Menyatukan Kemauan, Pikiran, Ucapan, Tulisan Dan Perbuatan

Banyak kasus kita temukan, seseorang  memiliki kemauan atau cita-cita untuk mendapatkan sesuatu, akan tetapi pikirannya  tidak mampu mencarikan jalan keluarnya.  Akhirnya kemauannya kandas, artinya tidak  berhasil  meraih apa yang dimauinya itu. Seseorang memiliki cita-cita   menjadi kaya misalnya,  tetapi tidak memiliki jalan untuk meraihnya, maka tetap saja miskin. Kemauan dan jalan untuk mencapainya  harus sejalan dan seimbang.

  Jalan untuk meraih cita-cita  sebenarnya bisa didapat dari mana saja, —–dari orang lain, asalkan mereka mampu  berkomunikasi, yaitu menggunakan lisannya  untuk mengungkapkan kemauannya itu. Namun lagi-lagi, tidak semua orang mampu  mengungkapkan  perasaan dan pikirannya secara jelas hingga bisa diterima oleh orang lain.   Oleh karena  tidak  mampu dan berani  menyampaikan kemauan dan pikirannya, maka  orang  memilih  diam tatkala bertemu dengan orang lain, khawatir dianggap  salah. Ternyata sekedar berkomunikasi, atau menyampaikan pikiran, ——- oleh sementara orang, dirasakan  tidak mudah.  Banyak orang  merasa  mengerti, tahu atau paham, tetapi  mengaku tidak bisa mengungkapkan keinginan atau pengetahuannya itu.   Ada saja kejadian, seseorang mengatakan tentang sesuatu, tetapi apa yang diucapkan  belum tentu sama dengan  apa yang sebenarnya dimaui dan dipikirkan. Oleh karena itu seringkali, seseorang merasa harus mengulang-ulang kalimat atau ucapannya, oleh karena  merasa bahwa apa yang diucapkan belum sama persis dengan apa yang ada dalam hatinya.  Sekedar  mendiskripsikan terhadap apa yang ada di dalam hatinya sendiri, bagi orang-orang tertentu tidak mudah.  Kesulitan menyatukanm antara kemauan, pikiran dan ucapan itulah  yang menyebabkan  banyak orang tidak berani  berbicara  dan apalagi berpidato di depan orang banyak.  Maka untuk menghindari kesalahan dan atau ketakutan, seseorang tatkala berpidato  harus dibuatkan teks terlebih dahulu dan kemudian tinggal membacanya. Banyak orang memiliki ide, pandangan, pikiran cerdas dan semacamnya, tetapi tidak disampaikan kepada orang lain, oleh karena keterbatasan, ——tidak berani,  mengungkapkannya.    Seseorang dikenal luas sebagai ahli atau pandai berbicara. Buah pikirannya berhasil disampaikan dengan jelas dan menarik. Akan  tetapi juga sebaliknya, ada orang yang sama sekali tidak mampu berbicara. Mereka hanya diam dan akhirnya disebut sebagai pendiam. Para pemimpin biasanya pandai berbicara, sebab seseorang  dipilih sebagai pemimpin, oleh karena mampu menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain melalui kemampuannya berbicara.   Orang yang tidak mampu berbicara, maka  biasanya dianggap tidak pintar, atau tidak memiliki kelebihan, sehingga tidak dipercaya menjadi pemimpin.   Oleh karena itu kemampuan berkomunikasi  menjadi penting sekali.  Dalam kehidupan sehari-hari,  sekedar  berbicara ternyata  juga tidak  mudah dan tidak   banyak orang yang memiliki kemampuan  itu. Akibatnya,  seringkali kegiatan seminar, diskusi atau bahkan dalam ruang kuliah,  tidak banyak orang yang berbicara. Kebanyakan dari mereka hanya sebatas mendengarkan.   Sama sulitnya berbicara bagi sementara orang adalah  menulis. Seseorang memiliki ide, gagasan, dan prakarsa, akan tetapi belum tentu sanggup  menyampaikannya dalam bentuk tulisan. Seseorang dikatakan  sebagai  ahli  berbicara atau pintar berbicara,  tetapi  belum tentu  bisa menulis.    Banyak mubaligh, daí,  atau missonaris, piawai dalam berpidato menjelaskan sesuatu,  dan  membakar semangat, akan tetapi tatkala diminta untuk menulis, ternyata tidak sanggup. Maka artinya, orang-orang tertentu, berkemampuan tinggi dalam berbicara, namun  kemampuannya dalam menulis terbatas.  Terrnyata menuliskan sesuatu, bagi orang-orang tertentu, juga dirasakan  tidak mudah. Menuangkan buah pikiran ke dalam ucapan,  oleh orang-orang tertentu, dirasakan  tidak mudah, dan ternyata lebih sulit lagi,  adalah menuangkannya dalam bentuk tulisan.  Namun memang,  ada saja orang yang lebih mudah menulis daripada bebicara di muka umum. Sehingga  yang bersangkutan  dikatakan bahwa penanya lebih tajam daripada lisannya.  Tentu  yang lebih bagus adalah jika antara keduanya dikuasai, yaitu bisa berbicara sekaligus mampu  menuliskannya.  Sebuah masyarakat atau komunitas disebut  telah berbudaya tinggi, manakala telah terbiasa dengan kebiasaan tulis menulis.   Selanjutnya,  masih ada satu lagi yang harus dimiliki oleh seseorang,  yaitu kemampuan dan kemauan melaksanakan buah pikiran, ucapan,  dan tulisannya itu. Lagi-lagi  ternyata, melakukannya  tidak mudah.  Seseorang memiliki kemauan, pikiran, sanggup mengucapkan dan menuliskannya, namun ternyata belum sanggup  menjalankannya. Orang-orang sukses biasanya  adalah orang yang sanggup  menyatukan antara kelima hal tersebut, yaitu kemauan, pikiran, mengungkapkan  dalam bentuk ucapan, tulisan, dan kemudian mewujudkannya dalam bentuk tindakan nyata.      Lembaga pendidikan salah satu tugasnya   adalah melatih peserta didik agar mampu  mengembangkan  dan sekaligus memadukan kelima kemampuan dimaksud. Namun pada kenyataannya, tuntutan itu tidak  mudah dicapai. Bahkan ada saja orang yang sudah melewati berbagai jenjang pendidikan, —–bahkan puncak (S3),  tetapi sebatas berbicara dan menuliskan idea atau gagasannya kurang berani. Akhirnya, buah pikiran dan kelembutan hatinya tidak bisa dinikmati oleh banyak orang. Mereka banyak diam dan hanya menjalankan tugas-tugas sebagaimana layaknya bukan orang berpendidikan tinggi. Mereka itu sebenarnya  telah gagal menyatukan  terhadap  kelima potensi yang dimilikinya itu.   Kegagalan tersebut, jika dipelajari secara mendalam, sebenarnya  adalah disebabkan oleh hal yang sangat sederhana atau sepele,  yaitu tidak  mau berlatih atau membiasakan diri. Sekedar kemampuan berbicara, menulis, dan menjalankan aktivitas  sehari-hari akan  mudah dilakukan manakala dilatih dan dibiasakan. Oleh sebab itu kata kunci untuk menyelesaikan persoalan tersebut  adalah juga sederhana, yaitu latihlah dan biasakanlah kelima potensi tersebut, maka prestasi  yang diinginkan,  akan dengan mudah diraih. Wallahu a’lam.   

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share