Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Bersekolah, Nilai Raport, dan Ijazah

Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan tentang penyimpangan ujian nasional. Beberapa sekolah di tanah air ini banyak diberitakan harus menyelenggarakan ujian ulang. Ujian nasional yang sudah melibatkan pengawas dari perguruan tinggi, —–selain juga dari pengawas independen, ditengarai masih melakukan penyimpangan. Sementara siswa diduga mengerjakan soal ujian atas bantuan pihak lain. Hal itu diketahui dari kesalahan siswa dalam menjawab soal ternyata sama, dan dilakukan oleh seluruh siswa di sekolah tertentu. Atas kesamaan jawaban itu, ——sekalipun salah, diduga atas komando dari pihak tertentu. semestinya, tidak mungkin sejumlah besar siswa melakukan kekeliruan yang sama dalam menjawab soal yang sama.

Pro kontra tentang perlunya ujian nasional sudah lama terjadi. Dapat disebut bahwa semua orang menyetujui, bahwa evaluasi pendidikan itu penting dilakukan. Kegiatan apa saja yang tidak dilakukan evalusi, maka tidak akan diketahui hasilnya secara pasti. Maka akibatnya, kualitas hasil kegiatan itu tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Tanpa evalusi, maka siapapun menjadi sembrono, bekerja tidak serius, dan apalagi tidak dilakukan pengawasan. Demikian pula halnya pelaksanaan pendidikan, evaluasi sangat penting dan mutlak harus dilakukan. Perdebatan tentang ujian nasional selama ini, sesungguhnya hanya pada persoalan tertentu, misalnya siapa yang harus melakukannya. Pertanyaan yang sering muncul, adalah apa perlu evalusi pendidikan ditangani secara nasional oleh pemerintah pusat. Persoalan lainnya, apa cukup kegiatan belajar selama tiga tahun untuk sekian banyak mata pelajaran, kemudian hanya diujikan beberapa mata pelajaran saja sebagai sampelnya. Selain itu apakah adil, kegiatan belajar selama itu hanya ditentukan pada hasil ujian dua atau tiga hari saja dengan menggunakan tolok ukur dan instrumen berupa soal-soal seperti itu. Hal lainnya lagi, bahwa kondisi obyektif lembaga pendidikan di tanah air ini sangat berbeda-beda, baik terkait dengan guru, fasilitas, maupun lingkungan pendidikan. Jika perbedaan itu diakui terjadi, lalu mengapa kemudian kegiatan itu dievaluasi dengan menggunakan alat ukur yang sama. Atas dasar alasan-alasan tersebut maka ujian nasional dianggap tidak adil dan seharusnya tidak dilakukan, atau dicari pendekatan lainnya yang lebih tepat disesuaikan dengan kondisi yang ada. Ujian nasional selama ini oleh sementara pihak, dianggap merupakan kebijakan yang dipaksakan. Tetapi pemerintah rupanya bersikukuh, karena beberapa alasan. Yaitu misalnya, pemerintah ingin tahu peta hasil pendidikian secara nasional. Selain itu, bagi pemerintah menganggap bahwaujian nasional memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu merupakan amanah dari undang-undang sistem pendidikan nasional. Jika hal itu diabaikan, maka pemerintah akan dianggap salah. Selanjutnya, pemerintah akan dianggap tidak menunaikan tugasnya secara sempurna. Sampai saat ini perdebatan tentang ujian nasional masih belum berhenti, atau belum mendapatkan titik temu. Ujian nasional tetap dijalankan. Pelaksanaannya juga masih tersentral, dikelola oleh pemerintah pusat. Hanya di sana-sini dilakukan perbaikan, misalnya mulai tahun ini, pelaksanaan pengawasan ujian nasional melibatkan perguruan tinggi, selain melibatkan pengawas independen sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Penambahan pengawasan dari perguruan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan atau untuk menghindari terjadinya penyimpangan ujian. Perguruan tinggi dilibatkan dalam pelaksanaan ujian, atas dasar pertimbangan karena institusi tersebut selama ini dipandang telah berhasil menjalankan ujian —–semisal SPMB atau akhir-akhir ini SNMPTN, dengan lancar dan tidak mehirkan masalah. Sehingga, pelibatan institusi itu dimaksudkan agar apa yang diraihnya selama ini, bisa dicapai pula oleh lembaga pendidikan menengah. Walaupun nyatanya, penyimpangan itu masih muncul juga. Pertanyaan yang seringkali muncul selama ini adalah, mengapa penyimpangan ujian itu tampak sistematis, massif dan melibatkan banyak pihak. Penyimpangan itu melibatkan kepala sekolah, guru dan kadang juga pemerintah daerah. Untuk menjawab persoalan itu sesungguhnya tidak terlalu sulit. Bagi kepala sekolah, guru dan pemerintah daerah, ujian nasional bukan sebagaimana kepentingan pemerintah pusat. Bagi pejabat daerah diselenggarakannya UN bukan saja untuk mengetahui peta prestasi hasil pendidikan secara nasional dan juga pemenuhan amanah undang-undang. Ujian nasional bagi mereka memiliki arti terkait dengan prestise daerah, termasuk prestise kepala sekolah dan para guru. Kita seringkali mendengar, bahwa biasanya sebelum ujian dilaksanakan maka ditetapkan target, misalnya sekian persen para siswa dalam ujian nasional harus lulus. Sebab, kelulusan ini terkait dengan nama baik pemerintah daerah dan juga sekolah yang bersangkutan. Mereka tidak akan mau disebut bahwa hasil ujian sekolah di wilayahnya, misalnya jauh lebih rendah dari kabupaten atau kota lainnya. Target itu bagi kepala sekolah dan guru di hadapan pemerintah, —-dalam hal ini adalah bupati atau wali kota, harus dicapai. Prosentase kelulusan tersebut tidak saja menggambarkan prestasi para siswa, tetapi juga prestasi para pejabat pengelola pendidikan. Kepala sekolah dan guru akan merasa bangga dan dipandang mampu menunaikan tugasnya di hadapan pejabat atasannya jika tingkat kelulusannya maksimal. Kepala Dinas Pendidikan juga berusaha keras agar target kelulusan yang ditetapkan oleh pimpinan daerah tercapai. Karena hasil UN sudah menyangkut nama baik dan prestise, maka Keberhasilan memenuhi target itu taruhannya adalah jabatan. Bisa jadi jika gagal memenuhi target, maka pejabat yang bersangkutan dianggap gagal. Sedangkan keberhasilan atau kegagalan tersebut juga akan menentukan kelanjutan posisi pejabat itu. Oleh karenanya, persoalan kelulusan ujian juga menyangkut nasip pejabat. Sehingga, hasil UN juga dimaknai dan terkait dengan jabatan, selain juga prestise daerah yang bersangkutan. Melihat kenyataan seperti itu, ujiaan kemudian tidak saja bermaksud melihat peta prestasi pendidikan secara nasional semata, melainkan sudah terkait dengan berbagai kepentingan. Memperjuangkan kepentingan sama dengan bertaruh. Agar taruhannya menang maka apa saja dianggap syah dilakukan, —- dalam hal ujian nasional memberikan bantuan menjawab soal-soal ujian itu. Nafsu memenuhi kepentingan itu menjadikan obyektifitas, kejujuran, keadilan semuanya diabaikan. Apalagi pelaksanaan ujian juga melibatkan pihak luar. Secara psikologis kehadiran pihak luar itu dianggap sebagai lawan bersama. Kepala sekolah, guru, pimpinan daerah termasuk para siswa merasa berada pada satu barisan, berhadapan dengan pihak luar, yakni pemerintah pusat bersama para pemantau dan termasuk pengawas dari perguruan tinggi tersebut. Logika seperti itulah yang mendorong di antara mereka melakukan penyimpangan ujian itu. Sehingga bisa jadi, penyimpangan ujian itu bukan saja terjadi di sekolah-sekolah tertentu, melainkan menyeluruh di semua tempat. Bedanya di sekolah tertentu, penyimpangan itu ketahuan, sedangkan di sekolah lain tidak. Oleh karena itu persoalan ujian nasional ternyata bukan sederhana, tetapi sudah masuk pada wilayah sosial yang amat luas. Melihat kenyataan seperti itu, maka upaya penyelesaiannya tidak akan cukup jika kemudian hanya dilakukan dengan logika sederhana, misalnya menambah jumlah pengawas, menaikkan honorarium, memperlebar jarak peserta ujian dan semacamnya. Bahkan, katakanlah misalnya pengawasan itu melibatkan polisi atau tentara sekalipun, penyimpangan itu masih tetap akan bisa dilakukan. Oleh karena itu, sepanjang ujian nasional tetap terkait dengan kepentingan yang terlalu luas seperti itu, maka semangat menyimpang akan tetap tumbuh di mana-mana. Sehingga, jika ujian nasional dengan pendekatan yang sudah-sudah itu masih tetap dipaksakan, maka justru akan merugikan semua pihak termasuk prinsip-prinsip pendidikan itu sendiri secara menyeluruh. Kerugian secara psikis, dari pelaksanaan ujian itu akan ditanggung oleh semua pihak, seperti orang tua, kepala sekolah, guru, murid dan bahkan juga pejabat yang terkait, misalnya dinas pendidikan maupun bupati atau wali kota setempat. Pendidikan yang sesungguhnya harus dilakukan dalam suasana menggembirakan, maka justru menjadi sesuatu yang membuat banyak pihak stress. Demikian juga secara akademik, sesungguhnya model ujian seperti itu, sudah tidak relevan lagi di zaman informasi yang sedemikian membanjir seperti sekarang ini. Ujian seperti itu —–soal dengan jawaban pilihan ganda, mungkin cocok untuk masa sepuluh tahun yang lalu, di mana ujian dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh para siswa menguasai atau memiliki kekayaan informasi terkait dengan pelajaran yang diberikan. Tetapi pada saat sekarang, di zaman keterbukaan informasi seperti ini, rasanya bentuk ujian seperti itu sudah tidak relevan lagi. Oleh sebab itu, cara berpikir lama seperti itu seharusnya sudah ditinjau ulang. Di zaman sekarang, di mana informasi sudah membanjir, sehingga para siswa bisa mengakses secara leluasa alat-alat informasi modern dan tersedia dimana-mana,—– seperti HP, Facebook, internet dan seterusnya, maka jika materi pelajaran di sekolah dan bahkan juga metode pembelajaran tidak diubah, maka pendidikan hanya akan menyiksa semua pihak. Kemajuan teknologi seperti sekarang ini, para ahli pendidikan seharusnya memulai berfikir untuk merumuskan, apa sesungguhnya kriteria seseorang dianggap lulus pada masing-masing jenjang pendidikan. Selanjutnya, bagaimana mengevaluasi dan menilainya. Jika apa yang dilakukan pada saat ini masih sama dengan apa yang dilakukan pada sepuluh dan bahkan 20 tahun yang lalu, sama halnya menyiksa para siswa dan menjadikan mereka justru tidak akan berkesempatan mengikuti perkembangan zaman. Akhirnya jika dipaksakan, akan berdampak serius bagi generasi mendatang. Seringkali orang terjebak oleh formalisme sempit, termasuk tatkala mengelola pendidikan. Rumusan pendidikan dalam undang-undang pendidikan sedemikian bagus. Tetapi dalam implementasinya, terkadang jauh dari rumusan tujuan itu. Pendidikan ingin mengantarkan peserta didik memiliki akhlak yang mulia, cerdas, terampil dan bertan ggung jawab dan seterujsnya. Akan tetapi dalam implementasinya, —–termasuk bagaimana mengevaluasi, para pelaku pendidikan disibukkan oleh usaha mengajari siswa dengan sejumlah mata pelajaran, yang kadang juga tidak tampak keterkaitannya antara masing-masing mata pelajaran itu dengan tujuan pendidikan. Padahal seharusnya tatkala para siswa mempelajari beberapa mata pelajaran, seperti IPA, IPS, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, kewarganegaraan dan seterusnya, diketahui benang merah yang menyambungkan antara jenis mata pelajaran itu dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih. Tetapi anehnya, hal itu belum diketahui secara jelas, sehingga seolah-olah semua berjalan sendiri-sendiri. Semestinya, setelah menempuh pendidikan pada jenjang tertentu, para siswa diharapkan menguasai ilmu dan ketrampilan yang jelas dan terukur. Rupanya hal sepele itu belum terumuskan, sehingga kegagalan fatal selama itu, belum disadari. Bagi para birokrat pendidikan yang terpenting adalah bahwa proses pendidikan telah dijalankan. Proses pendidikan yang dimaksudkan misalnya, bahwa guru sudah sekian jam masuk kelas pada setiap semester, buku pelajaran dan target-target lainnya sudah terpenuhi, murid sudah mengikuti pelajaran pada waktu hyang ditentukan, dan sejenisnya. Semua itu didekati secara formal. Karena pendekatannya sebatas formal, maka hasilnya juga hanya sebatas formalitas. Contoh kongkrit, para siswa pada jenjang tertentu sudah dinyatakan lulus Bahasa Inggris, tetapi senyatanya belum bisa berkomunikasi dengan bahasa asing itu. Hal itu terjadi karena pilihan pendekatannya itu, yakni sebatas formalitas. Jika para siswa ingin menambah pengetahuan dan ketrampilan, maka harus mengikuti kursus di luar sekolah. Oleh karena itu lembaga kursus menjadi tumbuh di mana-mana dan laris banyak peminat. Bandingkan dengan para siswa pesantren, misalnya pesantrena Gontor Ponorogo dan pesantren lainnya. Mereka baru beberapa tahun tinggal di pondok sudah mampu berpidato bahasa Inggris dan Arab. Prestasi seperti itu, kiranya perlu diapresiasi oleh siapapun yang menginginkan kita semua berhasil menjalankan amanah meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan tidak boleh dijalankan secara formal hingga terkesan menjadi formaliitas, apalagi hanya sebatas untuk memenuhi berbagai kepentingan di luar pendidikan. Pendidikan harus dijalankan secara bertanggung jawab, untuk mengantarkan siswa menjadi berakhlak mulia, cerdas, dan terampil sehingga menjadi warga negara yang baik. Sekolah seharusnya tidak boleh dimaksudkan sebatas mengejar nilai dalam raport dan selembar ijazah. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *