Goresan Para Pelukis

Seorang pelukis bisa melukis  secara tepat, atau paling tidak mendekati tepat. Goresan-goresan yang dituangkan membentuk gambar lukisannya. Hampir tidak ada coretan yang tidak berguna, semua seperti disengaja  tanpa salah. Tebal atau tipis, dan arah goresan dituangkan secara otomatis hingga  membentuk lukisan yang indah.

  Bandingkan jika yang menuangkan goresan itu adalah  bukan seorang pelukis. Apa saja yang dituangkan  ternyata salah. Demikian pula hasilnya, tidak tepat dan juga tidak indah. Melukis  wajah seseorang, dan bahkan melukis wajah dirinya sendiri, mirip saja tidak. Lukisannya buruk, entah siapa yang sebenarnya dilukis, menjadi  tidak jelas.    Pelukis  profesional mampu memerintah tangannya sendiri untuk membuat goresan-goresan yang diperlukan.  Ada kesinambungan antara apa yang dimaui oleh pelukis dengan gerak tangannya sendiri. Gerak tangannya selalu memenuhi perintah dari kemauannya.  Antara perintah hati dengan gerak tangannya tidak akan  berbeda, sehingga hasil goresannya  tidak  harus direvisi  berulang-ulang, agar menjadi tepat.   Berbeda hal itu dengan goresan tangan orang yang  bukan pelukis,  seolah-olah antara kemauan dan gerak tangannya tidak sejalan. Apa yang dimaui oleh perasaan dan tangannya berlainan.  Bagi bukan pelukis, goresan-goresannya tidak tepat, bahkan malah keliru. Mungkin alat yang digunakan sudah berkualitas, demikian pula cairan yang digunakan. Tetapi tetap saja, lukisannya tidak bertambah indah.  Kualitas lukisan bukan  ditentukan oleh alat dan bahan yang digunakan, tetapi  sangat ditentukan oleh kemahiran pelukisnya. Alat melukis yang sederhana dan bahkan  dengan  bahan yang murahan, akan  tetap menghasilkan lukisan bagus manakala pelukisnya memang hebat. Begitu pula sebaliknya, sesederhana apapun alat yang digunakan, jika pelukisnya ulung  maka hasil lukisannya akan bagus.   Maka artinya, pelukis ternyata bisa mangarahkan, mengkoordinasi,  dan memerintah gerak tangannya sendiri. Sementara seorang  bukan pelukis, sebatas menggerakkan dan memimpin tangannya sendiri saja tidak mampu. Tangannya mengikuti perintah pikiran dan perasaannya, tetapi perintah itu tidak dijalankan secara tepat. Akibatnya lukisannya menjadi jelek.   Bahkan kadang, seseorang karena cacat tubuh —-(maaf) tidak  memiliki tangan, ia melukis dengan kaki atau juga mulutnya. Hasilnya sangat bagus dan berkualitas. Hasil lukisan orang cacat tersebut, bisa jadi,  mengalahkan lukisan orang-orang yang normal, tetapi bukan pelukis. Terasa aneh, seorang yang memiliki anggota tubuh lengkap, tetapi tidak bisa memerintah anggota tubuhnya sendiri. Sebaliknya, seorang hanya memiliki kaki, tetapi kakinya bisa diperintah untuk menuangkan goresan-goiresan hingga berhasil membentuk lukisan yang indah.  Memperhatikan cara kerja pelukis itu, banyak pelajaran penting yang harus diambil  oleh siapapun. Di antaranya itu  misalnya, seorang pelukis ternyata sanggup  mengikoordinasi, mensinkronkan, dan juga memadukan antara  perasaan dan anggota badannya untuk menggores-goreskan kuasnya di atas kertas. Keterpaduan itulah  kemudian menghasilkan karya, berupa lukisan  indah.   Namun perlu diingat bahwa,  memadukan potensi  diri sendiri  itu  ternyata tidak mudah, perlu latihan yang lama. Tanpa dilatih ternyata tidak akan menghasilkan karya-karya indah.    Pekerjaan itu memang menjadi sulit, oleh karena yang dipadukan bukan hanya  kemampuan fisik, melainkan  jiwa atau ruh penggeraknya. Menghidupkan jiwa atau ruh   tidak cukup hanya  lewat  mendengarkan  ceramah atau kuliah, melainkan harus  dengan pelatihan-pelatihan yang lama. Pelukis tidak cukup tahu bagaimana melukis, melainkan  memerlukan penghayatan atau jiwa melukis.    Apa yang diakukan oleh para pelukis,  jika ditarik ke dalam kontek yang lebih luas, misalnya mengelola pemerintahan, maka akan membawa manfaat  yang banyak. Dalam politik, kekuasaan dibagi  menjadi tiga, yaitu legislative, eksekutif dan yudikatif. Biasanya hubungan di antara ketiga kekuatan itu diatur atas dasar legal formal. Akibatnya yang terjadi  adalah hubungan formal dan legal pula.  Padahal semestinya ketiga kekuatan itu, sebagaimana pelukis,  ——-tatkala harus membela rakyat, maka   harus  dibangun  jiwa  kebersamaan, keterpaduan dan keseimbangan secara kokoh dan mendalam.      Mengemban amanah dalam   mengurus kehidupan masyarakat, kiranya perlu belajar dari seorang pelukis. Seorang  pelukis tidak saja harus paham tentang bagaimana ikhwal melukis, melainkan juga harus menjiwai pekerjaannya.  Demikian  pula sebenarnya  bagi seorang  pemimpin bangsa,  pada semua levelnya,   harus selalu memadukan,  mensingkronkan  dan menyeimbangkan, tidak saja atas dasar ikatan legal dan formal, melainkan atas dasar jiwa, ruh atau  suara  hati yang tulus.  Hubungan antar sesama  harus dibangun atas dasar jiwa  kasih sayang secara mendalam. Hubungan-hubungan transaksional dan juga legal formal,   ternyata tidak menyelesaikan masalah secara tuntas.  Para pelukis,  berhasil  melahirkan karya-karya indah,  karena  telah  membangun  jiwa pelukis dan tidak melukis secara formal. Maka  semestinya,  para pemimpin bangsa,  seharusnya juga  mengembangkan jiwa kepemimpinan seperti  itu, ——kasih sayang,  agar sehari-hari  tidak  bising, atau konflik yang sepertinya tidak jelas kapan akan berakhir. Wallahu a’lam.          

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share