Tatkala menjadi pemimpin, setiap orang ingin disebut sukses atas kepemimpinannya. Namun memimpin orang, ternyata tidak mudah. Manusia memiliki sifat, karakter, perilaku, atau tabiat yang bermacam-macam, hingga sulit disebutkan jenis dan jumlahnya. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi pemimpin akan menghadapi orang yang memiliki watak atau karakter yang beraneka ragam itu.
Memimpin orang sama halnya dengan harus menghadapi sekian banyak karakter orang yang dipimpinnya. Masing-masing ingin dipenuhi keinginannya. Maka mustahil, pemimpin bisa berhasil secara sempurna. Pemimpin kampus saja, yang orang-orangnya relative homogin, berpendidikan tinggi, berpengetahuan cukup, dan taraf ekonominya sudah lumayan, tertapi juga tidak mudah. Lebih sulit lagi adalah memimin masyarakat pada umumnya. Pemimpin masyarakat, katakanlah presiden, gubernur, bupati atau wali kota, camat, dan seterusnya tidak saja kesulitan mencari cara memenuhi kebutuhan rakyat yang dipimpin, tetapi juga harus sibuk mencari cara bagaimana agar para pembantu-pembantunya bisa bekerja secara tekun, ulet, bertanggung jawab, memiliki komitmen dan integritas tinggi, serta tidak korup. Pemimpin birokrasi pemerintahan dilengkapi dengan berbagai perangkat untuk mendisiplinkan semuanya. Diangkatlah polisi, tentara, hakim, jaksa, KPK, dan dibangunlah institusi penjara, agar siapapun yang melakukan kesalahan, lalu ditangkap, diadili, dan dipenjara. Namun lagi-lagi, yang berbuat salah bukan saja rakyat, misalnya pencuri, perampok, tukang berkelahi, pengganggu isteri teman, tetapi kesalahan itu justru dilakukan oleh oknum yang semestinya menjaga ketertiban dan kedisiplinan. Mereka yang melakukan kesalahan itu, ternyata adalah oknum polisi, jaksa, hakim, KPK, dan bahkan juga oknum pejabat penjara sendiri. Tidak itu saja, bisa jadi pembantu terdekat seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, kepala BUMN, Bank dan lain-lain ternyata juga melakukan kesalahan dan kecurangan, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotis. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika kesalahan itu benar-benar dilakukan oleh para pejabat. Di negeri ini, keadaan seperti itulah pada kenyataannya yang sedang terjadi. Bahkan lebih dari itu, guru yang diharapkan memberikan tauladan, ternyata juga protes dan bahkan demo karena imbalan yang diterima kurang sesuai dengan harapan mereka. Perangkat desa, dalam sejarahnya tidak pernah menuntut imbalan, ternyata berdemo minta diberi tunjangan. Dan bahkan, modin yang bertugas menjaga sopan santun di desa pun, ada di antaranya yang berteriak menuntut kesejahteraan. Mengahapi persoalan ruwet seperti ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Menangkapi orang-orang yang melakukan kesalahan, ternyata sedemikian banyak orang yang harus ditangkap. Lebih dari itu ternyata orang-orang yang bertugas menangkap pun, suatu ketika juga harus ditangkap. Orang yang mengadili juga suatu ketika harus diadili, karena melakukan kesalahan dalam menunaikan tugasnya. Jaksa yang menuntut pun, pada saat tertentu harus dituntut. Bahkan juga pejabat penjara pun juga harus dipenjara. KPK yang dipilih dari orang-orang pilihan, ternyata juga tidak bebas dari kesalahan, akhirnya juga harus dipenjara. Jika demikian halnya, maka benar, tidak seorang pun di dunia ini, yang tidak pernah melakukan kesalahan atau berbuat alfa. Manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Oleh karena itu jika ingin mendapatkan kesalahan, maka datanglah kepada manusia, pasti kesalahan itu akan didapat, apakah kesalahan itu disengaja atau tidak. Bahkan sebaliknya, jika ada orang mengaku atau berlagak tidak salah, justru mereka itu yang salah. Lantas dengan kesimpulan seperti itu, apakah kemudian kesalahan dan bahkan kejahatan harus dibiarkan atau diberi toleransi. Tentu saja tidak, pembiaran terhadap kejahatan akan membuat masyarakat menjadi terlalu bebas, melakukan apa saja yang dimaui. Masyarakat akan menjadi tidak stabil, mereka yang kuat akan memeras, menindas dan membunuh pihak yang lemah. Maka, akan terjadi apa yang disebut dengan homo homini lopus. Oleh karena itu, jalan keluar yang bisa ditempuh, ialah memperlakukan secara berbeda antara perbuatan salah dan perbuatan jahat. Orang salah mestinya diingatkan atau dibenarkan, sedang pelaku kejahatan harus dihukum. Orang melakukan kesalahan, bisa jadi karena justru ingin menyelamatkan sesuatu yang lebih besar. Seorang dokter tatkala membedah perut ibu yang sulit melahirkan, dianggap benar dan seharusnya dilakukan. Padahal membedah siapapun adalah salah. Perbuatan salah bisa menjadi benar, karena ada maksud kebaikan atau penyelamatan. Seorang guru menghukum muridnya yang bandel, mestinya justru dianggap benar, jika dilakukan untuk maksud baik dalam kontek mendidik. Berbeda dengan itu adalah perbuatan jahat. Siapapun yang berwatak jahat, bermental perusak, seharusnya dihukum. Namun menghukum orang jahat pun juga harus bernilai edukatif, yakni memberikan pelajaran baik pada pelakunya maupun masyarakat luas, agar kejahatan dan moral bejat tidak tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Menghukum orang jahat, bejat, dan tidak bermoral pun tidak boleh dilakukan dengan cara tidak adil dan dilakukan di luar peri kemanusiaan. Manusia, siapapun orangnya, harus mendapatkan penghormatan semestinya. Akhir-akhir ini, tidak sedikit pejabat, mulai dari menteri, anggota DPR, gubernur, bupati atau wali kota, jaksa, hakim, KPK, direktur bank, pimpinan BUMN, ditengarai melakukan kesalahan, lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Mereka itu umumnya dipersalahkan karena melakukan korupsi. Pertanyaannya adalah apakah korupsi yang mereka lakukan selalu bisa dikategorikan sebagai kejahatan. Apakah tidak ada aspek lain yang pelu dilihat, misalnya dilakukan karena system. Jika hal itu merupakan kejahatan, mengapa hal itu terjadi secara massip dan dilakukan oleh orang-orang yang semula masuk kategori orang-orang pilihan. Orang yang telah berhasil meniti karier, hingga menjadi pejabat setinggi itu, maka terlalu sederhana jika mereka dianggap sebagai orang jahat, sehingga harus dihukum. Menurut hemat saya, menganggap jahat pemimpin setinggi itu adalah sebuah keputusan yang sederhana. Seolah-olah persoalan kemanusiaan hanya sesederhana itu. Tugas-tugas pemimpin, yang pada kenyataannya sedemikian rumit, yaitu mereka harus menghadapi manusia dengan berbagai karakter, watak, perilaku, akhlak, tabiat yang beraneka ragam, maka rasanya tidak mungkin keputusan yang diambil, dilakukan dengan mudah dan sederhana. Dalam kasus dan kontek tertentu, rasanya kurang tepat jika kesalahan itu, kemudian dianggap sebagai kejahat dan kemudian yang bersangkutan dimasukkan ke penjara. Saya termasuk pembenci perbuatan korupsi, tetapi rasanya tidak sampai hati, melihat orang-orang yang telah berumur, jasanya sudah sekian banyak, hanya karena dianggap melakukan kesalahan, apalagi kesalahan itu dilakukan sudah sekian tahun yang lalu, sehingga ingatan dan barang buktinya pun harus dicari dengan cara tidak mudah, tetapi tetap harus diantar oleh para anak dan cucunya masuk penjara segala. Melihat pemandangan seperti itu, saya yakin ada orang yang suka, tetapi banyak pula orang yang merasa sedih dan haru. Setiap mendengar berita seperti itu, pikiran saya selalu sampai pada ujung pertanyaan, apa mungkin menjadi pemimpin sukses, tetapi tanpa harus menghukum siapapun, agar benar-benar adil dan manusiawi.Wallahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang