Sunday, 16 March 2025
above article banner area

MEMILIH SEKOLAH

Judul: MEMILIH SEKOLAH
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KURIKULUM / CURRICULUM.
Nama & E-mail (Penulis): Triya Diansyah
Saya Mahasiswa di pamekasan
Topik: memilih sekolah yang baik
Tanggal: 05 Juni 2007

MEMILIH SEKOLAH
Oleh : Triya Diansyah*

Tak dapat dipungkira ungkapan bahwa masa depan suatu bangsa terletak di tangan generasi muda. Atinya, kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas calon-calon penerus bangsa.

Calon penerus bangsa terdiri para anak muda, remaja serta anak-anak kecil yang akan diasah untuk memperjuangkan bangsa ini. Manakala generasi mudanya berkualitas rendah baik fisik atau psikis, bisa dipastikan bangsa tersebut akan berjalan terseok-seok. Jika hal ini terjadi mereka harus rela menjadi bahan cemooh bangsa lain.

Dalam konteks mempersiapkan generasi pastinya pendidikan (baca; sekolah) yang akan dipilih. Menurut para orang tua sekolah adalah tempat dimana mendidik peserta didik menjadi manusia seutuhnya, menjadi cerdas dan kreatif.

Saat ini marak sekali para anak dan orang tua memilih sekolah. Baik lulusan TK yang akan melanjutkan ke sekolah dasar (SD), dari SD akan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan SLTP ke Sekolah Menengah Umum (SMU) serta siswa SMU yang akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi (PT).

Untuk itu mereka harus memikirkan panjang lebar dalam memilih sekolah yang dibilang berkualitas tinggi entah itu swasta maupun negeri. Informasi akan mereka cari hingga tau kelebihan serta kekurangan dalam lembaga tersebut. Pasalnya, adakah sekarang sekolah yang berkualitas tinggi? Jika berbicara kualitas tentunya kita harus menghadapi setumpukan sumbangan dana sekolah yang menumpuk. Uang seragam, uang pembangunan, uang pengembangan ekstra kurikuler. Dipikir-pikir untuk sekolah itu mahal sekali biayanya.

Lantas, apakah sekolah mahal itu terjamin kualitasnya? Jawabanya pasti belum. Kita lihat fenomena sekarang kebanyakan sekolah yang mahal hanya mnegedepankan materialistik, sehingga tak jarang sekolah-sekolah mahal seperti itu dihuni orang-orang pamerisme (orang suka pemer). Peraturannya begitu gawat, semua siswa harus canggih bisa HP dan Komputer, ke sekolah harus menaiki mobil, seragam sekolah dan atributnya harus bermerek dan mahal. Setelah di cros-chek ternyata out putnya tidak memiliki kemampuan sebagai manusia yang berpendidikan lebih-lebih manusia konsumerisme pendidikan mahal.

Jika seperti ini para orang tua harus memilih sekolah yang murah dan berkualitas. Lagi-lagi pertanyaan. Adakah sekolah murah berkualitas tinggi? Jawabannya pasti membingungkan. Sekolah mahal aja tak berkualitas apalagi yang murah! Semua orang tua bingung, mereka hanya bisa berpangku tangan melihat fenomena dalam pendidikan sekarang ini.

Realita diatas bukan menjadi hal biasa namun luar biasa. Kita pikir jika hanya sekolah mahal yang ada, bagaimana nasib mereka yang berkantong tipis (baca; kurang mampu) pastinya kesempatan untuk menyekolahkan anaknya setebal kulit bawang. Ironisnya lagi bagaimana mereka yang memang belum sama sekali mengenal sekolah! Namun, bagi mereka yang berduit tak menyesal untuk mengeluarkan biaya bagi anaknya yang ingin bersekolah dengan syarat sekolah berkualitas, walau mahal gak apa-apa yang penting ternama.

Rasanya sulit jika kenyataannya seperti ini. Masalah mahalnya pendidikan tak pernah kunjung usai, padahal setiap tahunnya anggaran pendidikan yang hampir tidak pernah lebih dari 10% APBN telah terealisasikan pada lembaga tersebut. Apakah dana tersebut sudah direalisasikan pada siswa? Tak salah jika ada statement “jika akan sekolah pasti ujung-ujungnya uang”

Saat kondisi kaotisitas (kacau balau) sistem pendidikan kita, tak berlebihan jika orang tua akhirnya lebih tidak meilih sekolah. Alasannya. Pertama, sistem pendidikan tak sesuai dengan apa yang seharusnya dijalankan oleh institusi tersebut. Jika sistem tidak beres kemungkinan besar lembaga pendidikan tersebut tidak terorganisir. Kedua, sekolah dibuat sebagai lembaga infestor anak didik yang menghasilkan uang. Ketiga, guru yang tidak profesioanal dan tidak memeprhatikan kemampuan siswa yang berlandaskan pada 5 H. yakni, hand (keterampilan), heart (psikologis), head (intelegensia), humanity (kemanusiaan), dan happy (kebebasan). Ketiga, tidak adanya tranparansi antara elite pendidikan dengan siswa, wali siswa, masyarakat. Sehingga tak jarang sering terjadi kong-kalikong terutama dalam masalah finansial.

Ini terbukti dari survey political an economic Risk Consultant (PERC) baru-baru ibi menunjukkan bahwa kualitas pendidika kita berada pada urutan buncit (ke-12) dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ini jah di bawah Tiongkok. The World Economic Forum Swedia pun melaporkan bahwa Indonesia memliki daya saiang yang rendah. Menduduki urutan ke-37 dan 57 negara yang disurvei di dunia.(Mahera, jawa pos 27 April 2007)

Pendek kata, pemerintah dan lembaga institusi (sekolah) perlu me-rekonstruksi ulang pendidikan yang selama ini banyak problem belum terselesaikan. Sehingga karakteristik pendidikan kita menemukan formulasi yang sistematis.

Tentang Penulis

*Triya Diansyah lahir di Madura 06 Pebruari 1987. Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pamekasan. Jurusan Tarbiyah. Aktif menulis artikel di media massa dan Aktivis Dunia Pendidikan(ADP) Pamekasan Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah D.23 Pamekasan, Madura 69371

No Hp. 081703453287
No tlp Rumah : (0324) 329913
Email : diansyah2006@yahoo.com
No rek BCA ; 1920474175 a.n Triya Diansyah
Saya Triya Diansyah setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *