Wednesday, 19 March 2025
above article banner area

Hikmah Perkawinan Nabi Muhammad

Donny Syofyan

Tanpa terasa kita kembali menghampiri salah satu peri­ngatan besar dalam sejarah Islam, yakni hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Seja­tinya, peringatan kelahiran atau Maulid Nabi ini harus men­dorong umat Islam tidak terjebak pada ritus seremonial semata. Lebih penting adalah menempatkan seluruh aspek kehidupan beliau sebagai teladan atao role model dalam kehidupan kita tanpa reserve.

Sejarah mengisahkan selain pujian, seorang sosok Mu­hammad tak lepas dari hujatan dan fitnah. Sebagai misal, tahun 2005 harian Denmark Jyllands-Postenmenerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW atas nama kebebasan pers, yang kemudian mengundang gelom­bang protes dari semua umat Islam di seluruh dunia. Pada tahun 2008 BeoBooks, sebuah perusahaan penerbitan Serbia, juga pernah mengedarkan buku tentang Rasulullah yang telah dilarang di Amerka Serikat. Namun akhirnya peredaran ini dibatalkan lantaran tekanan kuat dari tokoh-tokoh Islam.

Para penulis Barat cende­rung berupaya mengaburkan kesucian kehidupan Rasul SAW lewat fitnah dan tuduhan. Salah satunya dengan melon­tarkan tuduhan bahwa kehidu­pan perkawinan Muhammad SAW sarat muatan seksualitas dan hawa nafsu. Hal ini dilacak dari perkawinan beliau yang memiliki beberapa orang istri (poligami).

Tidak sedikit kaum terpe­lajar Indonesia—termasuk kaum wanita—teracuni sken­ario pikir sesat (fallacy) Barat demikian. Dalam alam pikiran mereka terhunjam citra buruk menyangkut kehidupan rumah tangga Rasulullah. Karenanya, menjadi kewajiban kita semua menerangkan realitas sebe­narnya hikmah suci perkawinan Rasulullah guna dapat diterima akal sehat dan pikiran rasional. Tidak tendensuius dan bukan subjektif.

Riwayat perkawinan beliau dapat dibagi kepada tiga pe­riode. Pertama. Periode mem­punyai seorang istri (mo­nogami), yaitu dari usia 25 tahun sampai 53 tahun. Rasu­lullah baru kawin pada usia 25 tahun yang boleh dikatakan agak lanjut bagi pemuda Arab di kala itu dengan seorang janda berumur 40 tahun, yakni Khadijah. Kebanyakan para pemuda sudah kawin pada usia 20 tahun.

Di tengah panasnya iklim padang pasir Arab yang mempercepat kematangan nafsu seksual beliau malah diberi gelar Al Amin (Yang Dipercaya). Seandainya beliau dikuasai nafsu seksualnya, tentu pada usia 20 tahun beliau telah kawin, atau—kalau tidak ka­win—namanya ternoda karena melampiaskan nafsunya ter­hadap wanita, atau kawin dengan seorang gadis, dan bukan dengan seorang janda yang telah berusia lanjut.

Kedua. Periode memiliki beberapa istri (poligami) dalam kurun tujuh tahun di saat umur beliau melebihi 53 tahun. Dalam usia tersebut lazimnya nafsu seksual manusia telah menurun. Selain daripada itu, rentang masa ini dihiasi dengan pergolakan dan peperangan yang menuntut konsentrasi energi dan pikiran. Tidak kurang 27 peperangan yang terjadi waktu itu yang mesti dihadapi dan bahkan dipimpin Rasul sendiri. Tidak masuk akal dalam kecamuk perang beliau masih memikirkan persoalan seksual.

Ketiga. Periode tidak me­nam­bah istri lagi, dari usia 60 tahun sampai beliau berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun, walaupun beliau telah berada pada situasi yang aman, kedudukan yang kuat, dan dapat melakukan apapun kalau beliau mau. Bukankah banyak raja-raja di dunia yang me­nambah istri dan berbuat semaunya di kala senja? Namun Rasulullah tidak melakukannya.

Motif-Motif Perkawinan Poligami

Mencermati perkawinan poligami yang dilakukan Ra­sulullah, semuanya berdasarkan nilai-nilai yang suci dan mulia, bukan merangkak pada pe­ngumbaran nafsu liar dan kumuh. Perkawinan Nabi SAW bisa ditelaah pada empat hikmah dan motif.

Pertama. Motif Pengajaran Agama (al-hikmah at-ta’ lîmi­yah). Banyak hukum atau ketentuan agama yang perlu diketahui dan dilaksanakan oleh kaum wanita. Perihal ini akan lebih tepat dan kena disam­paikan oleh seorang guru wanita. Acapkali wanita merasa malu bertanya langsung kepada Rasulullah mengenai urusan kewanitaan, seperti soal mandi junub bagi wanita, mensucikan haid, nifas, dll. Guna mengatasi masalah ini, Rasulullah menga­wini beberapa wanita cerdas, seumpama ‘A-isyah, Hafsah, dll. Sehingga Rasulullah dapat menyampaikan ajaran agama terhadap istri-istri beliau untuk kemudian diteruskan kepada wanita-wanita muslim.

Kedua. Motif Kemasyara­katan (al-hikmah al-ijtima ’îyah ). Perkawinan beliau dengan ‘A-isyah—putri Abu Bakar Ash Shiddiq—selain demi efektivitas pengajaran Islam juga buat menciptakan hubungan yang lebih erat (ipar-besan) dengan Abu Bakar Ash Shiddiq; seorang yang sedari fajar menyertai Rasulullah dalam suka dan duka dakwah. Begitu pula perkawinan beliau dengan Hafsah—putri Umar bin Khaththab—yang pada waktu itu telah menjadi janda. Suami Hafsah yang pertama bernama Hassan bin Huzaifah; seorang mujahid Islam yang syahid dalam perang Badar. Rasulullah mengawini kedua putri para sahabat karib beliau yang menjadi tulang punggung perjuangan dakwah, sehingga hubungan yang telah erat kian kuat.

Ketiga. Motif Syar’i (al-hikmah al-tasyrî’iyah). Untuk menunjukkan bahwa perka­winan Islam mengandung fleksibelitas, beliau mengawini Maria Al Qibtiyah; seorang wanita berkebangsaan Mesir dan menganut agama Qibty. Batas-batas kebangsaan dan kepercayaan yang dianut wanita tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan. Demikian juga perkawinan beliau dengan Zainab binti Jahasy; seorang janda dari anak angkat beliau sendiri, Zaid bin Haritsah, malah puteri dari makcik Rasulullah sendiri. Pada waktu itu masih berlaku kuat adat istiadat yang melarang seseorang mengawini janda dari anak angkat sendiri. Perka­winan Rasulullah dengan Zainab binti Jahasy adalah langsung mendapat wahyu dari Allah SWT (Q.S. Al Ahzâb: 37).

Keempat. Motif Politik (al-hikmah al-siyâsiyah). Motif keempat ini dimaksudkan untuk memperbanyak kawan dan memperkecil lawan. Dian­taranya beliau mengawini Shafiyyah binti Huyyai; seorang putri kepala suku Bani Nadhir yang paling keras memusuhi Islam. Dalam peperangan Khaibar, ayah dan suami Shafiyyah—Kinanah—tewas. Shafiyyah sendiri tertawan pada saat itu. Lalu Rasulullah mengawininya dengan pertim­bangan politik. Konsekuensinya, tidak sedikit orang-orang Yahudi yang masuk Islam.

(Dimuat di HU Haluan, 14 Februari 2011)

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *