Judul: SEBUAH DONGENG DARI KONFERENSI PENDIDIKAN INDONESIA
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): SALAMUDDIN
Saya Guru di SMA NEG. 1 SECANGGANG KAB. LANGKAT SUMUT
Topik: KESEJAHTERAAN GURU
Tanggal: 22 MEI 2005
SEBUAH DONGENG DARI KONFERANSI PENDIDIKAN
Oleh: Salamuddin
Penghasilan guru yang pas-pasan kembali diterpa hawa panas kenaikan harga BBM sejak 1 Maret 2005 lalu. Hal ini berdampak terhadap kenaikan harga bahan pokok dan jasa transportasi yang melebihi rata-rata 29% kenaikan harga BBM. Kini, guru lebih banting setir untuk mencari tambahan penghasilan guna mencukupi kebutuhan keluarga. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama maka kondisi guru akan lebih memprihatinkan.
Padahal, kehidupan guru yang umumnya hidup dengan pola P 11 (Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan Potong Pinjaman Pada Perbankan) memiliki hasrat untuk dapat tinggal di komplek perumahan kelas menengah atas dengan mobil sekurang-kurangnya Suzuki Katana, tapi keinginan itu dianggap sebagai lelucon murahan dan bagaikan mimpi di siang bolong. Mungkin ini akibat dari bangsa kita yang telah sukses selama 32 tahun meninabobokkan guru dengan sebutan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Benarkah guru tidak mengharapkan balas jasa?
Prof. Dr. Dedi supriadi (1988) seorang editor buku “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah” mengatakan bahwa sebutan guru sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dalam Hymne Guru agar diubah dengan kata-kata yang lebih sesuai. Perubahan itu diperlukan karena selama ini timbul kesan seolah-olah guru tidak berhak memperoleh imbalan dan menuntut haknya sesuai dengan pengabdian yang besar bagi masyarakat dan bangsanya.”
Pernyataan yang dikemukakan oleh peneliti Balitbang Depdiknas itu perlu dicermati sebagai suatu momentum untuk merenungkan kembali makna gelar yang malahan membuat guru kurang mendapat pengakuan untuk memdapatkan status sosial yang bergengsi di masyarakat.
Jika pada era tahun 1960-an, guru merupakan sosok yang sangat dihormati adalah hal yang sangat beralasan karena indikator masyarakat masa itu masih bersifat nonmaterialistik. Namun pada era globalisasi ini, indikator penilaian masyarakat era 1960-an tersebut sudah tidak relevan lagi karena guru sebagai profesi semestinya dapat menentukan nilai harga jasa yang ditawarkannya. Jika hal ini tidak menjadi isu penting dalam pembangunan sektor pendidikan, maka guru Indonesia akan tergilas oleh roda globalisasi itu sendiri. Hal demikian sejalan dengan empat hal yang direkomendasikan oleh Prof. Dr. Sutjipto, dkk dalam Konferensi Pendidikan Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Sahid, Jakarta, pada 23 – 25 Pebruari 1999.
Pertama. Gaji guru perlu ditingkatkan hingga mencapai standar yang wajar untuk hidup guru dan keluarganya, yakni paling tidak dua kali lipat dari keadaan sekarang. Kenaikan gaji itu dilakukan bersamaan dengan perbaikan pada aspek-aspek kesejahteraan lainnya meliputi prosedur kenaikan pangkat, jaminan rasa aman secara fisik dan psikologis dalam menjalankan tugas, kepastian karier, dan pola hubungan yang lebih menonjolkan kolegalitas daripada hubungan hierarkis dalam lingkungan sekolah. Kedua. Untuk memberikan kepastian upaya peningkatan gaji guru dan membuktikan kesungguhan pemerintah dalam upaya tersebut, perlu dibuat peraturan gaji khusus untuk guru yang berbeda dengan PNS lainnya yang non-TNI. Ketiga. Peningkatan kesejahteraan guru yang dilakukan oleh pemerintah pusat harus diikuti pula dengan peranserta pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, dan orangtua. Keempat. Setelah dilakukan kenaikan gaji guru hingga mencapai standar minimal maka diperlukan restrukturisasi sistem insentif guru dengan memberikan tunjangan fungsional yang sesuai dengan prestasi guru dalam melaksanakan tugas.
Keempat hal yang direkomendasikan kepada pemerintah itu sungguh sangat menggembirakan hati korps Umar Bakri. Namun, hasil penelitian yang diseminarkan dalam Konferensi Pendidikan Indonesia itu hanya sebagai pelipur lara duka nestapa. atau lebih tepat disebut sebagai dongeng. Akankah pemerintahan SBY – Kalla mimpi itu menjadi kenyataan?
Walaupun demikian beratnya cobaan yang dihadapi, guru harus bersyukur karena masih memiliki pekerjaan tetap. Bayangkan bagaimana nasib 41 juta pengangguran yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, guru harus bersabar karena pemerintahan SBY-Kalla belum efektif menjalan roda perekonomian walau sudah melampaui 100 hari kerja.
Penulis adalah Guru SMAN Secanggang Kab. langkat dan Mhs. Prodi Adm. Pendidikan PPs. UNIMED.
Saya SALAMUDDIN setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .