Saturday, 15 March 2025
above article banner area

Berdiskusi Dengan Kyai Tentang Pendidikan

Pada suatu kesempatan bertemu dengan seorang kyai, saya mencoba berdiskusi tentang pendidikan. Usaha-usaha pemerintah dan juga masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan terus dilakukan. Akhir-akhir ini, pemerintah memenuhi tuntutan masyarakat, menaikkan anggaran pendidikan hingga 20 % dari APBN. Akan tetapi persoalan pendidikan tidak pernah habis dan bisa diselesaikan secara tuntas. Beberapa minggu terakhir ini, masih terkait dengan pendidikan, muncul peristiwa yang sesungguhnya harus disesalkan. Dalam pelaksanaan ujian nasional yang selalu diperdebatkan itu, muncul berita bahwa terjadi penyimpangan yang dianggap massif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk guru dan kepala sekolah. Ujian pun kemudian dibatalkan dan diusulkan agar dilakukan ujian ulang. Dalam kesempatan bertemu dengan kyai tersebut, saya mengemukakan bahwa pendidikan pesantren yang sederhana dalam segala-galanya itu, ternyata ada di antaranya, —-memang tidak semuanya, berhasil melahirkan ulama’ dan bahkan juga tokoh-tokoh Islam terkemuka. Saya mencontohkan pesantren Tremas di Pacitan. Dari pesantren itu, selain lahir banyak kyai besar dan tokoh Islam, juga beberapa kitab berhasil ditulis oleh kyai pesantren itu, dan bahkan beberapa di antaranya dijadikan bahan rujukan oleh lembaga pendidikan di Timur Tengah. Pertanyaan saya kepada kyai tersebut, apa sesungguhnya kunci keberhasilan pendidikan beberapa pesantren itu. Menurut kyai, pendidikan itu bukan sebatas upaya mentransfer informasi. Yang dilihat oleh kyai, pendidikan yang berjalan selama ini, banyak yang hanya sebatas itu. Pendidikan menurut pandangan kyai seharusnya lebih dari sekedar bukan mentransfer informasi itu. Jika pendidikan hanya sebatas transfer informasi, maka pedagang koran atau penjual buku, mereka itu menjadi orang yang paling pintar. Sebab mereka di sela-sela berjualan, selalu membaca koran atau buku-buku jualannya. Tetapi nyatanya tidak begitu. Sesungguhnya dalam pendidikan yang lebih penting adalah transfer kepribadian dan semangat kejuangannya untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Yang ditransfer oleh guru kepada murid atau mahasiswanya adalah kepribadian dan semangatnya itu. Karena itu, biasanya kyai bukan sebatas mengajarkan isi kitab. Tetapi dengan kitab itu, kyai ingin membentuk kepribadian para santri. Melalui pendidikan, kyai berharap agar para santri mengetahui tentang siapa tuhan yang sebenarnya, dirinya sendiri, jalan hidup yang harus ditempuh, lingkungan dan lain-lainnya. Selain itu itu kyai berupaya agar para santri cerdas, bersemangat hidup dan mau berjuang untuk masyarakat. Oleh karena pendidikan itu adalah proses mentrasfer kepribadian dari seorang guru kepada murid, maka menurut pandangan kyai, bahwa yang diperlukan dalam proses pendidikan adalah justru kualitas kepribadian guru. Seorang guru atau kyai harus menyandang kualitas kepribadian. Ikhlas adalah bertingkat-tingkat, dan guru atau kyai dalam mendidik, harus didasari oleh keikhlasan yang tinggi. Jika guru dalam menjalankan tugas, hanya selalu mengeluhkan imbalan, maka ilmunya saja tidak akan nyampai kepada murid atau santri, apalagi kepribadiannya. Betapa pentingnya posisi guru atau kyai, maka menjadikan kitab atau buku pegangan dan juga metodologi sebagai sebatas faktor pelengkap saja. Jika diurut-urutkan, mulai yang terpenting, agar pendidikan itu berhasil, yang harus ada adalah kualitas kepribadian guru, kemudian buku atau kitab dan selanjutnya adalah metodologi. Kitab dan metodologi oleh pesantrean dianggap perlu, tetapi bukan merupakan hal yang terpenting. Apalagi, menyangkut sarana dan prasarana, biasanya hanya berjalan apa adanya. Sekalipun begitu, lembaga pendidikan tradisional itu tidak sedikit yang berhasil melahirkan ulama’ atau tokoh yang kemudian menjadi anutan umat, karena kualitas kepribadian kyainya yang selalu ikhlas itu. Atas dasar pandangan seperti itu, maka para santri biasanya memilih kyai yang lebih alim, bukan memilih pesantren yang hanya lengkap sarana dan prasarananya. Pesantren tidak pernah menawarkan hal-hal yang sifatnya pelengkap, misalnya keindahan ruangan, cepat lulus, dan segera mendapatgkan ijazah. Pesantren tidak mengenal itu semua. Orang belajar ke pesantren ingin membangun kepribadian —-keimanan, ketaqwaan dan juga akhlak. Mencari ilmu di pesantren, bukan untuk dijadikan bahan ujian. Ilmu menurut orang pesantren harus menjilma menjadi akhlak sehari-hari. Dari diskusi singkat dengan kyai itu, setidak-tidaknya saya mendapatkan bahan renungan lebih lanjut. Membandingkan dengan pesantren, pendidikan pada umumnya yang berjalan selama ini, telah mengalami disorientasi. Pendidikan diformat terlalu formal, sehingga mengakibatkan kehilangan ruh atau jiwanya. Pendidikan tidak saja telah lepas dari proses sebagai upaya membangun kepribadian unggul, melainkan hanya sebatas untuk memenuhan tuntutan birokrasi, sehingga akibatnya banyak terjadi penyimpangan dari berbagai aspeknya. Contoh konkrit dan masih segar dalam ingatan kita, adalah ujian nasional yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan itu. Kejadian itu sangat memprihatinkan. Pendidikan yang seharusnya berorientasi membangun kepribadian unggul, ternyata justru sebaliknya, —–kontra produktif, melahirkan generasi yang banyak menyandang kekurangan. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *