Kebersamaan Dalam Membangun Kampus

Cita-cita perguruan tinggi Islam adalah sangat mulia, yaitu melahirkan ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’. Sementara ini ada dua lembaga pendidikan yang melahirkan identitas ilmuwan yang berbeda. Yaitu pondok pesantren yang ingin melahirkan ulama’ dan perguruan tingi yang diharapkan melahirkan ilmuwan atau intelek. Perguruan tinggi Islam selama ini sesungguhnya bercita-cita melahirkan sekaligus dua identitas itu, yakni ulama’ sekaligus intelek dan intelek sekaligus  ulama.  

                        Cita-cita itu sedemikian idealnya, tetapi sampai saat ini belum kunjung berhasil secara memuaskan. Sampai saat ini telah terdapat 53 perguruan tinggi Islam negeri, tersebar di seluruh tanah air. Semua lagi berbenah, mengembangkan berbagai aspek, baik terkait dengan konsep bangunan keilmuannya, pengembangan sarana dan prasaranana, kelembagaan maupun  leadership dan managerialnya.     UIN Maliki Malang, satu di antara sekian banyak Perguruan Tinggi Islam Negeri, beberapa tahun terakhir ini melakukan perubahan mendasar. Beberapa aspek  berhasil dikembangkan, hingga tidak sedikit orang bertanya, apakah strategi yang diambil untuk melakukan perubahan itu. Maka berikut,  sebagai upaya membagi-bagi pengalaman beberapa strategi itu dituturkan secara singkat sebagai berikut :  (1)   membangun cita dan tekat bersama, (2)  bertekat senantiasa Menyatukan Semua Orang, (3) Membangun budaya berpuasa, (4) Terbuka, saling berdialog dan Menasehati,  (5) Berorientasi kesamaan dan Kebersamaan, dan (6) Menciptakan inovasi baru secara terus menerus.      Membangun Cita dan Tekad Bersama   Setiap warga kampus pasti memiliki pandangan, cita-cita, imajinasi, keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan itu masing-masing harus diberi ruang gerak yang leluasa asalkan tidak mengganggu kepentingan institusi yang dikembangkan bersama. Jika di sana ada konflik kepentingan, antara kepentingan individu dan institusi, maka kepentingan individu harus dikalahkan untuk mengutamakan institusi. Secara individual dibiarkan mereka membangun pribadinya masing-masing, akan tetapi mereka diikat secara kolektif oleh orientasi yang sama, yaitu membesarkan universitas.  Kebesaran universitas harus dikedepankan daripada kepentingan individu masing-masing.     Keyakinan yang dibangun adalah bahwa kebesaran universitas akan sekaligus membawa kebesaran setiap individu yang ada di dalamnya. Dan sebaliknya belum tentu kebesaran individu secara otomatis mengakibatan kebesaran lembaga perguruan tinggi ini. Betapapun kebesaran seseorang akan tergantung pada keadaan institusinya. Sebagai misal, seorang  karyawan, akan dihargai orang lain manakala univerdsitas ini besar. Berbeda misalnya, sekalipun mereka berada di posisi puncak, katakan sebagai rektor tetap tidak diperhatikan orang,  jika universitas ini tetap dipandang kecil oleh masyarakat. Oleh karena itu selalu diyakinkan kepada seluruh warga kampus, bahwa memperjuangkan kebesaran universitas   adalah sama halnya dengan memperjuangkan harkat martabat semua orang yang tergabung di UIN Maliki Malang.     Pandangan secara lebih luas tentang bagaimana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, terkait tentang visi, misi, tradisi, orientasi pendidikan dan bahkan mimpi-mimpinya ke depan selalu disosialisasikan kepada semua tingkatan melalui berbagai bentuk publikasi, baik secara lisan, tulisan dan bahkan media lainnya secara terus menerus. Diterbitkan buku kecil berisi tentang visi, misi dan tradisi UIN Maliki Malang. Buku ini dibagikan baik ke mahasiswa baru, dosen dan karyawan. Isi buku itu juga diterangkan berulang-ulang kepada segenap warga kampus. Selain itu juga dibukukan mimpi-mimpi UIN Maliki Malang dan buku Tarbiyatul Ulil al Baab. Gambaran tentang UIN Maliki Malang ke depan, baik menyangkut sarana dan prasarana, dosen yang dipandang ideal, karyawan dan juga lulusan yang diharapkan, gambaran kebesaran UIN Maliki Malang yang dicita-citakan diilustrasikan pada buku itu.  Demikian pula, bagaimana orientasi pendidikan yang harus dipahami oleh seluruh warga kampus dijelaskan pada buku Tarbiyatul ulil al baab.     Sosialisasi berbagai buku tersebut dilakukan secara terus agar  jika perlu  menjadi ritual bersama. Diyakini bahwa setiap orang selalu memiliki jiwa, semangat, orientasi yang berubah-ubah pada setiap waktu. Perubahan itu diharapkan tidak sampai menggeser sekecil apapun terhadap tekad untuk mengembangkan universitas ini. Belajar dari implementasi ajaran Islam, agar seseorang tetap teguh berpegang pada keimanannya, maka setiap saat diwajibkan sholat lima waktu tanpa boleh henti sepanjang nyawa masih ada di jasadnya. Pada sholat itu diharuskan membaca al fatekhah secara berulang-ulang. Sholat tanpa membaca surat al Fatekhah dianggap tidak syah. Artinya, pengulangan itu perlu dilakukan untuk menjaga keimanan yang seharusnya dipegang secara istiqomah. Belajar dari ajaran inilah maka visi, misi dan tradisi UIN Maliki Malang, mimpi-mimpi UIN Maliki Malang, tarbiyatul Ulil al Baab selalu dijadikan dzikir resmi warga kampus sebagai upaya menjaga tekad bersama secara istiqomah.                  Universitas Islam Negeri Malang harus mampu membangun jati dirinya secara khas, ialah jati diri Universitas Islam Negeri Malang. Jati diri itu dikonsep dengan sebutan Ulul Al Baab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir, berpikir dan beramal sholeh serta berakhlakul karimah. Konsep Ulul al Baab itu sendiri diambil dari al Qur’an. Sekalipun konsep tersebut diperkenalkan sudah cukup lama, yaitu sejak awal tahun 1998,—– tatkala saya memulai memimpin kampus ini, ternyata masih belum selesai. Pekerjaan mensosialisasikan konsep yang harus dijadikan pegangan ternyata tidak bisa dilakukan sesaat, melainkan harus dilakukan sepanjang waktu. Menyadari hal ini, saya juga menjadi sadar bahwa dzikir, sholat lima waktu, puasa dan kegiatan ritual lainnya harus dilakukan sepanjang hayat, dan tidak boleh berhenti.     Bertekad Senantiasa Menyatukan Semua Orang   Pekerjaan yang tidak mudah ialah menyatukan cita-cita dan tekad bersama membangun kampus lantaran adanya perbedaan pandangan keagamaan di anatara warga kampus. Perbedaan itu sesungguhnya sangat sederhana, yang terkait dengan furu’ fiqhiyah. Perbedaan kecil yang kemudian terformalkan menjadi organisasi ternyata masing-masing menguat sehingga kadangkala sulit disatukan. Mereka yang mengaku sebagai bagian NU akan tidak terlalu mudah ——-dalam momentum tertentu, menyatu dengan kelompok Muhammadiyah. Organisasi itu tidak saja ada di kalangan dosen, melainkan juga di kalangan mahasiswa. Organisasi mahasiswa lebih variatif lagi, yaitu ada PMII, HMI, IMM, GMNI. Belum lagi terdapat organisasi kedaerahan asal kelahiran mahasiswa maupun lembaga pendidikan sebelumnya. Misalnya, mahasiswa sumatera, mahasiuswa Jombang, mahasiswa asal Pesantren Tambak Beras dan seterusnya.     Kelompok organisasi yang berbeda-beda ini seringkali menguat dan menjadi kelompok menekan terhadap kebijakan baru yang dianggap atau diduga kurang menguntungkan bagi organisasinya. Oleh karena itu, mengembangkan kampus, tidak saja dituntut kreatif mencari terobosan-terobosan baru melainkan juga menyusun strategi agar pikiran baru tersebut dapat diterima oleh seluruh kelompok yang ada itu. Pekerjaan menyatukan itu kadang jauh lebih rumit daripada mencari sumber-sumber pendanaan yang diperlukan. Bahkan kadang terasa benar, hambatan untuk memajukan perguruan tinggi yang penuh perbedaan, bukan berasal dari faktor eksternal kampus, melainkan justru berasal dari internal kampus sendiri. Pekerjaan mengembangkan kampus tidak jarang dipersulit oleh adanya kelompok-kelompok ini. Lebih dari itu,   menjadi lebih berat lagi manakala dalam organisasi itu terdapat orang-orang yang berambisi mendapatkan keuntungan. Berbagai renungan atas pengalaman selama ini,  saya mendapatkan kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak semua orang menginginkan kemajuan, melainkan semua orang menginginkan keberuntungan. Belum tentu semua orang menginginkan kemajuan jika kemajuan itu belum tentu menguntungkan dirinya. Bahkan sebaliknya, sekalipun lembaga ini tidak maju, tidak mengapa asal mereka tetap mendapatkan keuntungan.          Persoalan tersebut jika dipelajari secara saksama sesungguhnya merupakan bentuk proses-proses sosial belaka, yang menggunakan agama sebagai medianya. Intinya adalah di antara mereka yang membangun perbedaan dan juga berkonflik,  didorong oleh kepentingan pribadi dan kelompok dengan menggunakan media organisasi. Agama yang sarat dengan muatan paham yang bersifat interepretatif sangat mudah melahirkan kelompok-kelompok itu. Dan biasanya, organisasi ini dijadikan alat untuk meraih kepentingan, baik pribadi maupun kelompok.       Strategi yang diambil selama ini untuk mengeleminasi terjadinya konflik yang tidak perlu itu, adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masing-masing kelompok dan faham itu berkembang secara maksimal. Kehidupan kelopok dan faham keagamaan ——sepanjang masih berada pada bingkai Islam, dibiarkan tumbuh dan bahkan didorong pertumbuhannya. Kelompok NU misalnya, diberi peluang gerak yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan bahkan memperlihatkan identitasnya. Kegiatan-kegiatan yang menjadi simbul ke NU an seperti Qotmul Qur’an, membaca sholawat, pujian sebelum sholat dan dzikir dikeraskan setiap selesai sholat jama’ah, sholat tarweh 20 roka’at, baca qunut pada sholat subuh dan bahkan keharusan menabuh bedug sebelum adzan dimulai dipupuk hingga menjadi semarak. Mereka yang berafiliasi pada NU dibuat agar menjadi merasa menemukan jati dirinya. Selain itu, mereka agar menjadi orang NU, dan benar-benar NU yang tumbuh di kampus UIN Maliki Malang.     Begitu juga yang merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah, mereka juga diberi saluran untuk mengembangkan diri di kampus. Kegiatan seperti kultum (kuliah tujuh menit), doa majlis setiap akhir pertemuan dipersilahkan dikembangkan. Yang dihindari adalah ucapan, kegiatan yang menjadikan di antara mereka berbenturan. Begitu juga kelompok-kelompok organisasi di kalangan mahasiswa, semua diberi ruang gerak untuk berkembang. Fasilitas kampus yang sekiranya bisa digunakan oleh organisasi ekstra kampus —-PMII, HMI, IMM, GMNI dan lain-lain dapat digunakan sepanjang tidak sedang digunakan oleh universitas/fakultas atau organisasi intra kampus lainnya. Bahkan, pernah pada awal perkembangan kampus ini, sengaja seluruh organisasi intra kampus dibuatkan faslitas madding dan atau papan pengumuman sebagai bukti akan kepedulian kampus terhadap seluruh warganya, termasuk organisasi ekstra kampus ini.     Selain itu simbul-simbul kepedulian kampus terhadap kehidupan organisasi keagamaan —-NU, Muhammadiyah, juga ditunjukkan melalui momentum tertentu, misalnya ketika sedang diberlangsungkannya muktamar oleh masing-masing organisasi keagamaan itu. Setiap muktamar NU misalnya, di depan kampus dipasang spanduk ucapan selamat bermuktamar dengan tema disesuaikan dengan misi NU, misalnya bunyi ucapan itu : ”Selamat Bermuktamar, semoga NU tetap Kokoh dalam Mengembangkan Spiritualitas dan Intelektualitas Ummat”. Demikian pula jika Muhammadiyah bermuktamar, juga dipasang spanduk dengan ucapan yang sesuai dengan misi Muhammadiyah, yang berbunyi : ” Selamat Bermuktamar, Semoga Muhammadiyah tetap Kokoh dalam Mengembangkan Dakwah, Sosial dan Pendidikan”. Tidak sebatas itu, pimpinan kampus, sebisa-bisa juga berusaha hadir dalam setiap muktamar itu.     Strategi ini diambil agar keberadaan universitas Islam MaulanaMalik Ibrahim  Malang benar-benar menjadi milik seluruh umat, tidak terkecuali mereka yang berafiliasi pada masing-masing organisasi keagamaan itu. Selain itu, juga diharapkan agar tumbuh pada perasaan mereka suasana senang dan bangga tatkala menjadi bagian  dari penggerak  NU dan demikian juga yang lain merasa senang dan bangga tatkala menjadi bagian dari gerakan Muhammadiyah. Atas dasar suasana batin yang gembira seperti itu,  diharapkan tumbuh perasaan bahwa memperjuangkan UIN Maliki Malang adalah menjadi  bagian dari hidup mereka. Mereka tidak saja berada pada ikatan emosional faham keagamaan yang berbeda  itu, melainkan juga berada pada ikatan bersama dalam wadah UIN Maliki Malang.  Suasana batin seperti itu diharapkan semakin meresapi dan bahkan membela cita dan tekad mengembangkan kampus ini.     Membangun Budaya  Berpuasa   Godaan untuk meraih cita-cita dalam  membangun proyek besar lembaga pendidikan tinggi Islam biasanya cukup banyak. Godaan itu bisanya justru  berasal dari pribadi pimpinan baik tingkat atas, menengah dan bahkan pimpinan tingkat teknis operasional. Manakala godaan itu sudah tidak bisa dihindari, pimpinan dianggap telah tidak mampu mengemban kebersamaan, keadilan dan kejujuran maka akibatnya organisasi bagaikan terkena penyakit yang jika tidak segera disebuhkan akan melemahkan cita-cita dan tekad bersama itu. Manakala hal itu benar-benar terjadi, maka yang muncul adalah kepatuhan semu, mencari keselamatan masing-masing dan terjadi gosif di mana-mana. Di depan,  pimpinan dihormati, akan tetapi sebaliknya, di belakang akan dibenci dan dikhianati.     Untuk menghindari terjadinya suasana buruk dalam organisasi ini, maka selalu dikembangkan saling mengingatkan di antara warga kampus, betapa pentingnya berpuasa dalam pengertian yang sebenarnya maupun penegertian sebatas konotatif. Puasa dalam pengertian sebenarnya, diajak para pimpinan maupun  dosen untuk memperbanyak puasa sunnah seperti puasa senin kamis, puasa pada bulan Rajab, puasa hari Arofah dan Tarwiyah dan sebagainya. Puasa dalam pengertian konotatif maksudnya adalah diajak para pimpinan untuk tidak selalu mengambil haknya yang mungkin diperoleh dari kampus. Misalnya, tatkala melakukan peran-peran tertentu dan dengan perannya itu semestinya mendapatkan imbalan, maka tidak selalu diambilnya. Itulah yang dimaksud dengan berpuasa, yaitu tidak mengambil sesuatu yang semestinya bisa diambil.     Sikap seperti ini, di tengah-tengah budaya transaksional sebagaimana yang justru berkembang saat ini, bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Pada masa kehidupan yang serba transaksional, orang biasanya selalu menuntut imbalan terhadap seluruh apa saja yang dilakukan. Akan tetapi untuk menjaga cita-cita dan tekad bersama, maka mengembangkan suasana puasa bagi pimpinan adalah sangat mutlak diperlukan.     Betapa pentingnya kesediaan berpuasa dalam membangun budaya organisasi, mungkin bisa diilustrasikan melalui contoh kasus berikut ini. Di suatu perguruan tinggi, kebetulan memiliki pimpinan yang sedemikian cakap. Dia memiliki visi ke depan yang sangat jelas dan sangat piawai dalam menjelaskan gagasan-gagasannya. Selain itu yang bersangkutan juga memiliki kemampuan membangun jaringan dan  hubungan yang luas, sehingga dikenal baik secara horizontal dan vertikal. Akan tetapi, satu hal yang mengejutkan adalah, dia kurang mendapatkan apresiasi justru dari kalangan internalnya sendiri. Loyalitas dari bawahan terasa semu, sehingga gerakan yang diserukan dan bahkan kalimat-kalimat yang diucapkan, sekalipun bagus, terasa kurang berbobot. Ia tidak mampu membangun qoulan layyina dan sebaliknya yang terasa adalah ia sebatas memiliki qoulan tsaqila, sehingga ide-idenya tidak menjadi qoulan baligho. Atas keadaannya seperti itu, dia tidak mampu menjadi kekuatan penggerak bagi komunitasnya untuk meraih kemajuan lembaga pendidikan tinggi yang dipimpinnya.     Persoalan tersebut terjawab, ternyata pimpinan kampus tersebut memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu belum mampu melakukan puasa dalam pengertian konotatif tersebut. Beberapa proyek pengembangan kampus lebih banyak ditangani oleh mereka yang memiliki hubungan keluarga dengannya. Dan bahkan juga keluarganya selalu mendapatkan prioritas untuk memperoleh kemudahan-kemudahan melalui kampusnya tersebut. Sebagai contoh, keluarga dekatnya selalu diprioritaskan dalam pengisian formasi, baik dalam jabatan maupun pengangkatan kepegawaian di lembaga itu. Kebijakan primordial seperti ini biasanya mendapatkan persetujuan secara lahiriyah, akan tetapi tidak demikian secara batiniyah. Kasus seperti ini, yang sesungguhnya terjadi di berbagai tempat, sebisa-bisa tidak terjadi di UIN Maliki Malang.     Selanjutnya, agar organisasi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang ini tetap menjadi sehat dan kokoh, cita-cita dan tekad membangun kampus tetap terjaga dengan baik,  maka pimpinan selalu mengajak berpuasa, baik puasa dhahir maupun  puasa konotatif. Dan bahkan, sampai diyakini bahwa sesungguhnya kekuatan organisasi bukan saja pada kemampuan intelektual dan manajerialnya, melainkan pada kemampuan menjaga kebersamaan ini. Rumusan yang paling tepat untuk menjaga kebersamaan adalah bahwa pemimpin harus cerdas dan berakal, akan tetapi seorang pemimpin sebisa-bisa harus menghindar dari mengakali siapa saja yang dipimpinnya. Pemimpin harus jujur dan adil atas yang dipimpinnya.       Terbuka, Saling Berdialog  dan Menasehati   Semangat membangun kampus secara konsisten, berdasarkan pengalaan, memang sulit dilakukan. Ketika  memahami kehidupan kelompok manusia secara lebih mendalam, saya terbayang kehidupan sekelompok domba. Kehidupan manusia, terasa sangat sulit dipahami. Menurut pengalaman saya selama ini, siapa saja sebelum diangkat sebagai pegawai ——-dosen atau karyawan, selalu menunjukkan komitmennya akan  mau dipekerjakan pada bidang apa saja dengan imbalasan seberapapun. Yang penting, menurut pengakuan mereka, asal bisa bekerja dan bisa ikut mengabdi.  Akan tetapi, hampir dipastikan, seolah-olah tinta surat keputusan belum kering ditanda-tangani, semangat itu sudah berubah. Bekerja tidak sepenuh hati, dengan berbagai alasan, misalnya gaji tidak mencukupi, fasilitas kurang memadai, jenis tugas tidak sesuai dan segala macam alasan lainnya.     Selama saya menjabat sebagai rektor, sudah berkali-kali mengangkat dan juga menerima pindahan seseorang dari tempat lain ke UIN Maliki Malang. Saya mencoba memperlakukannya secara baik, agar mereka senang dan dengan suasana batin seperti itu mereka menjadi bersemangat menunaikan amanah sebaik-baiknya. Memang tidak sedikit di antara mereka yang bagus, akan tetapi juga ada saja di antara mereka yang barang kali bisa disebut sebagai khufur nikmat, bekerja tidak sepenuh hati.  Bahkan yang aneh, dan bagi saya sulit memahami, justru ada kemudian yang  membangun sikap perlawanan terhadap kebijakan universitas yang dikembangkan. Sepertinya mereka tidak memiliki rasa syukur dan terima kasih atas pertolongan yang saya berikan kepadanya.     Pengungkapan kasus ini bukan berarti saya sengaja memasukkan hal-hal yang bersifat emosional dan subyektif pada tulisan ini, melainkan kami merasa penting mengungkapkannya untuk menunjukkan secara obyektif, tentang gambaran yang sesungguhnya kehidupan manusia. Ternyata belum ada jaminan bahwa seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi dan bahkan juga pendidikan tinggi Islam berhasil memperkukuh dirinya dengan nilai-nilai Islam, seperti pandai bersyukur, sabar, ikhlas dan istiqomah. Mengikuti statemen dalam al Qur’an : qolillum minasy syaakirien. Sangat sedikit orang-orang yang berhasil mampu untuk bersyukur.     Sebagai upaya untuk menjaga istiqomah dalam berkerja, berjuang, sabar dan ikhlas, maka selain dilakukan sillaturrahmi di antar warga kampus dengan mengambil momen-momen tertentu misalnya pada hari raya, peringatan hari besar  Islam ——-maulud Nabi, isro’ mi’roj, nuzulul Qu’ran dan lain-lain, pada setiap bulan diselenggarakan khotmul Qur’an. Pada acara ini, seluruh dosen dan karyawan diundang untuk mengikutinya. Biasanya selesai khutmul Qur’an diberikan pengajian oleh salah seorang yang ditunjuk. Selain itu, pada setiap waktu sholat, seluruh dosen dan karyawan diajak sholat berjama’ah di masjid dan setelah itu salah seorang ditunjuk untuk memberikan kuliah tujuh menit, atau dikenal dengan kultum. Kesemua kegiatan itu dimaksudkan untuk memperkukuh tekad dan suasana batin yang istiqomah, selain juga agar terjadi suasana kebersamaan di antara warga kampus. Kegiatan khotmul Qur’an, akhir-akhir ini melibatkan seluruh mahasiswa yang bertempat tinggal di Ma’had yang berjumlah tidak kurang dari 2.000 orang. Sehingga setiap akhir bulan atau pada minggu ke empat, hari Kamis malam secara rutin diselenggarakan kegiatan ritual itu dan dilanjutkan dengan makan bersama, antara dosen, karyawan dan seluruh mahasiswa tersebut.     Saling mengingatkan akan kebenaran dan juga kesabaran —tawaashoubil haq watawaa shoubish shobr juga senantiasa dilakukan secara individual maupun kelompok. Pendekatan individual dilakukan setiap saat, di kampus kadang juga di rumah. Saya kadang merasakan, seorang Rektor bukan saja sebagai pemimpin kampus, yang bertugas memimpin kegiatan penelitian, pendidikan dan pengajaran  serta pengabdian masyarakat, melainkan juga memberikan guidance dan konseling kepada seluruh warganya. Bahkan Rektor seolah-olah juga sebagai penasehat pribadi  para dosen dan karyawan yang bermasalah.    

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share