Dalam tulisan kali ini, saya mengajak merenungkan, apa arti kalimat pendek yang turun di fase awal turunnya al Qurán, yaitu Tuhan mengajarkan dengan pena. Memang dalam kegiatan pengajaran sehari-hari, di mana saja, seorang guru selalu melengkapi dirinya dengan pena. Begitu pula para murid-muridnya.
Uangkapan mengajar dengan pena, rupanya kurang mendapat perhatian banyak orang. Sehingga banyak orang tidak peduli dengan kalimat tersebut. Orang akan mengatakan bahwa belajar mengajar atau tegasnya tulis menulis harusnya memang menggunakan pena. Pada zaman sekarang ini pena diganti dengan mesin ketik, dan bahkan akhir-akhir ini berganti dengan menggunakan computer atau laptop. Tetapi apapun bentuknya, alat itu penting dalam kegiatan ajar mengajar. Namun pertanyaannya, apakah ayat dalam al Qurán yang merupakan kalam Allah, boleh dimaknai sesederhana itu. Apakah tidak perlu dipertanyakan secara mendalam, makna mengajar dengan pena tersebut. Jangan-jangan penyebutan kata pena sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Misalnya, bahwa mengajar sesuatu kepada siapapun agar berhasil, artinya segera masuk pada alam pikiran dan bahkan juga ke wilayah hati yang diajar, maka seharusnya menggunakan pendekatan tulisan, dan bukan perkataan. Selama ini orang mengajar dengan mengandalkan kata-kata. Seorang guru menjelaskan isi pelajaran yang diajarkan secara lisan. Oleh sebab itu maka muncul metode mengajar, di antaranya adalah menggunakan ceramah, pidato, kuliah, khutbah, orasi, atau tanya jawab. Padahal sebenarnya cara itu tidak banyak berhasil. Anak-anak, tatkala sehari-hari harus mendengarkan ceramah atau pidato guru, ternyata tidak cukup atau tidak menjadikan mereka menguasai pelajaran. Selain itu, banyak khutbah, ceramah, pidato yang menjadikan orang bosan dan akhirnya tidak menangkap sedikitpun terhadap isi pidato atau ceramah itu. Ceramah atau pidato kadang membosankan. Anak-anak mengikuti pidato atau ceramah, ——bisa jadi, oleh karena hanya terpaksa atau karena peraturan yang harus diikuti, maka tidak menghasilka apa-apa. Mereka sehari-hari harus mendengarkan ceramah, pidato atau kuliah, agar pada saatnya dibolehkan mengikuti ujian. Suasana seperti itu menjadikan bahwa mengajar melalui ceramah, pidato, atau kuliah tidak banyak membawa hasil atau tidak efektif. Cara itu dilakukan karena tuntutan formalitas. Guru dan murid harus menjalankan kegiatan itu, agar sesuai dengan aturan yang diberlakukan. Padahal semua pihak, baik guru dan apalagi murid,—–bisa jadi, tidak menyukainya. Oleh karena itu, wajar jika para pembawa pidato, kuliah, atau ceramah memberikan selingan joke-joke segar, agar ceramahnya tidak membosankan. Al Qurán ternyata menyebut secara langsung, bahwa mengajar itu menggunakan pena. Artinya, para murid, siswa, mahasiswa, atau siapa saja, dalam mempelajari sesuatu, maka hendaknya dilakukan dengan tulis menulis, dan bukan sebatas mendengarkan. Belajar dengan cara melihat, mendengar, dan kemudian menulisnya, maka hasilnya akan cepat diperoleh. Ilmu pengetahuan bisa masuk dan membekas atau memberikan kesan mendalam, manakala dilakukan dengan cara menulisnya. Belajar biologi, fisika, sosiologi, psikologi, dan lain-lain, maka hendaknya para siswa diajak lebih banyak menulis daripada mendengarkan. Pengetahuan itu harus ditulis. Dengan ditulis, kata Ali bin Abi Tholib, maka ilmu yang didapat tidak akan lepas. Sehingga menulis adalah pendekatan dalam belajar. Dengan menulis, maka sesuatu yang ditulis akan menjadi miliknya, dan ilmu atau pengetahuan yang ditulis tidak cepat hilang. Sementara orang mungkin menilai, bahwa pandangan ini hanya bersifat imajinatif, memaknai al Qurán hanya secara sederhana. Akan tetapi jika dibanding dengan pengalaman sehari-hari, jangan-jangan memang demikian, bahwa seharusnya dalam mengajar supaya memberikan peluang kepada para siswa atau mahasiswa, agar menggerakkan semua inderanya, —-mata, telinga, dan bahkan juga tangan untuk menulisnya. Keterpaduan antar berbagai indera itu, menjadikan pengetahuan dan bahkan juga pemahaman, akan semakin mudah ditangkap dan dipahami melalui menuliskannya itu. Berangkat dari pemikiran tersebut, jika para siswa sejak awal dibiasakan menulis, atau catat mencatat, maka sesungguhnya kegiatan mereka sudah melibatkan beberapa indera yang dimilikinya. Dengan menulis, maka pikiran menjadi lebih aktif daripada sebatas ketika mendengar. Selain itu dengan menulis maka akan mengaktifkan semua indera, baik mata, telinga, dan tangan sekaligus. Rupanya hal yang terkait dengan ilmu, Allah swt., melalui al Qurán telah memberikan petunjuk secara lebih detil, bahwa mengajar seharusnya dengan pena atau tulis menulis. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang