Dibutuhkan Kecerdasan Nurani Para Pemimpin

Soal kecerdasan intelektual, bangsa ini sesungguhnya sudah sangat kaya. Setiap tahun anak-anak muda bangsa ini telah pulang dari belajar di Luar negeri, baik di negara-negara barat, baik dari  Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Australia, maupun negara-negara maju di Asia. Selain itu, tidak terkecuali juga datang dari negara-negara timur tengah, seperti Mesir, Saudi Arabia, dan lain-lain.

  Jumlah ilmuwan tersebut,  belum termasuk mereka yang lulus dari kampus-kampus dalam negeri, yang tentu tidak kalah hebatnya. Jumlahnya juga  jauh lebih banyak lagi. Bandingkan keadaan itu dengan dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu. Ketika itu, mencari sarjana S1 atau S2, dan apalagi S3 sulitnya bukan main. Saat ini, para lulusan S3 telah ada di mana-mana. Penyandang gelar Doktor, tidak saja para pengajar di kampus-kampus. Banyak bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, DPRD, bahkan lurah ada yang bergelar Doktor.   Orang pintar di negeri ini sudah sedemikian banyak, sekalipun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar, masih tergolong kecil. Kita bangga seorang gubernur atau bupati bergelar Doktor. Camat, lurah, dan lain-lain setidak-tidaknya S1 dan banyak yang S2. Kenyataan ini, artinya negeri ini sudah dipimpin orang orang-orang yang berpendidikan dan berintelektual cukup tinggi.   Akan tetapi pertanyaannya adalah mengapa, persoalan bangsa ini tidak semakin mudah diselesaikan, bahkan justru sebaliknya semakin rumit. Korupsi yang sangat dibenci oleh semua, dan dilakukan gerakan memberantasnya, ternyata tidak menunjukkan angka penurunan. Di berbagai kementerian, tidak ada yang sepi dari persoalan itu. Manipulasi dilakukan di mana-mana. Makelar kasus dan berbagai mafia ternyata ada di mana-mana. Konflik, saling tuduh menuduh, curiga mencurigai, saling tidak percaya, selalu mewarnai kehidupan politik, ekonomi,  dan pemerintahan.   Mencoba ikut merenungkan hal itu semua, saya hingga sampai kesimpulan sementara, bahwa  bahwa  ternyata untuk menyelesaikan persoalan bangsa tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan otak atau akal belaka. Betapapun kekuatan intelektual akan terbatas, atau bahwa persoalan kehidupan manusia tidak selalu bisa diselesaikan dengan logika linier sebagaimana menyelesaikan soal-soal  matematika di sekolah atau di kampus-kampus.   Tatkala menggunakan logika linier, maka  dengan banyaknya peraturan, akan menjadikan masyarakat lebih tertip dan  teratur. Namun ternyata tidak begitu keadaannya. Dengan banyaknnya peraturan, maka masyarakat hanya menjadi pintar mensiasati peraturan. Bahwa yang muncul kemudian, bukannya keteraturan,  melainkan lahirlah orang-orang  munafiq, yang sehari-hari mengotak atik,  bagaimana mensiasati peraturan itu. Akhirnya, peraturan tidak dijalankan. Tampaknya perilaku orang selalu aneh, satu sisi  suka membuat peraturan, sedangkan sisi lain merasa puas manakala berhasil mensiasatinya.   Disiplin tidak selalu mudah ditegakkan. Orang umumnya tidak suka diatur. Tertib dianggap justru kurang menghasilkan kenikmatan. Orang lebih menyukai keadaan yang tidak pasti. Gambling lebih dipilih. Judi menjadi kenikmatan, karena  tidak pernah pasti hasilnya. Kesenangan terhadap ketidak-pastian itu menjadikan, ——bisa dilihat,  jual beli atau pemasaran dengan sistim hadiah akan lebih diminati. Kehidupan manusia memang aneh,  justru menyukai hal apa saja yang kurang pasti.   Selama ini pegawai negeri digaji pada setiap bulan dengan jumlah dan waktu penerimaan yang pasti.  Hal seperti itu rupanya, tatkala menerimanya, —–karena  tidak ada gambling, teka-teki, atau sesuatu yang mengejutkan, kurang dirasakan sebagai kenikmatan. Maka,  ternyata teka-teki itu diperlukan oleh kejiwaan banyak orang. Jika hal itu tidak diperoleh, maka sebagai sublimasinya, orang mencari kepuasan itu melalui berkorupsi. Penerimaan dari korupsi, beresiko tinggi, tetapi akan menghadirkan kenikmatan tersendiri, lantaran mereka mengalami suasana yang tidak pasti dan sifalnya gambling itu.          Mencermati contoh-contoh kehidupan sederhana itu, ternyata akal saja tidak mampu memahami persoalan dan merumuskan jawaban-jawabannya. Peraturan tetap dibuat, penyimpangan juga  jalan terus. Siapapun yang menyimpang dari perarturan dianggap salah, ditangkap, diadili dan kemudian dihukum. Lagi-lagi dengan cara itu, maka tampak benar, bahwa logika yang  bersifat linier  saja  tidak akan mampu memahami kehidupan manusia yang komplek, rumit, dan kadang membingungkan.     Perilaku manusia ternyata tidak mudah dipahami. Mereka tidak selalu menunjukkan kejelasannya. Dalam al Qurán, manusia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok di sebelah kanan, dan  sebelah kiri. Di antara keduanya, ada kelompok yang tidak jelas, disebut dengan istilah munafiq. Selanjutnya, masih dalam petunjuk al Qurán, dinyatakan bahwa manusia di mana-mana selalu membuat kerusakan, pertumpahan darah,  dan bahkan saling membunuh. Jika diperintah, maka ada saja yang ditanyakan, dan bukan segera menjalankannya. Mereka suka  berkeluh kesah, hanya sedikit saja yang bersyukur. Selanjutnya, jika didorong justru mundur, dan jika dilarang malah menjalaninya.   Mengatur manusia dengan sifat-sifat dasar seperti itu, maka memerlukan kecerdasan secara sempurna.  Manusia tidak saja digerakkan oleh pikirannya, melainkan juga oleh nafsu, dan hatinya. Peraturan dan perundang-undangan hanyalah menjamah aspek intelektualnya, sedangkan hati dan nafsunya tidak akan terjangkau. Oleh sebab itu, akan mengena jika manusia diatur dan dipimpin dengan menggunakan piranti yang lebih sempurna, yaitu berupa kecerdasan intelektual, sekaligus juga kecerdasan  nurani atau spiritual.   Kecerdasan nurani sesungguhnya tidak terlalu sulit dibangun, asalkan mau. Kecerdasan itu ialah  di antaranya kesabaran,  keikhlasan, ketulusan, cinta kasih, istiqomah, kepedulian, kesediaan untuk mengakui dan menghargai, dan semacamnya. Suara batin atau nurani  seperti itu selalu dibutuhkan oleh siapapun yang sedang dipimpinnya. Sebaliknya, kepemimpinan yang bersifat transaksional, mengedepankan peraturan, undang-undang dan seterusnya memang perlu, tetapi tidak boleh berlebihan. Hal  terakhir ini, justru  akan melahirkan sikap munafiq yang  membahayakan bagi semua. Wallahu a’lam

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share