perbedaan itu adalah rakhmah. Ajaran itu tidak salah, sebab dengan perbedaan-perbedaan itu akan menghasilkan dinamika. Gerak sosial akan dimulai jika di sana ada perbedaan-perbedaan. Perbedaan justru akan melahirkan kekuatan dan bahkan juga perkembangan. Di masyarakat itu harus ada orang pintar, agar bisa mengajari yang belum pintar. Demikian pula, harus ada laki-laki dan perempuan, agar terjadi perkawinan dan selanjutnya beranak pinak. Bahkan pernikahan antar etnis, akan melahirkan keturunan yang beda, mungkin lebih unggul. Perbedaan lalu dalam hal ini benar-benar membawa rakhmah. Akan tetapi, perbedaan dalam kenyataannya tidak selalu membawa rakhmah. Perbedaan penentuan hari raya yang seringkali terjadi di tanah air ini misalnya, tidak banyak membawa manfaat. Bahkan seringkali justru membawa mudharat. Masyarakat, terutama yang berada di pedesaan, menjadi bingung, mana yang seharusnya dianut. Tidak jarang persoalan kecil seperti itu, melahirkan saling menyindir, adu argumentasi yang sama-sama tidak paham. Sekalipun di antara mereka sesungguhnya berkapasitas dan kapabilitasnya sama, yakni sama-sama menjadi pengikut, ikut berdebat yang tidak jarang berakibat terganggunya silaturrahmi. Perbedaan itu menjadi lebih serius lagi akibatnya jika menyangkut politik. Umat Islam selama ini terpilah-pilah menjadi sedemikian banyaknya. Perbedaan itu memang bagus dan indah jika melahirkan fastabiqul khoiraat. Tetapi pada kenyataannya, lebih-lebih dalam berpolitik tidak demikian. Perbedaan dalam berpolitik, tidak jarang melahirkan saling merendahkan dan bahkan menjatuihkan. Akhir-akhir ini perbedaan itu bukan saja terjadi antar partai politik, melainkan semakin menjadi lebih sempurna lagi ketika juga terjadi di intern partai politik itu. Partai politik, tidak terkecuali yang beridentitas Islam, antar tokohnya berbeda pandangan dan kemudian saling berebut di sana. Pecat memecat menjadi biasa terjadi. Apa akibatnya kemudian, adalah umat pengikutnya bukan mendapatkan kesejahteraan, melainkan sebatas tontonan gratis menyaksikan para tokohnya bertikai. Untungnya dari berbagai kasus konflik di antara mereka yang berbeda itu, ternyata tidak selalu diikujti oleh umatnya. Wilayah konflik, terutama dalam kasus politik, biasanya terlokalisasi di kalangan elitenya. Umat pendukungnya ternyata justru relatif bisa menahan diri. Pada umumnya jika terjadi perbedaan dan juga melahirkan konflik ,maka umat di bawah justru menyesal atas kejadian itu. Mereka menilai bahwa pemimpinnya kurang dewasa. Kasus yang masih sangat segar, adalah pilgub Jawa Timur. Para tokohnya pada sibuk berebut kemenangan, akan tetapi rakyat di bawah terlihat tenang. Jika tidak sepaham, umat tidak pergi ke TPS, alias golput. Suara-suara yang muncul dari umat, menyatakan bahwa mereka sudah terlalu jenuh. Sementara mereka yang berada di tingkat elitenya masih bersemangat, dengan biaya berapapun tetap akan dipertaruhkan untuk meraih kemenangan. Melihat fenomena seperti itu, maka berbicara tentang kesatuan umat rasanya masih amat susah, melebihi sulitnya mencari es di padang pasir, atau mencari jarum di tengah kegelapan. Kesulitan itu lebih terasa lagi, oleh karena elitenya sendiri belum tampak ada kesadaran betapa pentingnya persatuan itu. Kisah keberhasilan Rasulullah membangun masyarakat Madinah yang ketika itu diawali dengan menyatukan kaum Ansyar dan kaum muhajirin, belum dijadikan sebagai pelajaran penting bagi para elite umat saat ini. Perbedaan-perbedaan yang melahirkan perpecahan dan bahkan konflik rupanya belum disadari sebagai petaka bagi kemajuan umat ke depan. Perbedaan itu masih dicari pembenarnya, sekalipun tidak kunjung berhasil ditemukan. Mudharat dari perpecahan itu, tidak pernah diperhitungkan. Akibatnya, perbedaan yang berakibat perpecahan berjalan terus. Partai politik Islam pun beranak pinak, hingga sulit mengenali, apalagi nanti memilihnya. Oleh karena itu, pertanyaan kapan umat di tanah air ini bersatu, kiranya tidak ada yang mampu menjawabnya. Padahal, persatuan adalah merupakan ajaran Islam yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an dan juga tuntunan Rasulullah. Perintah bersatu adalah datang dari Allah, maka sebagai umat Islam harus menunaikan semaksimal mungkin. Jika pada wilayah yang cukup luas masih sulit diwujudkan, maka bisa dimulai dari lingkup kecil, kita bangun persatuan yang kokoh di masing-masing keluarga, jama’ah masjid, dan berbagai lembaga ukuran terbatas lainnya. Pandangan ini sama sekali bukan menunjukkan kekalahan sebelum bermain atau pesimisme berlebihan, melainkan berangkat dari kenyataan, betapa susahnya perjuangan tersebut ditunaikan. Tokh, dalam mengajak kepada kebaikan, Rasul menganjurkan agar memulai dari diri sendiri, ibda’ binafsika. Allahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang