Bersilaturrahmi Indah, Berat, Dan Kadang Mahal

Di saat hari raya idul fitri seperti sekarang ini, maka yang  terasa penting adalah bersilaturrahmi.  Bertemu dengan orang tua, keluarga, sahabat, kenalan, atau siapa saja, terasa sangat penting. Sialturrahmi menjadi sebuah kebutuhan.  Di suasana  hari  raya,  dengan alasan tertentu,   tidak ketemu orang tua, atau  saudara, maka terasa ada sesuatu yang kurang. Kekurangan itu tidak bisa diganti atau ditukar dengan apapun.

  Maka, itulah sebabnya, bersilatirrahmi dengan keluarga,  atau  disebut mudik dirasakan menjadi sangat penting. Sekalipun kadang sedemikian mahal dan berat, maka tetap saja dijalani. Silaturrahmi tidak selalu bisa diganti dengan alat modern,  seperti  berkirim kartu lebaran, atau berkomunikasi melalui facebook, scrib, tilpun, e mail, atau lainnya.  Bagi keluarga dekat akan lebih sempurna jika mereka saling datang dan bertemu.   Latar belakang pendidikan, jabatan seseorang,  atau juga tingkat kekayaan, tidak berpengaruh terhadap kebutuhan bersilaturrahmi di hari raya. Misalnya, orang yang semakin kaya, berpendidikan tinggi atau berjabatan penting di sebuah instansi  tidak akan bisa menurunkan semangat bersilaturrahmi di hari raya. Oleh karena itu, untuk melayani kebutuhan hilir mudik orang kembali ke tempat asal kelahirannya masing-masing, maka pihak yang paling sibuk adalah para pejabat yang terkait dengan keamanan dan perhubungan. Mereka harus bertanggung jawab memberikan pelayanan, baik para pemudik yang  menggunakan jasa transportasi udara, laut,  maupun darat.   Pada hari raya pertama, saya bertakziyah ke Ponorogo.  Ayah mertua Prof. Mudja Rahardja, seusai shalat Idul fitri wafat,  setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.  Sepanjang perjalanan dari Malang ke Ponorogo yang semestinya bisa ditempuh sekitar 4 jam, menjadi molor, karena lalu lintas kendaraan sedemikian padat. Saya perhatikan mobil dan sepeda motor berseliweran, sehingga di sepanjang perjalanan semua kendaraan tidak bisa melaju cepat.   Banyak sekali mobil yang bergerak melaju  ke semua arah. Mereka yang dari barat ke timur, dan sebaliknya,  yang dari timur ke barat. Perjalanan orang banyak itu, persis bagaikan arak-arakan semut. Keadaan seperti itu kiranya juga terjadi di mana-mana. Bahkan kabarnya di beberapa titik tertentu, malah macet hingga beberapa kilometer.   Selain itu, kalau hari-hari biasa, jalan-jalan hanya dipenuhi oleh mobil-mobil berplat nomor kota setempat, maka pada hari raya hampir semua jenis plat nomor mobil ada. Perjalanan antara Malang-Ponorogo terdapat mobil berplat nomor Jakarta, Bandung, kota-kota di Jawa tengah, Bali dan sterusnya. Mobilitas masyarakat pada hari raya sedemikian tinggi. Mereka itu semua, rupanya hanya memenuhi kebutuhan bersilaturrahmi, dan bukan untuk dinas dan berbisnis.        Seperti  disebutkan  di muka, bahwa  silaturrahmi seperti itu memang menyenangkan, akan tetapi sekaligus juga sedemikian berat dan mahal.  Mungkin dirasakan oleh semuanya, bahwa tatkala bertemu dengan orang tua, saudara, sahabat, kenalan, teman sekolah dan sebagainya, terasa sedemikian indah. Mereka hanya sebatas ketemu, bercakap-cakap, berbagi informasi, namun  itu semua  terasa sedemikian penting dan indah, sehingga harus dilakukan.     Selain berat dan mahal, silaturrahmi kadang juga  beresiko tinggi. Biaya atau uang yang diperlukan untuk bersilaturrahmi seperti itu, oleh sementara orang  hingga tidak merasa perlu dihitung,  atau dibanding-bandingkan dengan betapa sulit mencarinya. Kalkulasi untung rugi untuk memenuhi keinginan bersilaturrahmi, oleh banyak orang  tidak dilakukan. Bagi mereka yang penting adalah bisa bersilaturrahmi dan ketemu dengan orang-orang yang dicintainya.   Resiko  mudik yang sedemikian berat juga tidak selalu diperhitungkan. Padatnya lalu lintas di jalan-jalan, mengakibatkan beratus-ratus kendaraan macet dan bahkan tidak sedikit yang mengalami kecelakaan.  Harian Suara Pembaruan, sejak H-7 hingga hari Idul Fitri mencatat tidak kurang dari 144 orang meninggal akibat kecelakaan. Selain itu, harian tersebut mencatat  ada sekitar 28 juta orang mudik. Jumlah kecelakaan yang meninggal itu berlum termasuk korban  lainnya, baik yang  luka berat atau luka ringan.   Resiko tersebut sebenarnya juga sudah dikenali oleh siapapun yang melakukan perjalanan jauh untuk mudik. Namun  kegiatan itu  tetap juga dijalani. Mereka tidak takut dengan  mahalnya biaya dan bahkan resiko yang sedemikian berat itu. Bagi mereka yang penting mudik, bersilaturrahmi atau bertemu keluarga, karena hal itu  merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.  Bersilaturrahmi memang, ——bagi mereka yang bisa merasakannya,  sedemikian indah.   Islam mengajarkan kepada  umatnya agar mencintai bersilaturrahmi, dan menjalin hubungan persaudaraan. Dalam suatu hadits Nabi dikatakan bahwa, siapa saja yang ingin agar  usianya dipanjangkan dan dibanyakkan rezkinya, maka supaya menjalin tali silaturrahmi. Tentu anjuran ini sebenarnya bukan hanya pada momentum  idul fitri , tetapi juga pada hari lainnya.  Sebaliknya, Islam tidak menyukai bercerai berai, sekalipun tidak sedikit orang, ——bahkan para tokoh umat melakukannya. Wallahu a’lam. 

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share