Belajar Dari Orang-Orang Jompo Di Desa

Hari Ahad, tanggal 15 Agustus 2010, saya pulang kampung. Setelah ayah dan ibu telah tiada, memang agak jarang pulang ke desa, tempat kelahiran saya. Namun menjelang bulan Puasa atau menjelang hari raya, sekalipun sibuk karena banyak acara, saya selalu sempatkan diri pulang kampung untuk berziarah kubur.

  Terasa ada sesuatu yang kurang pada diri saya, jika pada saat seperti itu tidak berziarah ke makam ayah dan ibu. Terkait dengan ziarah ini, selalu terbayang dalam pikiran saya, bahwa makam Rasulullah selalu diziarahi oleh umat Islam dari penjuru dunia. Demikian pula makam para wali di Jawa, hampir setiap saat, selalu dikunjungi banyak orang. Membayangkan itu semua, selalu muncul pertanyaan dalam benak saya, siapa yang akan menziarahi ayah dan ibu saya, jika saya sendiri tidak pernah menziarahi mereka.   Pikiran seperti tersebut itulah, yang  kemudian menjadi pendorong yang sangat kuat, sehingga saya harus pulang kampung sebagaimana  yang saya kemukakan di muka. Rasanya, setiap  selesai ziarah, beban itu sudah terasa hilang.  Walaupun sebenarnya, jika maksud ziarah itu hanya berdo’a, maka dari rumah pun sudah selalu saya lakukan  untuk kedua orang tua. Tetapi, sebelum berziarah, seolah-olah masih terasa memiliki hutang atau beban yang harus saya tunaikan..   Dalam kesempatan berziarah ke desa itu, saya bertemu dengan banyak orang tua, dan bahkan sebagian  sudah jompo, yakni telah berumur sekitar 90 an tahun. Jumlah mereka yang dikaruniai umur panjang tersebut   cukup banyak.  Orang  hidup di desa, ternyata memiliki kelebihan dalam ketahanan hidup. Anehnya, di antara mereka masih belum mau beristirahat dari bekerja.   Orang-orang jompo semacam itu jika di kota dan apalagi di negara maju, sudah dianggap tidak semestinya lagi bekerja. Mereka biasanya dipelihara di panti-panti jompo. Namun   gambaran  seperti itu, belum terbiasa dilakukan di pedesaan. Orang tua-tua sekalipun sudah berusia kurang lebih 90 tahun, masih tinggal di rumah sendiri. Bahkan,  mereka juga masih melakukan aktivitas kerja sehari-hari sebagaimana  biasa.   Anehnya, orang-orang tua yang sudah jompo itu, selain masih ikut berkerja sesuai dengan kemampuannya, juga masih menunaikan ibadah puasa. Kepada salah seorang di antara mereka yang saya temui, saya menanyakan, mengapa masih juga bekerja dan juga berpuasa. Atas pertanyaan itu saya mendapat jawaban, bahwa  sepanjang masih hidup, maka orang  harus bekerja. Dan dengan bekerja, menurut pengakuannya, malah akan lebih tetap sehat.   Sedangkan alasan mengapa mereka masih juga menjalankan ibadah puasa, maka saya mendapatkan jawaban dari yang bersangkutan, bahwa orang semakin tua berarti semakin dekat dengan mati. Maka orang yang semakin  dekat waktunya dipanggil oleh Allah, seharusnya semakin tekun beribadah, semisal menjalankan puasa ramadhan untuk  mendekatkan diri kepada-Nya .   Memang,  pada setiap kali  pulang  kampung, saya  justru mendapatkan pelajaran tentang kearifan dalam menjalani hidup. Tidak selalu benar bahwa orang desa identik dengan ketertinggalan dan keterbelakangan. Bahkan  dalam hal menjalankan kegiatan ritual keagamaan, termasuk kearifan,  mereka  justru memiki kelebihan. Maka, jika ada sementara orang ingin melakukan pembinaan terhadap  orang desa, bisa jadi terbalik. Mereka sendiri, —-dalam hal-hal tertentu,  yang akan  mendapatkan pembinaan dari orang-orang jompo  yang hidup di sana. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share