Hidup Secara Islam

Banyak pilihan terkait cara hidup. Dalam perspektif agama,  bisa dibedakan antara cara hidup penganut hindu, budha, Kristen, Protestan, Kong Hucu, Islam dan lain-lain termasuk mereka yang atheis sekalipun. Masing-masing ajaran agama itu,  didasarkan atas keyakinan, baik terkait dengan konsep ketuhanan, kepercayaan terhadap yang ghaib,  makna kehidupan,  termasuk  kepercayaan terhadap hidup setelah mati.

 Antara pemeluk agama yang berbeda masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda pula, oleh karena  di antara mereka memiliki keyakinan masing-masing yang berbeda. Perbedaan itu terkait dalam banyak hal, misalnya konsep tentang tuhan, cara penyembahan, berbagai bentuk ritus, dan bahkan juga keyakinan seseorang setelah meninggal dunia. Tetapi di antara agama yang berbeda-beda itu, terdapat kesamaan, misalnya adanya tempat yang dianggap suci untuk penyembahan, pengorbanan, pernikahan, dan juga upacara-upacara setelah seseorang meninggal dunia.  Tulisan singkat ini, ingin memberikan gambaran singkat tentang cara hidup secara Islam.  Bahwa ajaran Islam tidak saja berisi petunjuk tentang kegiatan ritual, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan. Islam memberikan petunjuk dalam melakukan  kegiatan ritual, yang dalam pengertian sederhana disebut ibadah. Akan tetapi ibadah dalam Islam tidak hanya berbentuk ritual, melainkan terkait dengan semua kegiatan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, sementara ulama membedakan antara ibadah  mahdhah dan ibadah ghoiru mahdhan.  Pembagian  tersebut sebenarnya tidak terlalu terkait dengan persoalan penting atau tidak penting, perlu didahulukan atau yang boleh dikemudiankan, utama atau kurang utama, melainkan sebatas kategorisasi untuk memudahkan dalam memahami ibadah dalam Islam. Ibadah mahgdhah misalnya sahadat, shalat, puasa, zakat, haji. Sedangkan yang disebut ghoiru mahdhah adalah semua kegiatan manusia yang terkait dengan kebaikan, misalnya mencari ilmu, menolong orang lain, mengasuh anak yatim, memberi santukan fakir miskin, memudahkan urusan orang dan seterusnya.     Kedua jenis ibadah itu harus ditunaikan sebaik-baiknya. Tidak semestinya, kaum muslimin misalnya hanya memilih ibadah mahdhah dan mengabaikan ibadah ghairu mahdhah. Kedua-duanya harus dijalankan sebagai cara hidup Islam. Mengabaikan ibadah ghoiru mahdhah, misalnya tidak peduli terhadap  anak yatim dan orang miskin, maka dipandang mendustakan agamanya. Shalat  masuk kategori ibadah mahdhah, sekalipun  dilakukan dengan khusuk dan tekun akan menjadi sia-sia,  manakala mengabaikan orang yang menderita yang seharusnya ditolong. Demikian pula mencari ilmu, masuk kategori ibadah ghoiru mahdhah, akan tetapi jika dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang meraih kemuliaan.  Itulah sebabnya, setiap menyebut kata iman, selalu dilanjutkan dengan kata amal shaleh. Iman tidak banyak memberi makna jika tidak membuahkan amal shaleh. Bahkan, amal sahaleh tidak akan bermakna jika tidak didasari oleh ilmu dan akhlakul karimah. Dengan demikian maka jika beberapa konsep itu disebutkan  semua, maka Islam menyatukan antara ilmu, iman, amal shaleh dan berujung pada terbentuknya akhlakul karimah. Itulah sebabnya, nabi mengatakan innama buistu liutammima makarimal akhlak. Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad) diutius untuk menyempurnakan akhlak  mulia.   Dengan pemahaman seperti itu, maka Islam sebenarnya adalah suatu cara hidup yang khas, yang jelas  berbeda dari cara hidup lainnya. Mungkin  sebagian ajarannya terdapat kesamaan dengan agama lain,  misalnya terkait dengan nilai-nilai, seperti nilai kejujuran, keadilan, kedamaian, kasih sayang, syukur, keikhlasan dan seterusnya adalah karena sifat universalitas ajaran Islam itu. Tetapi, di antara banyak cara hidup tersebut,  terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dipaksa-paksa untuk disamakan atau  bahkan sekedar dianggap sama. Dalam perkembangannya yang semakin  lama dan juga semakin meluas, Islam sendiri ternyata dipersepsi secara beda hingga menampakkan wajah yang berbeda-beda pula. Akan tetapi, sejauh apapun perbedaan itu, masih memiliki kesamaan. Kesamaan itu misalnya terkait dengan konsep ketuhanan, kenabian, kitab suci, kepercayaan terhadap yang ghaib, hari akhir dan juga cara-cara ibadah yang disebut mahdhah.  