Thursday, 27 March 2025
above article banner area

Lulus UN, Lulus Penjajahan

Judul: Lulus UN, Lulus Penjajahan
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Reza Taofik
Saya Mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta
Topik: Ujian Nasional
Tanggal: 7 Juli 2007

Lulus UN, Lulus dari Penjajahan

Merdeka..!!! begitulah buah kata ekspresi kebebasan jiwa manusia ketika terlepas dari penjara ketertekanan. Kata ini jugalah yang menjadi semangat para pejuang terdahulu kita dalam merobek belenggu penjajahan dari tangan penjajah. Dan kini semangat kata ini kembali terkipas di jiwa putra-putri bangsa yang berhasil lulus Ujian Nasional yang juga berarti lulus dari sekolah.

Teriakan kemerdekaan tanda kelulusan siswa ini seakan menjadi satu suara dengan teriakan para pejuang terdahulu kita dalam memerdekakan negeri ini. Lulus dari UN bisa diartikan lulus dari belenggu penjajahan siswa yang bernama sekolah. Macam bentuk ‘penjajahan sekolah’ dari mulai tugas, tes, buku-buku mahal, LKS wajib, ocehan guru klasik model otorikrasi, hingga ke tekanan-tekanan lainnya menjadikan siswa sebagai kaum yang terjajah. Ibarat cerita sejarah, sekolah ini adalah si penjajahnya, siswa adalah kaum yang terjajah, dan lembar hasil UN adalah naskah kedaulatannya. Maksudnya, siswa akan terbebas dari penjajahan sekolah, jika naskah hasil UN-nya memenuhi syarat kelulusan, dan sebaliknya jika naskah hasil UN-nya belum memenuhi syarat kelulusan, maka penjajahan akan masih selalu mengintainya.

Ekspresi rasa kepuasan siswa terbebas dari belenggu penjajahan ini bisa kita lihat dari fenomena yang terjadi di panggung pendidikan negeri ini pasca hasil UN diumumkan. Aksi corat-coret baju dan tembok-tembok umum, konvoi yang bikin macet, mabuk-mabukan bahkan sampai ke pelecehan seksual merefleksikan ungkapan rasa puas siswa-siswi ‘abg’ di masa labilnya ini. Cerita tentang ini dapat kita temui di hampir seluruh pelosok negeri ini, diantaranya cerita siswa SLTA kota Tangerang, Banten yang merayakan kelulusan dengan corat-coret di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan II, dan sebagian yang lain berkonvoi sehingga memacetkan arus lalu- lintas. Cerita lainnya di Ternate, Maluku Utara, ratusan siswa SMA disana malah terjaring operasi aparat setelah terbukti mengkonsumsi minuman keras (miras) dan mabuk-mabukan merayakan kelulusannya. Masih banyak cerita-cerita over ekspresi lainnya yang dipertontonkan siswa-siswi negeri ini yang cukup paradoks dengan cerminan pemuda bangsa yang katanya berbudi luhur.

Ada yang puas, tentu ada juga yang kecewa. Rasa kecewa ini berlaku pada siswa-siswi yang dipastikan gagal dalam UN. Seakan dunia telah berakhir, rasa kecewa mereka berimbas pada aksi menutut keadilan akan kejelasan masa depan hidupnya. Tak hanya lewat demo, sikap anarkis pun menjadi pilihannya, seperti apa yang terjadi di SMA V Semarang, siswa ribut dengan wartawan peliput berita, aksi saling dorong-mendorong hingga aksi pelemparan botol pun menjadi mainannya.

Fenomema rasa puas dan kecewa atas hasil UN ini membuka mata kita bahwa sistem penilaian pendidikan di tanah air ini masih bermuara pada esensi sebuah nilai (angka). Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi siswa untuk menggali ilmu dan potensinya, malah menjadi tempat pembudakan siswa terhadap angka-angka sebuah nilai. Orientasi belajar siswa selama 3 tahun lamanya hanya bermuara pada tataran sebuah nilai, proses belajar siswa selama 3 tahun lamanya hanya ditentukan oleh tiga hari Ujian Nasional. Penghambaan akan sebuah nilai ini menjebak siswa pada kehampaan akan sebuah arti potensi.

Kisah Baru, Kebusukan Baru

Ada kisah baru dalam pelaksanaan UN 2007 kali ini. Yang pertama adalah penyerahan wewenang dari pusat ke tingkat satuan pendidikan mengenai siapa yang berhak mengumumkan hasil kelulusan. Mengacu pada PP No.19 2005 pasal 72 dan Petunjuk Operasional Standar (POS) pengumuman kelulusan di tahun ini tidak lagi diumumkan secara resmi oleh pemerintah tetapi diserahkan ke sekolah masing-masing atas ketentuan rapat dewan guru setempat. Aturan ini berlaku dengan maksud untuk mengubah persepsi masyarakat yang menganggap kelulusan siswa ini ‘tok’ ditentukan oleh hasil kelulusan UN. Kelulusan menurut PP no. 19 ini ditentukan oleh pihak sekolah, dengan komponen penilaiannya terdiri dari penilaian guru, hasil ujian sekolah, dan hasil UN. Aroma busuk tercium dari aturan baru ini. Langkah ini terkesan sebagai upaya membebaskan pemerintah dari aib-aibnya selama ini, pengalaman tahun-tahun sebelumnya menjadi bahan pertimbangan di tahun 2007 ini agar pemerintah tidak lagi tersudutkan menjadi terdakwa dalam permasalahan UN ini, sehingga pemerintah melimpah-aibkannya ke sekolah.

Cerita yang kedua berasal dari komunitas air mata guru di kota Medan. Aksi buka mulut mereka menguak kebusukan pelaksanaan UN di kota Medan telah menuai benih ancaman dan intimidasi bagi kelangsungan hidupnya. Dikabarkan para guru ini diancam akan dibunuh oleh siswa beserta orang tua siswanya itu sendiri, selain itu pemecatan menjadi ancaman lainnya yang siap diterima para guru ini. Ancaman demi ancaman ini pada akhirnya memaksa komunitas air mata guru ini terbang ke Jakarta meminta perlindungan dan pengusutannya secara tuntas ke Komnas HAM.

Cerita lainnya yang cukup heboh adalah terjadi di kota Padang, tepatnya di SMK Dhuafa Nusantara. 83 siswa disana memboikot pelaksanaan UN dengan ketidak-ikutsertaannya di hari ke-2 dan ke-3 UN. Hal ini terjadi, karena tercibir berita adanya kasus pembocoran jawaban oleh guru kepada siswa saat ujian berlangsung. Selain itu mereka juga menolak tawaran paket C dari pemerintah dengan alasan ijazah dari hasil ujian paket C ini dianggap tidak layak dan merugikan siswa. Mereka lebih memilih tetap mengikuti ujian nasional di tahun depan.

Masih begitu banyaknya efek-efek negatif yang muncul dari pelaksanan UN ini selayaknya menjadi evaluasi besar bagi pemerintah negeri ini. Pelaksanaan UN ini terbukti kurang efektif dalam mencetak generasi bangsa yang berkualitas, yang terjadi sekarang malah mencetak generasi bangsa yang penuh dengan kemunafikan. Selain itu, UN juga telah menggiring siswa menjadi budaknya nilai-nilai (angka) yang terstandarisasi pusat.

Ujian Komprehensif

Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah, ujian tengah semester, ulangan harian dan ujian-ujian ‘kertas’ lainnya adalah termasuk kedalam bentuk evaluasi secara tertulis. Bentuk tes tertulis ini menjadi pilihan yang dinilai efektif dan efisien dalam sistem penilaian pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa harus diakhiri dengan tes tertulis? apakah tidak ada cara lain selain tes tertulis untuk mengetahui standar pendidikan bangsa? apakah tes tertulis ini hanya bermaksud untuk meringankan tugas pendidik dan para petinggi BSNP dalam mengukur standar pendidikan bangsa?.

Pertanyaan-pertanyaan ini pada akhinya menginspirasi saya untuk membuahkan setitik solusi. Mengapa tidak pelaksanaan UN ini diubah format ujiannya jangan lagi menggunakan tes tertulis, tetapi lebih ke tes secara komprehensif menilai kemampuan siswa baik secara lisan maupun tulisan. Mengapa tidak evaluasi akhir gaya Perguruan Tinggi diterapkan juga di tingkat SMA dan SMP, yakni dengan model pembuataan dan penyusunan laporan karya tulis lalu dipresentasikan di hadapan juri. Juri yang menilai bisa berasal dari guru terpilih dan pihak Diknas daerah setempat atau pun langsung dari pusat. Model evaluasi ini bisa dilakukan pada setiap mata pelajaran yang ada. Saya yakin bentuk seperti ini akan lebih objektif dan efektif dalam mengukur tingkat kemampuan siswa, walaupun ini jadinya akan tidak efisien, tetapi apalah sebuah arti waktu, tenaga dan pikiran demi untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkualitas dan terstandarisasi dengan jujur tanpa ada upaya kecurangan dibaliknya.(RT)

Saya Reza Taofik setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *