Saya harus bersyukur ke hadirat Allah swt., yang atas idzin dan Ridho-Nya telah beberapa kali mengikuti kegiatan para Habaib, Kyai dan Ulama’ yang tergabung dalam majelis Muwasholah. Saya merasa mendapat manfaat yang sedemikian besar dari kegiatan itu, yang tidak saya peroleh dari tempat lain selama ini. Sholawat dan salam, semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw., para keluarga, shahabat, para ulama’, pengikut hingga akhir zaman. Saya pernah mengikuti rikhlah ilmiah ke Tarim, Hadramaut, Yaman, bersama para Habaib, Kyai dan ulama, beberapa waktu yang lalu. Saya juga pernah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Majlis Muwasholah di beberapa lembaga pendidikan Islam, seperti di kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, di Kalimantan Timur, di Lumajang, di Bondowoso, di Pondok Pesantren Mranggen, Semarang, Jawa Tengah. Dan, pada hari ini mengikuti kegiatan yang sama, di Batu, Malang yang dihadiri oleh para Habaib, Ulama dari beberapoa Negara Islam, dan lebih istimewa kali ini dihadiri oleh Yang Mulia Habib Umar al Hafizd dari Hadramaut, Yaman.
Beberapa pelajaran berharga yang saya dapatkan dari rikhlah ilmiyah maupun dari beberapa kali pertemuan Majlis Muwasholah, di antaranya sebagai berikut. Pertama, dari Tarim, Hadramaut, saya mendapatkan contoh model pendidikan kader ulama’ yang dibina langsung oleh Habib Umar al Hafidz. Para santri di sana dengan kedekatannya kepada para Syekh dan astidz, kesungguhan belajar, ketauladanan dari para pengasuh, kesiplinan dalam beribadah, menjadikan para santri berhasil menguasai ilmu dan pengamalkannya secara baik. Kedua, saya mendapatkan kesan yang mendalam, bagaimana Habib Umar al Hafidz menanamkan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah, Muhammaad saw, hingga para santri memahami dan menguasainya dengan baik. Selain itu para santri juga dibimbing dan dipandu, diberikan tauladan —-uswah, sehingga mereka menjadi bertanggung jawab mengamalkan dan juga sekaligus bersedia mendakwahkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat. Kepada para santri selalu ditanamkan agar berpegang tegung pada ajaran yang diberikan oleh guru secara istiqomah. Sekalipun berada di tengah-tengah perubahan zaman, yang kadang tidak sejalan dengan ajaran Islam, para santri justru harus semakin kokoh menjaga keimanannya. Para santri tidak boleh sekali-kali menjadikan kitab suci al Qur’an dan Hadits Nabi lentur, disesuaikan dengan zaman. Ajaran yang diberikan justru sebaliknya, yaitu masyarakat harus dipandu agar mengikuti kaidah Islam yang bersumberkan pada kitab suci al Qur’an dan hadist Nabi secara konsisten dan kokoh. Ketiga, dari Tarim, saya juga mendapatkan pengalaman bahwa pendidikan yang berkualitas tidak selalu dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang memiliki sarana dan prasarana berlebihan. Saya melihat di Tarim, Hadramaut sarana pendidikan pesantren di Darul Musthafa, tidak terlalu berlebihan, tetapi hasilnya sangat baik dan berkualitas. Akan tetapi, yang rupanya tidak boleh kurang di sana adalah niat yang ikhlas, sabar, tawakkal, istoiqomah, serta sifat-sifat mulia lainnya yang ditauladankan oleh para Habaib dan seluruh asatidz, dan selanjutnya diikuti oleh para santrinya. Pandangan ini saya rasa perlu disampaikan, sebab saya mendengar di tanah air ini, banyak orang mengatakan bahwa tatkala pendidikan yang dihasilkan kurang berkualitas, maka yang dijadikan alasan adalah karena keterbatasan dana dan sarana. Padahal belajar dari Tarim, kualitas itu bukan ditentukan sebatas oleh keterbatasa dana dan sarana, melainkan karena kesungguhan dan keikhlasan dari semua pihak yang masih perlu ditingkatkan. Sedangkan dari mengikuti beberapa kali kegiatan Majlis Muwasholah di beberapa tempat di Jawa dan sekali di Kalimantan, saya mendapatkan kesan yang berharga di antaranya : Pertama, para Habaib, Kyai dan juga Ulama sangat merindukan adanya forum silaturrahmi seperti yang selama ini diprakarsai oleh Majelis Muwasholah. Dengan adanya perubahan social dan politik di tanah air akhir-akhir ini, tidak jarang para Habaib, Kyai, dan Ulama, terseret pada partai, organisasi atau kelompok yang berbeda-beda. Sekalipun selama ini, mereka terlanjur terpisah dari satu dengan lainnya, tetapi senyatanya mereka masih merindukan adanya majlis yang bisa menyatukan di antara mereka. Memang selama ini, mereka dipisahkan oleh tempat tinggal yang berbeda, problem nyata sehari-hari yang berlainan, dan juga kondisi obyketif yang tidak sama, maka kemudian muncul perbedaan-perbedaan itu. Akan tetapi mereka pada umumnya sepakat untuk selalu menyatukan hati, perasaan, pikiran, dan bekerjasama menyusun program-program strategis, sehingga usahanya dalam melakukan peran-peran sebagai pewaris Nabi dapat dijalankan sebaik-baiknya. Kedua, Para Habaib, Kyai dan para Ulama di berbagai tempat yang berhasil saya kunjungi dalam kegiatan Majlis Muasholah, semuanya memiliki keprihatinan yang sama tentang tantangan yang sedemikian besar dan beraneka ragam yang harus mereka hadapi, terkait dengan lembaga pendidikan dan kegiatan dakwahnya. Para Habaib, Kyai dan Ulama menginginkan ada formula, bentuk lembaga pendidikan yang tidak meninggalkan tradisi lama, tetapi ada penguatan baru untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Para Habaib., Kyai dan Ulama, juga tidak mau disebut bahwa ajaran yang selama ini dipegangi, dipandang sudah tidak sesuai dengan zamannya, sebagai akibatnya ditinggal oleh umat. Para Habaib, Kyai dan Ulama menghendaki agar berbagai persoalan itu dipahami dan dipecahkan bersama-sama. Ketiga, para Habaib, Kyai dan Ulama, menghendaki agar bentuk silaturrahmi di antara Majlis Muashollah ini tidak justru menjadikan mereka terpecah-belah. Mereka menghendaki agar, Majlis ini menjadi kekuatan perekat dan sekaligus tali silaturrahmi yang kokoh di antara para Habaih, Kyai, dan Ulama sebagai pengasuh pesantren dan juga pembina dan pemandu umat. Majlis Muasholah ini diharapkan menjadi forum pertemuan para Habaib, Kyai dan Ulama’ yang didasari oleh niat yang ikhlas dan tekat bersama melakukan peranb-peranb pembinaan lembaga pendidikan dan umat yang menjadi tanggung-jawabnya di wilayahnya masing-masing. Keempat, saya melihat kegiatan Majlis Muasholah dari waktu ke waktu semakin mendapatkan respon yang amat positif dari para Habaib, Kyai dan para Ulama. Setiap kegiatan majlis, dengan cara diundang ternyata mereka hadir, bahkan di antara mereka ada yang berasal dari tempat yang jauh. Ini menggambarkan betapa besarnya minat, keinginan dan tanggung jawab mereka terhadap pendidikan dan pembinaan umat selama ini. Tampak sekali mereka tidak peduli dengan aneka macam perbedaan, dan sebaliknya yang mereka lihat adalah keharusan adanya persatuan yang benar-benar kokoh dari para Habaib, Kyai dan Ulama’ sebagai pemimpin kehidupan umat. Selanjutnya, setelah kami menguraikan hasil penglihatan saya dari beberapa kali mengikuti kegiatan Majlis Muasholat, baik di Tarim, Hadramaut, Yaman, maupun beberapa kali di Jawa dan di Kalimantan, saya menangkap beberapa hal yang perlu dikembangkan di masa depan. Pertama, untuk mempersiapkan kader-kader yang tangguh, sebagai Pembina lembaga pendidikan pesantren dan umat di masa depan, maka Habaib, Kyai, dan Ulama’ menghendaki agar diprogramkan pengiriman para santri ke Tarim, Hadramaut, dalam jumlah yang lebih banyak pada setiap tahunnya. Selain itu, ada beberapa pesantren yang bersedia menyelenggarakan pendidikan khusus, yang sebagian para pengasuhnya didatangkan dari Tarim. Para alumni, baik lulusan dari Tarim maupun pendidikan yang diselenggarakan di beberapa pesantren yang diasuh oleh tenaga-tenaga dari Hadramaut, bisa ditugasi untuk berdakwah di daerah-daerah yang memerlukannya. Kedua, sebagian Habaib, Kyai, dan Ulama memerlukan kitab-kitab yang selama ini ditulis oleh Ulama’ Tarim, Hadramaut, sebagai bahan pengembangan kitab-kitab yang sudah dimiliki sebelumnya dan dijadikan bahan telaah oleh para santri di pesantren. Gairah menggunakan kitab-kitab dari Tarim, Hadramaut saya saksikan sendiri, ketika para Habaib, Kyai dan Ulama’ melakukan rikhlah ilmiyah ke sana, maka pada saat kembali ke tanah air, sebagai oleh-oleh yang dianggap penting dan berharga oleh mereka adalah kitab-kitab yang dicetak di Tarim, Hadramaut, Yaman. Kiranya, akan besar manfaatnya jika kitab-kitab yang diminati oleh para Habaib, Kyai dan Ulama’ itu bisa didatangkan dari sana, dan selanjutnya dibagikan ke pesantren-pesantren di Indonesia. Jika hal itu bisa dilakukan, maka cara ini akan sekaligus memperkukuh tali silaturrahmi, antara ulama’ Tarim Hadramaut dengan para Habaib, Kyai dan Ulama’ di Indonesia. Beberapa Habaib, Kyai dan Ulama, tampak dengan jelas, setelah mereka berkunjung ke Tarim, kemudian menyaksikan sendiri makam-makam para Auliya’, yang sebagiannya adalah para leluhur Auliya’ yang telah berhasil menyiarkan Islam di Indonesia, maka hubungan silaturrahmi itu dikehendaki oleh semua agar semakin kukuh. Ketiga, tidak sedikit para Habaib, Kyai dan Ulama yang menghendaki untuk melakukan rikhlah ilmiah ke Tarim Hadramut sebagaimana yang dilakukan oleh para Habaib, Kyai dan Ulama’ sebelumnya. Untuk memenuhi keinginan ini, kiranya majlis Muasholah bisa mencarikan alternative jalan keluarnya, yang sekiranya bisa terjangkau dan memungkinkan dilakukan. Hasil pengamatan langsung oleh para Habaib, Kyai dan Ulama’ terhadap lembaga pendidikan di Tarim, Hadramaut kiranya menjadi modal tersendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan masing-masing pondok pesantrennya. Keempat, sebagai informasi tambahan, ketika diselenggarakan pertemuan Majlis Muwasholah di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun yang lalu, para Habaib, Kyai, dan Ulama’ melihat langsung model pendidikan di kampus tersebut dan alhamdulillah, direspon secara positif, dan dipandang relevan untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagai informasi, bahwa nama Maulana Malik Ibrahim bagi UIN Malang adalah baru diberikan secara resmi oleh Presiden, pada tanggal 27 Pebruari 2009. Salah satu pertimbangan, nama tersebut dipilih oleh Presiden ialah bahwa UIN Malang merupakan Perguruan Tinggi Islam Negeri yang pertama kali menyempurnakan pendidikannya dengan dengan Ma’had. Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai wali yang pertama, dari wali sembilan di Jawa. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim mengetrapkan pendidikan yang berbeda dari Perguruan Tinggi Islam Negeri lainnya. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang merupakan perpaduan antara tradisi universitas dengan tradisi pesantren. Seluruh mahasiswa yang juga berstatus sebagai santri Ma’had, mereka diwajibkan bertempat tinggal di Ma’had. Mereka sebagaimana santri pada umumnya, atas bimbingan para Kyai Ma’had dibiasakan sholat berjama’ah setiap waktu, sholat malam, tadarrus al Qur’an bersama, menghafal al Qur’an, puasa sunnah, memperbanyak membaca sholawat, belajar bahasa Arab secara intensif, dan juga memperdalam kitab kuning. Kewajiban bertempat tinggal di Ma’had, diberlakukan kepada seluruh mahasiswa tanpa terkecuali, selama minimal setahun. Selanjutnya pada saat ini, sehubungan fasilitas Ma’had sudah bertambah, —–mampu menampung 3500 santri, maka masa bertempat tinggal para santri di Ma’had ditambah menjadi dua tahun. Saya sangat bersyukur setelah program ini berjalan beberapa tahun, sekitar 10 tahun, alhamdulillah sudah mulai tampak hasilnya. Setelah berubah menjadi universitas, yang sebelumnya disebut Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), telah dua kali menyelenggarakan wisuda sarjana. Dalam dua kali wisuda tersebut, atas kerja keras para dosen dan kyai, kesungguhan para santri, dan sudah barang tentu, atas doa para Habaib, Kyai dan Ulama, ternyata mereka yang mendapatkan nilai terbaik pada wisuda yang pertama, alhamdulillah diraih oleh mahasiswa atau santri jurusan fisika yang hafal al Qur’an 30 juz. Selain itu, dia juga mampu memahami kitab kuning. Demikian pula pada wisuda ke dua, yakni lima bulan yang lalu, nilai unggul di antaranya diperoleh mahasiswa jurusan matematika, psikologi dan tarbiyah. Alhamdulillah, ketiganya juga hafal al Qur’an 30 juz dan mereka mampu memahami kitab kuning dengan. Prestasi ini, sengaja saya laporkan kepada para Habaib, Kyai dan Ulama’ yang hadir pada pertemuan Majlis Muasholah ini, semoga mendapatkan doa, agar ke depan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, semakin maju dan mampu meneruskan perjuangan para Habaib, Kyai dan Ulama selama ini di masa depan. . Wallahu a’lam. *)Naskah singkat ini saya sumbangkan pada Pertemuan Majlis Muwasholah di Batu pada hari Ahad tanggal 19 April 2009 yang diikuti oleh para Habaib, Kyai dan Ulama se Jawa Timur, Bali, dan NTB.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang