produksi bias menghasilkan 400 lembar,” kata mahasiswa Jurusan Biologi angkatan 2007 tersebut.
Tidak perlu khawatir, sebab produk yang dihasilkan oleh tiga sekawan ini bersifat ramah lingkungan karena menggunakan bahan nabati dan sintesis. Selain itu, bahan pewarnaan kulit samak ini menggunakan pewarna alami
okezone.com