Pada 26 s.d 27 Maret 2010 saya berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mewakili Rektor untuk menghadiri pertemuan dengan Wakil Presiden Bank Pembangunan Islam (IDB) dari Jeddah, Saudi Arabia, bersama para pimpinan PTAIN yang lain. Selain para pimpinan PTAIN, hadir pula perwakilan kantor IDB di Kuala Lumpur, pejabat Bappenas, Kementerian Keuangan, dan para pejabat Kementerian Agama. Inti pertemuan adalah IDB meminta masukan atas pelaksanaan proyek di Indonesia, manfaat dan agenda ke depan.
Masing-masing perwakilan diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya. Mewakili UIN Malang, saya utarakan bahwa kehadiran IDB tidak saja telah mengubah Universitas secara fisik, tetapi juga akademik dan bahkan sosial kemasyarakatan. Selain gedungnya baru, peralatan laboratorium juga baru sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kegiatan akademik, khususnya penelitian. Secara sosial, kehadiran proyek IDB mampu mengubah pandangan masyarakat yang selama ini agak miring terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam menjadi apresiatif dan menjadi tumpuhan harapan sebagai tempat pendidikan yang berkualitas. Jumlah peminat masuk UIN Malang pun juga terus bertambah dari tahun ke tahun. Ini sebagai bukti kepercayaan masyarakat yang terus meningkat. Dengan kata lain, kehadiran proyek IDB di UIN Malang memberikan makna yang tak ternilai bagi pengembangan Universitas. Sebelumnya Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Amin Abdullah, memaparkan perjalanan proyek, proses pembangunan, dan hasilnya. Bangunan-bangunan lama sebelum proyek IDB datang juga sempat ditayangkan dan mengundang tawa para hadirin karena bangunan itu sudah tidak layak sebagai tempat belajar. Saya juga sempat berpikir bahwa ternyata bangunan lama di UIN Yogyakarta keadaannya tidak jauh berbeda dengan bangunan lama UIN Malang. Usai semua perwakilan menyampaikan pandangannya, tiba giliran Wakil Presiden IDB yang asal Mali, Afrika, dengan nama lengkap Dr. Birama Sidibe. Lelaki tinggi besar yang baru menjabat Wakil Presiden Bank selama satu tahun itu menyampaikan apresiasinya atas penerimaannya selama di Indonesia dan rasa tanggung jawab yang tinggi atas pelaksanaan proyek di beberapa perguruan tinggi Islam yang hasilnya telah dirasakan banyak pihak. Dia perhatikan semua paparan dengan sungguh-sungguh dan mencatat beberapa hal penting sebagai bahan laporan ke Presiden IDB di Jeddah. Dia tampak sangat senang dan puas. Mengaku bahwa ini kunjungan yang pertama ke Indonesia, dia menyampaikan rasa syukur dan kekagumannya bisa mengunjungi sebuah negara yang demikian indah. Selama ini dia baru mengenal Indonesia dari namanya. Tetapi yakin suatu kali akan mengunjunginya. Sekarang angan-angannya telah menjadi kenyataan. Dalam sambutannya atas nama Presiden Bank Pembangunan Islam (IDB), sang Wakil Presiden itu menegaskan tiga visi utama IDB, yakni pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pengurangan kemiskinan di negara anggotanya. Karena itu, semua usulan proyek IDB harus mencakup tiga aspek itu. Dari ketiga aspek tersebut, dia lebih banyak mengurai masalah pendidikan. Menurutnya, sebagian besar negara-negara anggota IDB tergolong negara miskin dan berkembang dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang rendah. Karena tingkat pendidikan rendah, maka sebagian masyarakatnya miskin. Oleh karena itu, solusinya IDB harus mengambil peran mengentaskan kemiskinan dengan jalan berperan serta meningkatkan pendidikan negara-negara anggotanya. Menurutnya, pendidikan merupakan faktor sangat penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pendidikan yang tidak bermutu menyebabkan lulusan tidak memiliki kompetensi yang baik. Agar pendidikan bermutu, maka salah satu syaratnya lembaga pendidikan itu harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Kepada Indonesia, IDB memberikan perhatian khusus karena Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Menurutnya, Indonesia sangat berperan dalam menentukan wajah masyarakat Islam dunia. Dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, sang Wakil Presiden juga mengurai tantangan global yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IDB, aneka persoalan negara-negara anggota, hubungan IDB dengan masing-masing pemerintah negara anggota, hingga masalah pendidikan di dunia Islam dan masalah-masalah teknis pengajuan proposal proyek baru. Apa yang disampaikan oleh orang kedua di IDB tersebut mengingatkan saya waktu kuliah di S2 mengambil matakuliah Sosiologi Pembangunan bahwa menurut Sachs, J.D dalam The End of Poverty upaya mengakhiri kemiskinan adalah dengan cara memberikan pendidikan yang bermutu, memberikan jaminan kesehatan, dan membangun sarana dan prasarana, terutama ketersediaan air, listrik, dan komunikasi. Menurut Sachs, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas merupakan suatu mata rantai yang harus dipotong. Di mana memotongnya? Dia menawarkan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat dan ini harus dilakukan oleh pemerintah. Artinya, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah. Dengan pendidikan yang bermutu, masyarakat akan memperoleh akses pekerjaan yang baik, dan pekerjaan yang baik akan memberikan jaminan penghasilan yang memadai. Jika masyarakat berpenghasilan cukup dan tingkat pengangguran rendah, maka kriminalitas bisa ditekan. Dalam konteks ini IDB telah mengambil kebijakan yang tepat, yakni membangun proyek dengan bertumpu pada tiga pilar sebagai visi utama, pendidikan, pembangunan sarana, dan pengurangan kemiskinan. Sayang, beliau tidak memiliki waktu cukup. Andai saja ada waktu longgar, kita mengundangnya ke UIN Malang dan tunjukkan bahwa apa yang kita lakukan dengan proyek IDB lebih dari pemenuhan sarana fisik. Kita sedang membanguan peradaban Islam melalui Universitas Islam yang pengembangan akademiknya bersumber pada al Qur’an dan hadits. Tentu semua masih dalam proses dan memang membangun peradaban tidak akan pernah berakhir. Yogyakarta, 27 Maret 2010
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang