orde baru yang disebut-sebut sebagai masa yang penuh suasana korup, nepotisme dan kolosi, ternyata pada masa reformasi pun, keadaan itu justru lebih menjadi-jadi. Pada masa reformasi, jumlah uang negara yang dikorup, masyarakat yang diperas, hutan yang digunduli semakin besar dan luas. Jika suasana ini tidak segera ditemukan pemecahan melalui kekuatan yang mampu menghentikan penyimpangan itu, bangsa Indonesia akan jatuh terperosok pada kondisi yang paling hina. Katakankah, yang disebut sebagai kekuatan pengubah itu adalah penguasa yang berwibawa, memiliki legitimasi yang kuat dan didukung oleh sebagian besar rakyat. Pertanyaannya kemudian adalah, pekerjaan besar itu dimulai dari mana ? Untuk menja wab persoalan itu, yang harus diyakini, bahwa seseorang, sekelompok orang bahkan suatu bangsa, nasib mereka akan tergantung pada diri masing-masing mereka. Tidak akan ada orang lain mampu mengubahnya kecuali diri sendiri. Oleh karena itu jika seseorang ingin berubah, maka tidak seorang pun di luar orang itu mampu mengubahnya. Selanjutnya, jika sebuah suku bangsa mau berubah, maka kekuatan pengubahnya adalah kekuatan yang ada pada suku yang bersangkutan. Demikian pula, bangsa Indonesia, jika ingin berubah maka hanya bangsa Indonesia sendiri yang mampu mengubahnya. Jika keyakinan itu telah tertanam dan disadari oleh semua, maka semestinya gerakan berubah itu harus dilakukan oleh seluruh kekuatan yang ada di tanah air ini. Bangsa Indonesia dikenal memiliki tanah yang amat subur dan luas, lautan dan samu dera, aneka tambang dan penduduk yang sedemikian besar. Akan tetapi potensi itu tidak akan memberi makna apa-apa jika tidak memiliki kemampuan mengelolanya. Sebagai contoh kecil, masyarakat Indonesia dikenal sebagai agraris, akan tetapi anehnya di mana-mana tanah pertaniannya kosong tidak ditanami, hutannya gundul tanpa tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan sesuatu, insinyur pertanian dan peternakannya banyak yang menganggur. Lebih lucu lagi, kebutuhan pokok seperti beras, buah-buahan dan bahkan sayur-mayur yang semestinya dapat dipenuhi oleh bangsa ini masih mengimport, Gambaran ini selain menunjukkan kelucuan bangsa ini sekaligus juga membinungkan. Oleh karena itu cara yang sekiranya tidak terlalu sulit ditempuh untuk memulai membangun bangsa adalah menggerakkan dan membimbing kembali ke basik kehidupan yang lebih nyata. Kita ajak mereka untuk menggerakkan pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan lain-lain. Kita mentargetkan agar suatu ketika lahan-lahan yang saat ini gundul dapat ditanami tanaman yang produktif. Hutan gundul segera ditanami pepohonan. Peternakan dikembangkan, perikanan laut maupun darat digalakkan. Semua pendanaan dikonsentrasikan ke arah itu. Indonesia bangkit, diartikan seluruh potensi digerakkan untuk bangkit itu. Tidak akan pernah ada seorang petani makmur manakala kebunnya kosong dari tanaman, tidak memiliki ternak dan perikanan. Karena itu mereka harus dibimbing, diarahkan dan bahkan difasilitasi. Itu semua akan berjalan jika jiwa bangsa, baik sebagai petani, nelayan, peternak, pedagang, perajin tumbuh kembali. Intinya adalah menumbuhkan jiwa mereka. Al Qur’an berbicara : Allah tidak akan mengubah suatu kaum sepanjang kaum itu tidak mengubah jiwanya sendiri. Hal lain yang terkait dengan itu adalah melakukan perbaikan di bidang pendi dikan. Pendidikan merupakan sarana ampuh untuk membangun akhlak dan kecerdasan serta ketrampilan. Tidak akan maju suatu bangsa tanpa dihuni oleh orang-orang berakhlak mulia dan cerdas serta trampil. Sedangkan untuk memajukan pendidikan kuncinya adalah ada pada guru. Karena itulah sesungguhnya guru merupakan kekuatan penggerak yang amat strategis untuk mengubah masyarakat atau bangsa ini. Oleh karena itu tepat sebuah adegium yang mengatakan bahwa : “Jika kamu ingin membangun bangsamu, maka bangunlah pendidikanmu. Dan, jika kamu ingin membangun pendidikanmu maka muliakanlah guru-gurumu”. Sayangnya, guru kita belum terlalu dipikirkan hingga menjadi lebih mulia dalam pengertian ang seluas-luasnya itu. Bahkan mereka masih harus berdemo segala untuk menuntut kesejahteraannya. Allahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang