Jarang terjadi seorang gubernur merangkap sebagai pengasuh pesantren. Biasanya gubernur lebih peduli pada lembaga pendidikan umum,  sekolah atau perguruan tinggi umum. Ternyata Gubernur NTB agaknya aneh, tidak saja hafal al Qur’an, ——-sebagaimana tulisan saya yang lalu, tetapi juga sebagai pengasuh pesantren. Memang sebelum terpilih sebagai gubernur, ia sudah aktif dalam pengelolaan pesantren, mewarisi lembaga pendidikan Islam yang telah dirintis oleh kakeknya, yaitu  Maulana Syekh Zainuddin Abdul Madjid.
 Sebelum ia hadir di UIN Maliki Malang, memenuhi undangan mahasiswa untuk memberikan kuliah umum, saya tidak begitu kenal dengan  gubernur NTB ini. Saya hanya pernah mendengar bahwa TGKH Zainul Majdi, MA., cucu pendiri  Nahdlatul Wathan terpilih sebagai Gubernur NTB.   Waktu itu, tentu saja, saya sangat gembira mendengar berita, bahwa seorang berpendidikan pesantren terpilih sebagai kepala daerah. Perkenalan saya pertama kali dengan gubernur ini, tatkala bersama-sama menghadiri pertemuan majlis dzikir al Hidzmah tahun lalu.  Saya mengetahui  bahwa Gubernur NTB sampai sekarang masih menjadi pengasuh pesantren,  dari pengakuannya sendiri yang disampaikan pada kesempatan kuliah umum di UIN Malang. Sekalipun tidak mungkin bisa menangani kegiatan pendidikan sehari-hari di pesantrennya, karena kesibukannya sebagai kepala daerah, ia mengaku secara formal masih bersatatus sebagai pengasuh pesantren yang dirintis oleh kakeknya tersebut.  Bagi saya informasi yang disampaikannya itu sangat menarik. Sebab umumnya, pesantren atau pendidikan Islam tradisional terasa jauh dari para pejabat. Tetapi di NTB, pesantren justru menjadi bagian dari orang yang berkuasa di wilayah itu. Kenyataan itu merupakan bukti bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan, sebenarnya dalam hal tertentu  memiliki keunggulan tersendiri. Keunggulan itu misalnya, bahwa belajar di pesantren selalu didasari oleh  motivasi atau niat untuk mendapatkan ilmu dalam rangka memperoleh ridha dari Allah swt. Oleh karena itu, banyak kalangan tertarik dan bahkan lebih mengunggulkannya.  Orang tatkala belajar di pesantren tidak sebatas menunaikan kewajiban, melainkan didasari oleh keikhlasan untuk mencari  ilmu. Belajar dipandang sebagai realisasi dari kewajiban menunaikan perintah agamanya. Oleh karena itu, semua pihak, baik pengasuh pesantren, ustadz, dan semua yang terlibat dalam pendidikan, termasuk para santri-santrinya menunaikannya dengan ikhlas. Belajar, ——-di dalam tradisi pesantren,  tidak diniatkan mendapatkan ijazah atau tanda lulus tetapi adalah untuk beribadah. Atas dasar motivasi seperti ini, maka tidak heran jika beberapa pesantren tidak mengikut sertakan para siswa atau santrinya ujian nasional.  Pesantren yang dipimpin oleh Guberur NTB bernama Darun Nahdatain Nahdlatul Wathan di bawah Yayasan Pendidikan Hamzanwady. Jumlah santrinya secara keseluruhan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, menurut informasi yang saya dapatkan, tidak kurang dari 43 ribu orang. Lembaga pendidikan tersebut  menggabungkan antara tradisi lama dengan tradisi modern. Selain menyelenggaran sistem madrasi atau klasikal juga masih menyelenggarakan pendidikan dengn sistem halaqah. Di antara beberapa lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh yayasan ini ada yang disebut Ma’had Darul Qur’an wal Hadits, dengan jumlah santri sekitar 5000 orang.     Apa yang dilakukan oleh TGKH M.Zainul Majdi, MA sebagai pengasuh pesantren, yang diwarisi dari kakeknya, adalah sebuah bentuk pengabdian yang dimotivasi oleh keinginan luhur dan mulia, yaitu meneruskan perjuangan para ulama’ terdahulu yang berasal dari Rasulullah. Banyak sekali lembaga pendidikan seperti itu, tersebar di mana-mana, semuanya dirintis dan dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri,  tanpa didukung oleh anggaran  dari pemerintah, berupa APBN misalnya.   Melihat secara saksama terhadap lembaga pendidikan seperti itu, maka bisa dibayangkan betapa besar sumbangan para pemuka agama terhadap upaya mencerdaskan, sekaligus membangun akhlak bangsa.  Sekalipun tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah, mereka tidak mengeluh. Bahkan anehnya, keluhan itu justru datang dari lembaga pendidikan milik pemerintah yang setiap tahun mendapatkan anggaran yang tidak sedikit.  Bagi pesantren, tersedia dana atau tidak, maka pendidikan harus tetap berjalan. Manakala dana itu tersedia, maka  akan digunakan semaksimal mungkin. Sebaliknya, jika dana dan sarana itu tidak didapat,  maka mencukupkan apa adanya.  Suasana keterbatasan, keikhlasan dan semangat juang yang tinggi, maka menjadikan apa yang dilakukan oleh pesantren berjalan secara alami. Dari pesantren, terkait anggaran, tidak pernah terdengar suara aneh, misalnya mengalami kelebihan. Jika dari kantor-kantor pemerintah ada suara bahwa,  penyerapan anggaran lamban, bahkan pada akhir tahun tersisa, maka kalimat itu tidak pernah terdengar dari kalangan lembaga pendidikan yang dikelola oleh para pemuka agama. Bahkan  jika pada akhir tahun banyak hotel penuh digunakan untuk kegiatan menghabiskan anggaran pemerintah, maka kegiatan seperti itu tidak pernah dikenal di pesantren.  Oleh karena itu sebenarnya, tatkala pemerintah kebingungan memberantas korupsi, maka jawaban itu bisa dicari dari pesantren. Lembaga pendidikan pesantren tidak membudayakan menerima, melainkan justru sebaliknya, yaitu  memberi. Dengan terbiasa memberi  maka, semangat mengambil, apalagi dengan cara yang tidak baik, akan terhindari dengan sendirinya. Semogalah Gubernur NTB yang masih muda dan penuh idialisme tersebut berhasil memimpin daerahnya, sebagaimana memimpin pesantren, terbangun suasana jujur, adil, dan bersih. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang