Seharusnya memang, Perguruan Tinggi Islam secara institusional difungsikan sebagai kekuatan dakwah. Misi utama perguruan tinggi Islam adalah sebagai lembaga akademik, akan tetapi tidak perlu merasa kurang kewibawaannya tatkala melakukan peran-peran dakwah. Bahkan justru sebaliknya, perguruan tinggi Islam harus merasa kurang sempurna manakala tidak melakukan peran-peran itu.
 Peran dakwah tidak harus dimaknai secara sederhana, misalnya mengirim mubalig ke desa-desa untuk memberikan pengajian. Peran dakwah perguruan tinggi, sebagaimana misinya yang disandang yaitu menjalankan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, harus dilakukan lebih berkualitas agar memberi manfaat kepada masyarakat yang lebih luas. Namun demikian, jika perguruan tinggi Islam, menyelenggarakan dakwah dengan mengirim dosen dan atau mahasiswanya ke daerah-daerah yang membutuhkan juga tidak mengapa.  Namun, pada kenyataannya perguruan tinggi Islam masih harus menghadapi persoalan internalnya sediri.  Yaitu, belum semua sivitas akademika memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk melakukan tugas-tugas atau misi dakwah. Tidak sedikit di antara banyak orang masuk perguruan tinggi Islam sebatas untuk mendalami pengetahuan sebagai bekal hidupnya sendiri, sebagaimana pada umumnya orang belajar ke perguruan tinggi.  Melihat kenyataan itu, maka misi dakwah bagi perguruan tinggi Islam seharusnya ditujukan pada dua sasaran sekaligus, yaitu kepada kondisi internal perguruan tinggi Islam yang bersangkutan, dan kepada kondisi eksternal, yaitu masyarakat pada umumnya. Memenuhi kedua misi tersebut tidak mudah. Tidak sedikit perguruan tinggi Islam, sebatas berdakwah terhadap kalangan internalnya saja belum berhasil maksimal. Akibatnya, para lulusan perguruan tinggi Islam tidak berbeda, bila dilihat dari wawasan dan penghayatan keberagamaannya, dengan perguruan tinggi lain pada umumnya.      Untuk menjadikan perguruan tinggi Islam benar-benar sebagai kekuatan dakwah, maka harus diformat secara berbeda dari perguruan tinggi pada umumnya. Perguruan tinggi Islam harus memiliki ciri khas, atau karakter yang berbeda dari perguruan tinggi lainnya. Perbedaan itu dimaksudkan untuk mendapatkan nilai lebih, yaitu nilai-nilai ke-Islaman yang dipandang agung dan mulia sebagai ajaran yang harus mewarnai dalam kehidupan sehari-hari.   Perguruan Tinggi Islam Sebagai Kekuatan Dakwah Sebagaimana disinggung di muka, kehadiran perguruan tinggi Islam dimaksudkan untuk memenuhi panggilan dakwah. Perguruan tinggi Islam tidak selayaknya hanya berorientasi mengantarkan para mahasiswanya lulus menjadi sarjana, lalu berhasil memasuki lapangan pekerjaan tanpa merasa ada kewajiban mendakwahkan agamanya. Peran mengantarkan mahasiswa meraih sarjana memang penting, akan tetapi perguruan tinggi Islam tidak cukup jika hanya sebatas peran itu yang berhasil diraih.  Tatkala para tokoh Islam mendirikan lembaga pendidikan, umumnya yang terpikirkan oleh mereka adalah agar usahanya itu berhasil mencetak kader-kader dakwah. Sedemikian penting pandangan itu, karena berdakwah dipandang sebagai kewajiban. Umat Islam berkewajiban  menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat luas. Kewajiban berdakwah itulah yang seharusnya ditunaikan, baik secara institusional maupun oleh pribadi-pribadi warga kampus, termasuk  para lulusannya.  Peran dakwah bagi perguruan tinggi Islam, seharusnya ditampakkan secara utuh dan menyeluruh, baik secara institusional maupun pribadi-pribadi sivitas akademikanya. Secara institusional, perguruan tinggi Islam harus menjadi kekuatan dakwah. Oleh sebab itu, penampilan perguruan tinggi Islam dari semua aspeknya, penampilan wajah kampus, para dosen dan karyawan, serta mahasiswanya, harus menampakkan jati diri ke-Islamannya. Jati diri ke-Islaman itu harus terbangun, baik dari aspek yang bisa dilihat maupun yang tidak.  Jati diri yang tampak misalnya, perguruan tinggi Islam harus benar-benar tampil di depan dalam mengembangkan keilmuan, temuan-temuan yang dihasilkan, maupun pikiran-pikiran inovatif yang dihasilkan. Setidak-tidaknya, karena keterbatasan yang dialami, hingga pengembangan keilmuan tersebut belum dapat diraih, maka semangat, etos, dan cara berpikir perguruan tinggi Islam harus ada di depan; karena sesungguhnya sumber keilmuan bagi perguruan tinggi Islam, lebih sempurna, yaitu selalu mendasarkan pada ayat-ayat  qawliyah dan ayat-ayat kawniyah sekaligus.  Sedangkan jati diri sebagai perguruan tinggi Islam yang tidak tampak, tetapi gejalanya bisa dirasakan, misalnya adalah tentang kebenaran niat, keikhlasan, kejujuran, keterbukaan, mengedepankan keadilan dan kebenaran dan lain-lain. Sebagai lembaga pengembangan ilmu, maka perguruan tinggi Islam harus menampilkan sosok yang benar-benar tampak diwarnai oleh ajaran Islam yang mulia.   Jika hal-hal seperti itu berhasil ditampakkan, maka  perguruan tinggi Islam  akan benar-benar berhasil  sebagai  kekuatan dakwah. Artinya keberadaan perguruan tinggi Islam itu telah  menyandang kekuatan dan kewibawaan untuk mempengaruhi, baik terhadap kalangan internal kampus maupun pihak-pihak luar yang bersentuhan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan perguruan tinggi Islam ini.  Peran Dakwah oleh Warga Kampus Dakwah adalah kegiatan untuk menyampaikan pesan-pesan ajaran Islam, memberikan keteladanan, sekaligus juga menggerakkan. Kegiatan seperti itu bisa dilakukan secara individual maupun terorganisasi dalam sebuah kelompok. Peran atau fungsi-fungsi seperti ini, harus menjadi sebuah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya. Rasa tanggung jawab oleh warga kampus untuk melakukan peran-peran dakwah hendaknya menjadi ciri khas perguruan tinggi Islam.  Dalam hal menyampaikan pesan-pesan dakwah, dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini bisa dilakukan dengan cara mudah dan murah. Fasilitas berupa teknologi modern yang murah misalnya dengan memanfaatkan jejaring sosial facebook, website, blog, atau scribd, dan juga lainnya.  Berdakwah kepada  kalangan tertentu, misalnya kepada mereka yang sudah terbiasa memanfaatkan dunia maya, maka bisa menggunakan fasilitas modern itu. Sebagai upaya  untuk mengkomunikasikan hasil-hal penelitian, pemikiran keagamaan, ide-ide baru dan inovatif,  agar mudah nyampai pada sasaran maka bisa dipublikasikan melalui website, facebook, scribd dan lain-lain. Hal itu bisa dilakukan oleh siapapun, baik pimpinan universitas, fakultas dan juga dosen semuanya.  Sekadar sebagai contoh,  sejak dua tahun lalu, pada setiap pagi —tanpa  pernah jeda atau berhenti— setelah melakukan shalat Subuh, dengan memanfaatkan waktu kira-kira setengah sampai satu jam, saya menulis makalah dan kemudian saya posting  lewat website, scrib dan facebook, maka naskah tersebut  segera terkirim ke ribuan pembaca dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan saya sempat kaget, setelah saya lihat di data komputer,  ternyata tulisan tersebut dibaca tidak kurang dari 5000-an orang pada setiap harinya.  Atas kenyataan itu, saya tidak bisa membayangkan, umpama tidak ada fasilitas tersebut, bagaimana saya bisa menyampaikan idea, pikiran, atau pandangan saya kepada sekian banyak orang itu pada setiap harinya. Sebaliknya,  alangkah ruginya jika peluang itu tidak digunakan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran atas amanah dakwah yang dibebankan kepadanya. Dengan fasilitas itu, maka informasi, pikiran, ide terkait dengan keagamaan dapat dikirim dan diterima oleh siapapun dengan biaya murah, mudah, dan sangat cepat.  Selain itu, perguruan tinggi melalui para pimpinannya akan dapat secara efektif melakukan dakwah dengan pendekatan keteladanan. Hal yang sederhana misalnya, setiap masuk waktu shalat, pimpinan kampus mengajak seluruh warganya untuk shalat berjama’ah. Menurut pengalaman saya selama ini, semua orang tahu dan sadar bahwa shalat berjama’ah adalah penting. Nabi Muhammad saw. dalam berbagai riwayatnya tidak pernah melakukan shalat sendirian. Oleh karena itu, perguruan tinggi Islam seharusnya menjadi pelopor shalat berjama’ah. Betapa indahnya ketika ajakan ini berhasil dilakukan. Semua orang Islam berbondong-bondong menunaikan shalat jama’ah pada setiap waktu shalat. Tidak saja indah, tetapi pemandangan itu juga bisa menggetarkan hati orang lain manakala melihat kekuatan kaum Muslim yang berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat jama’ah.  Sedemikian ringannya shalat bejama’ah itu, namun pada kenyataannya —di mana-mana, termasuk di kampus— orang lebih menyukai shalat sendiri-sendiri, di kantor atau di rumahnya. Berdasarkan pengalaman memimpin kampus tidak kurang dari 30 tahun, saya mendapatkan kesimpulan bahwa masyarakat, tidak terkecuali masyarakat kampus, selalu memerlukan pemandu, contoh, teladan, dan bahkan ajakan atau peringatan. Selain itu, mengajak pada kebaikan belum tentu direspon dengan baik. Diperlukan pula kesabaran dan ketekunan, karena keberhasilannya —shalat berjama’ah akan menjadi kebiasaan— baru akan tampak setelah melewati waktu yang cukup lama.  Bimbingan atau panduan untuk menjalankan ibadah shalat lima waktu secara berjama’ah di kampus sebenarnya adalah sesuatu yang amat sederhana. Akan tertapi, jika tidak ada keteladanan, himbauan, dan bahkan juga paksaan dari pimpinan, tidak selalu akan dijalankan. Pada kenyataannya, peran-peran pimpinan, tidak saja penting bagi para mahasiswa, dan karyawan, tetapi juga diperlukan bagi para dosen senior sekalipun.  Hal yang sederhana tetapi menarik, bahwa untuk menjalankan kewajiban shalat berjama’ah, ternyata tidak ada beda yang signifikan antara  mahasiswa,  lulusan S1, S2, dan bahkan S3. Artinya, tidak berarti bahwa semakin tinggi pendidikan yang diraih, maka ketekunan, kedisiplinan, atau keistiqamahan dalam menjalankan ritual semakin meningkat. Itulah sebabnya, maka diperlukan keteladanan dari segenap pimpinan kampus, dalam hal ini adalah rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, atau lainnya.  Keteladanan dari pimpinan tidak saja perlu dalam hal menggerakkan shalat berjama’ah, tetapi juga dalam memenuhi kewajiban lainnya, misalnya dalam berzakat, infaq,  dan shadaqah. Selama ini saya punya pengalaman yang kiranya penting diungkapkan. Bahwa di mana-mana, umat Islam dalam hal mengeluarkan kewajiban zakat, infaq dan shadaqah cukup sulit. Akan tetapi, jika hal itu diberikan keteladanan dari pimpinan, maka ternyata mudah dilakukan.  Sekadar sebagai contoh, sejak pada  setiap bulan,  saya selaku pimpinan kampus, selalu mengeluarkan minimal  20 % dari pendapatan yang saya terima, ternyata tatkala mewajibkan para bawahan  untuk berinfaq dan shadaqah sebesar 2,5 %,  segera diterima dan dijalankan. Bahkan dengan cara itu, maka penyimpangan, misalnya korupsi dan sejenisnya, bisa dihindari dengan sendirinya.  Sudah barang tentu kegiatan dakwah tidak saja terbatas shalat berjama’ah dan pembayaran zakat, infaq dan shadaqah melainkan juga berbagai jenis kegiatan lainnya. Dalam soal tulis menulis misalnya, dengan setiap pagi bakda subuh saya menulis makalah pendek, maka para  pimpinan universitas, fakultas, dan bahkan juga dosen tergerak untuk menulis. Sebagai gambaran sederhana, sejak lima tahun terakhir, sekalipun UIN Maulana Malik Ibrahim Malang hanya memiliki sekitar 260 orang dosen tetap,  ternyata buku yang berhasil  diterbitkan tidak kurang dari 80 judul setiap tahunnya.  Akhirnya, dari beberapa pengalaman dan contoh tersebut, saya berkesimpulan bahwa kampus akan menjadi kekuatan dakwah, makakala ada  keteladanan, anjuran, dan empatik dari pimpinan dari berbagai levelnya. Berdakwah di mana saja, tidak terkecuali di kampus, harus dimulai dari pimpinannya. Maka tepatlah, apa yang dikatakan oleh Rasulullah, bahwa mengajak atau berdakwah harus memulai dari dirinya sendiri atau ibda’ bi nafsika.   Misi Dakwah Dan Alternatif Format Kampus Dalam sekian lama memimpin Perguruan Tinggi Islam, saya mendapatkan pengalaman berharga dan saya rasakan cukup menarik.  Di antaranya adalah bahwa, jika perguruan tinggi Islam hanya dijalankan sebagaimana adanya, maka agak berlebihan mengharapkan kampus menjadi kekuatan dakwah dan juga para lulusan mampu melakukan peran-peran ideal yang diinginkan. Agar keinginan itu dapat diraih, maka kampus perguruan tinggi Islam harus diformat secara berbeda dari kampus-kampus lainnya, baik menyangkut kurikulum, pembelajaran,  dan juga tradisi atau budaya perguruan tinggi secara keseluruhan.  Sudah sekian lama saya mendengar keinginan dari berbagai pihak, agar lulusan perguruan tinggi Islam memiliki pengetahuan dan kecakapan yang memadai tentang ke Islaman, misalnya berhasil memahami al-Qur’an dan hadits, bisa berbahasa Arab dan mampu melakukan peran-peran kepemimpinan keagamaan. Keinginan itu sebenarnya sulit diraih, jika program-program yang dikembangkan hanya berjalan sebagaimana biasanya. Sejak beberapa tahun terakhir —kurang lebih 12 tahun— saya mencoba menyempurnakan universitas dengan tradisi ma’had atau pesantren, ternyata hasilnya cukup menggembirakan.  Para mahasiswa, oleh karena bertempat tinggal di ma’had atau asrama kampus dengan pengelolaan atau manajemen yang memadai, maka berhasil dibiasakan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan di kampus secara lebih efektif. Kegiatan keagamaan yang dimaksudkan itu misalnya, selalu shalat berjama’ah pada setiap waktu, membiasaan tadarrus al-Qur’an, shalat malam, berlatih berbahasa Arab dan seterusnya. Tradisi seperti ini, sekalipun belum maksimal, hasilnya sudah jauh berbeda dibanding sebelumnya, tatkala kampus belum dilengkapi dengan ma’had.  Keberadaan ma’had menjadi penting di kampus, karena pendidikan Islam tidak cukup hanya diberikan melalui kuliah dalam beberapa semester dan dengan hitungan SKS. Hasil kuliah, ceramah, atau diskusi di kelas harus dikembangkan dalam kegiatan sehari-hari. Bahwa belajar tentang Islam, tidak sebagaimana mempelajari ilmu lainnya. Islam adalah iman dan amal saleh, karena itu harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Membangun kultur, yakni kultur Islam yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi Islam tidak bisa diwujudkan hanya dengan pendekatan perkuliahan biasa.   Pendidikan Islam, tidak terkecuali di perguruan tinggi Islam, harus diformat sedemikian rupa, agar proses pembudayaan itu terjadi. Salah satu alternatif yang bisa dikembangkan adalah melengkapi kampus dengan ma’had. Sebagai gambaran dari dampak adanya Ma’had di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, di antaranya tumbuh semangat belajar, muncul kajian Islam, termasuk menghafal al-Qur’an. Tanpa ada aturan yang mewajibkannya, pada saat ini di antara sekitar 7.200 orang mahasiswa, ada 836 orang yang mengikuti kegiatan menghafal al Qur’an.  Sejak berubah bentuk menjadi universitas pada tahun 2004 (sebelumnya berupa sekolah tinggi) pada setiap  kali menyelenggarakan wisuda sarjana, peraih nilai terbaik adalah hafidz dan atau hafizhah 30 juz. Menariknya pula, mereka yang hafal al-Qur’an 30 juz tersebut tidak saja berasal dari fakultas agama (syari’ah dan tarbiyah), melainkan dari fakultas saintek, psikologi, ekonomi dan fakultas humaniora dan budaya.  Lulusan perguruan tinggi Islam seperti itu, apapun disiplin ilmu yang menjadi pilihannya, akan memiliki semangat untuk berdakwah dan memiliki bekal secara cukup. Oleh karena itu, rasanya format perguruan tinggi Islam harus berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya. Perlu ditambahkan bahwa, ma’had bukan saja berupa fasilitas penginapan, semacam rusunawa, melainkan dilengkapi fasilitas lainnya, misalnya rumah pengasuh, masjid, organisasi pembinaan dan program-program ke-ma’hadan.  Pimpinan Perguruan Tinggi Islam dan Misi Dakwah Hal lainnya yang sebenarnya memerlukan perhatian, jika diinginkan agar perguruan tinggi Islam memiliki kepedulian terhadap dakwah adalah menyangkut kepemimpinannya. Pemimpin selalu mewarnai tradisi, orientasi dan bahkan juga budaya perguruan tinggi. Bahkan apa yang tampak dari sebuah perguruan tinggi —mungkin juga bagi semua organisasi— merupakan cerminan atau gambaran dari pimpinan lembaga yang bersangkutan.  Posisi pemimpin sedemikian strategis, maka memilih pemimpin semestinya disesuaikan dengan misi besar institusinya.  Para pemimpin sehari-hari melakukan peran sebagai sumber ide, inspirasi, penunjuk arah, pemberi semangat, target-target di masa depan yang harus dicapai dan yang lebih penting dari itu semua adalah ketauladanan. Pemimpin perguruan tinggi Islam, dalam memberikan keteladanan, dalam kehidupan sehari-hari harus mampu menunjukkan kedalaman spiritual, akhlak, keluasan ilmu,  dan dalam melakukan sesuatu selalu mendasarkan pada prinsip-prinsip profesional.  Oleh karena itu maka pemimpin perguruan tinggi Islam harus memiliki berbagai kewibawaan secara kumulatif, yaitu kewibawaan keagamaan, kewibawaan keilmuan, kewibawaan sosial dan kewibawaan profesional atau amal saleh. Pimpinan perguruan tinggi Islam seharusnya menyandang kelebihan yang diperlukan. Bisa jadi karena keterbatasan orang, pimpinan perguruan tinggi Islam memiliki kekurangan, tetapi tidak boleh kekurangan itu terletak pada kewibawaan keagamaannya, baik dari aspek kognitif maupun penghayatan,  dan pengalamannya.  Identitas sebagai perguruan tinggi Islam seharusnya juga tampak dari  sosok pribadi para pimpinannya. Bahkan kewibawaan itu tidak saja diakui di kampus melainkan juga di mana para pemimpin kampus perguruan tinggi Islam itu berdomisili. Perumahan pimpinan perguruan tingi Islam misalnya, harus mencerminkan sebagai rumah pimpinan lembaga Islam, yang bernuansa dawah.  Rumah itu misalnya, harus diformat secara terbuka, sehingga siapapun bisa berkonsultasi, bersilaturahmi, dan mendapatkan bimbingan secara nyata tentang kehidupan beragama. Pimpinan perguruan tinggi Islam harus berdekatan dengan masjid yang ia sendiri sebagai pemimpinnya sehari-hari.  Sekalipun boleh saja pimpinan perguruan tinggi Islam bertempat tinggal di perumahan elit, tetapi harus menampakkan secara berbeda dari para tetangga lainnya. Pimpinan perguruan tinggi Islam harus selalu tampak di masjid pada waktu shalat lima waktu, berjama’ah, maupun pada kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.  Jika itu semua berhasil diwujudkan, maka perguruan tinggi Islam tersebut telah menjalankan peran-peran dakwah yang sebenarnya. Dakwah harus dijalankan oleh kalangan luas, tidak terkecuali  perguruan tinggi Islam sendiri. Jika hal itu bisa diwujudkan, maka semangat membangun perguruan tinggi Islam akan memiliki makna yang sebenarnya, yaitu mengembangkan lembaga ilmu pengetahuan sebagaimana perintah agama dan sekaligus mendakwahkannya. Wallahu a’lam.  *) Makalah untuk seminar Antar Bangsa tentang Peran Dakwah Perguruan Tinggi Islam di UMSU Medan.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang