Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap tempat dimana diduga telah terjadi pidana harus dianggap sebagai tempat kejadian perkara ( TKP ), karena ditempat ini merupakan sumber keterangan yang penting dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan atau membuktikan adanya hubungan antara korban, pelaku, barang bukti serta TKP. Tujuan penanganan TKP menurut Departemen Hankam Mabes Polri adalah:
a.        Menjaga agar TKP berada dalam keadaan sebagaimana pada saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama di TKP, serta memberikan pertolongan atau perlindungan kepada korban atau anggota masyarakat bilamana diperlukan sambil menunggu pengolahan TKP ;
b.        Melindungi agar barang bukti yang diperlukan tidak hilang, rusak, tidak ada penambahan atau pengurangan dan tidak berbeda letaknya yang berakibat menyulitkan atau mengaburkan pengolahan TKP dan pemeriksaan secara tekhnis ilmiah ;
c.        Untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan lebih lanjut dalam menjajaki dan menentukan pelaku, korban , saksi-saksi ,barang bukti., modus operandi dan alat yang dipergunakan dalam rangka mengungkapkan tindak pidana.[1]
Langkah-langkah penanganan TKP dari suatu tindak pidana terdiri atas tindakan pertama di TKP yang meliputi pertolongan atau perlindungan korban atau anggota masyarakat, penutupan dan pengamanan TKP, memberitahukan dan melaporkan segala sesuatu yang telah dikerjakannya kepada penyidik. Pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di TKP, penyidik sedapat mungkin tidak mengubah dan merusak keadaan di TKP. Maksudnya mencari, mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi petunjuk, keterangan, bukti serta identitas pelaku. Semuanya dilakukan untuk mempermudah dan memberi arah kepada penyidikan selanjutnya.
Kemudian menurut Departemen Hankam Mabes Polri, apabila penyidik menerima pemberitahuan atau mengetahui telah terjadi tindak pidana disuatu tempat, penyidik menyiapkan segala sesuatunya dan segera datang ke tempat kejadian perkara guna melakukan pengolahan dengan tindakan sebagai berikut:
a.        Pengamatan umum terhadap obyek. Untuk memperkirakan modus operandi, motif, waktu kejadian dan menentukan langkah yang harus didahulukan ;
b.        Pemotretan dan pembuatan sketsa untuk mengabadikan dan memberi gambaran nyata tentang situasi TKP untuk membantu melengkapi kekurangan dalam pengolahan TKP. Hal ini sangat berguna disamping sebagai lampiran Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di TKP, juga merupakan bahan untuk mengadakan rekonstruksi apabila diperlukan;
c.        Penanganan korban, saksi, dan pelaku. Untuk penanganan korban sangat diperlukan bantuan tekhnis seperti laboratorium forensik, identifikasi dari dokter apabila ada alat-alat yang mungkin digunakan maupun tanda-tanda bekas perlawanan atau kekerasan , perlu dimintakan Visum et Repertum. Hal ini sesuai ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf (h), bahwa : penyidik sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat ( 1) huruf (a) ( pejabat Polri) berwenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Dalam penanganan saksi dapat dilakukan melalui pembicaraan dengan jalan mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka yang diperkirakan melihat, mendengar dan mengetahui sehubungan dengan kejadian tersebut. Selanjutnya menentukan saksi yang diduga keras terlibat, kemudian mengadakan pemeriksaan singkat terhadapnya guna mendapatkan keterangan dan petunjuk lebih lanjut;
d.        Penanganan barang bukti; Untuk menghindari tindakan tersangka yang mungkin saja berusaha menghilangkan jejak sehingga mempersulit penyidik, maka mencari dan mengumpulkan barang bukti dan saksi-saksi merupakan tujuan pemeriksaan TKP. Dalam usaha pencarian barang-barang bukti lainnya di TKP dan sekitamya, sangat berkaitan dengan wewenang penyidik yang apabila perlu dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat melakukan penggeledahan badan.
[1]Departemen Hankam Mabes Potri, himpunan juklak dan juknis tentang Proses Penyidikan Perkara Pidana, Jakarta, 1982,hal 520