Jika perbedaan itu  terjadi, maka sifatnya tidak terlalu mendasar dan masih bisa disatukan kembali. Bahkan perbedaan itu  sudah muncul sejak di zaman shahabat, dan bahkan  tatkala Nabi Muhammad masih hidup.  Para ulama’ dan atau cendekiawan Islam selalu  berpandangan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan. Islam memberikan tuntunan hidup mulai dari hal yang bersifat lahir hingga batin. Dalam Islam, apa saja dilaksanakan  akan dinilai mulai  dari niatnya. Motivasi atau niat menduduki posisi penting dalam semua tindakan manusia.Niat dalam semua tindakan harus benar, yaitu ikhlas karena Allah.  Artinya, Islam tidak saja memberi tuntunan terhadap hal yang bersifat lahir, tetapi juga hal yang bersifat sangat pribadi, yaitu aspek batin. Selain itu,  semua tindakan, baik yang bersifat mahdhah maupun yang ghoiru mahdhah,  yang dilakukan oleh kaum muslimin harus dimulai dengan mengucap basmallah, dilakukan dengan sabar, ikhlas, ikhsan, istiqomah, tawakkal dan diakhiri dengan rasa syukur, dengan mengucapkan hamdallah. Semua itu menghasilkan apa yang disebut dengan amal shaleh, atau kerja yang terbaik,  yang dimaksudkan sebagai ibadah atau pengabdian kepada Allah.  Dalam Islam, semua kegiatan harus dimaknai sebagai ibadah, atau mengabdi pada Allah. Oleh karena itu, di antara semua manusia memiliki posisi yang sama. Tidak  selayaknya seseorang mengabdi terhadap sesama manusia. Dalam komunitas apapun dan di mana pun, antara anak buah dengan atasan sekalipun, dalam hal bekerja, adalah selalu dipandang berposisi sama. Pembedaan hanya terkait dengan tanggung jawab dan jenis pekerjaan.  Kualitas pekerjaan, dalam Islam bukan dinilai dari jenis dan posisinya, melainkan dari kesalehannya. Sebagai tukang sapu yang melakukan tugasnya dengan shaleh dan ikhlas, maka  bisa jadi,  justru lebih mulia dari pekerjaan seorang direktur yang tampak berwibawa namun tidak dilakukan secara shaleh dan tidak ikhlas. Siapapun yang bekerja secara benar, dalam arti berniat secara baik, yaitu diawali dengan mengucap basmallah, dilakukan secara ikhlas, sabar, istiqomah dan yang dilakukan dengan cara terbaik, diliputi oleh suasana bersyukur, maka akan dipandang terbaik menurut Islam.  Sebaliknya Islam tidak membolehkan kepada siapapun  melakukan kerusakan di muka bumi, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan. Islam selalu berorientasi pada keselamatan bagi semua. Demikian pula, Islam tidak membolehkan saling merugikan, menjatuhkan, dan menyakiti. Islam juga mengembangkan konsep Iakhsan, yaitu bahwa  dalam menghadapi berbagai pilihan, maka harus selalu memilih yang terbaik. Semua itu dilakukan atas dasar keyakinan yang kokoh atau keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.  Prinsip-prinsip seperti itu seharusnya diwujudkan dalam semua kegiatan, baik yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, berpolitik, ekonomi, sosial, berkomunikasi,  pendidikan, hukum, dan semua hal lainnya. Dalam bidang ekonomi misalnya, prinsip-prinsip tersebut dijalankan ketika berdagang, bertani, berindustri, dan semua bidang kegiatan lainnya. Islam juga memberikan tuntunan dalam melakukan kegiatan ritual, seperti mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, pauasa di bulan Ramadhan, zakat dan haji.  Itu semua adalah cara hidup menurut pandangan Islam yang harus dijalankan sepanjang waktu dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, Islam adalah sebuah cara hidup atau lebih tepat disebut sebagai budaya Islam. Budaya itu  dibangun atas petunjuk dua sumber pokok, yaitu al Qur’an dan hadits nabi.  Akhirnya, manakala budaya Islam itu  dipelihara dan dijalankan dengan baik, tepat, dan sempurna, maka siapapun akan mendapatkan keselamatan, baik di dunia maupun  di akherat. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share