Kejujuran Orang Desa

Seperti  hal  rutin, pada setiap hari minggu, sebagaimana hari minggu kemarin, tanggal 20 Maret 2011, saya  menyempatkan pergi ke desa. Saat ini  kebetulan sedang terlibat  dalam pembangunan beberapa masjid, tidak kurang dari di lima tempat. Empat di antaranya berada di pedesaan, sedangkan yang satu lagi berada  tidak jauh dari rumah.

  Keterlibatan saya dalam pembangunan masjid-masjid tersebut sebenarnya tidak penting, hanya dianggap semacam sebagai penasehat. Namun begitu, jika ada waktu, pembangunan  itu selalu saya lihat, terutama yang tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah. Sekedar didatangi, bioasanya mereka sudah sangat  senang, mungkin karena merasa mendapatkan perhatian.   Setiap datang ke desa, ada  sesuatu  yang menarik bagi saya, yaitu di antaranya tentang kejujurannya. Dari pelaksanaan pembangunan itu tidak ada anggaran dan atau barang yang diselewengkan. Semua orang yang terlibat  selalu menjaga kejujuran. Dan ternyata,  kejujuran itu tidak saja dalam kerja bersama membangun tempat ibadah, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.   Dalam kesempatan berkunjung ke desa itu, saya melihat ada sebuah rumah yang terletak  di dekat salah satu proyek pembangunan  masjid tanpa penghuni seorang pun. Rumah itu dibiarkan  begitu saja, karena  sudah beberapa tahun  ditinggal mati pemiliknya.  Para ahli warisnya bertempat tinggal di tempat yang jauh dari rumah itu. Hanya sekali-kali dikunjungi, tetapi  barang-barang yang ada di dalamnya tidak pernah  diambil orang.          Padahal tidak sedikit barang berharga  yang tersisa di rumah itu, seperti TV, pakaian,  dan bahan pecah belah yang disimpan di almari yang tidak terkunci, tetapi toh tidak ada orang yang mengambil. Bahkan  setumpuk  buah kelapa yang tampaknya sudah agak lama dipetik, terserak di  pojok  bagian luar rumah,  dibiarkan begitu saja. Rumah itu memang dikunci, hanya sekali-kali pada siang hari  dibuka oleh salah seorang tetangga yang diktitipi kunci itu. Akan tetapi rumah itu aman. Menurut informasi  di desa itu tidak pernah ada pencuri.   Informasi serupa, juga saya dapatkan di lokasi pembangunan masjid di desa lainnya. Masyarakat di sekitar masjid yang sedang dibangun itu, selain bertani juga beternak.  Pada setiap hari, mereka  memerlukan rumput  untuk makanan ternaknya. Rumput-rumput  itu diambil dari kebunnya masing-masing. Dikatakan bahwa,  tidak ada peternak yang  saling mengganggu, misalnya mengambil rumput yang bukan hak atau  miliknya sendiri. Lagi-lagi dikatakan, bahwa di desa itu tidak ada pencuri.   Bagi saya cerita sederhana itu  sangat menarik,  karena  sangat kontradiktif dengan keadaan yang sehari-hari  yang terdengar di perkotaan. Di kota selalu muncul  berita tentang  adanya  pencurian, penjambret, penodong, pencopet dan juga perampokan.   Selain itu juga,   ada pejabat,  baik di kalangan eksekutif, legislative maupun yudikatif,  tertangkap karena melakukan manipulasi uang negara.  Kemudian  mereka diadili dan dipenjarakan.  Kaus-kasus korupsi itu  sebenarnya telah diberantas dan bahkan  dinyatakan sebagai musuh bersama. Akan tetapi anehnya,  penyimpangan uang negara itu tidak pernah berhenti.  Bahkan tidak sedikit  bupati, wali kota, gubernur, mantan menteri, jaksa, hakim, oknum KPK, polisi, pejabat bank dan lain-lain diadili,  terkena kasus korupsi. Sedemikian parah  kasus-kasus  itu, hingga ada ratusan wali kota dan bupati  menjadi tertuduh. Bahkan di antara 33 Gubernur yang ada di Indonesia,  17 di antaranya sudah menjadi tersangka,  dan bahkan sebagian sudah masuk penjara.  Pemberantasan korupsi sudah semakin  sulit, hal itu terlihat bahwa ternyata,  mereka yang tidak diduga korupsi pun ternyata juga korupsi. Oknum polisi, hakim, jaksa dan bahkan KPK —–yang sehari-hari bertugas memberantas korupsi, ternyata juga ada yang melakukannya. Seolah-olah perbedaan antara koruptor dan bukan koruptor hanya pada soal waktu, yaitu  sebagian sudah tertangkap sedangkan lainnya belum, sebagian sudah ketahuan sedangkan yang lain, ——-sekalipun melakukan hal yang sama,  belum  terlaporkan.   Mungkin di antara para pejabat yang menjadi tertuduh melakukan kriminal itu, semula adalah juga anak-anak desa  yang jujur, sebagaimana cerita di atas. Namun karena terpengaruh oleh kehidupan kota yang  sehari-hari harus bersaing, dan menghadapi persoalan yang berat dan keras, maka ketahanan mentalnya runtuh.  Akhirnya,  sebagaimana  terpengaruh oleh budaya kota,  mereka juga ikut melakukan tindakan yang tidak terpuji.   Kejujuran orang desa  yang ternyata  berbalik dengan orang-orang kota,  rupanya memang terjadi di sepanjang zaman. Semakin ramai, atau banyak orang di suatu tempat, maka  potensi kerusakan semakin besar.  Atau mungkin pada hakekatnya, orang lebih suka membuat kerusakan, sehingga semakin banyak orang, maka kerusakan semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya kejujuran pun semakin langka. Mungkin itulah sebabnya, Rasulullah  tatkala masih kecil justru dikirim ke desa, hingga disusui oleh perempuan desa pula, yaitu Halimatus Sya’diyah.   Masyarakat desa yang seringkali digambarkan sebagai komunitas yang sederhana, lugu,  dan masih asli  dan bahkan tertinggal, namun ternyata  memiliki kekayaan yang sangat berharga, yaitu  kejujuran. Bahwa  kepintarandan kecerdasan  bisa diperoleh dari sekolah-sekolah unggul di kota, tetapi kejujuran ternyata justru ada di  desa-desa. Memang ada  saja orang desa yang tidak jujur, tetapi tidak separah yang terjadi pada umumnya di perkotaan.   Betapa pentingnya kejujuran itu,  hingga pada suatu  ketika Nabi ditanya tentang amalan yang bisa menyelamatkan, maka dijawab oleh Muhammad saw, dengan jawaban sederhana, yaitu jangan bohong.  Jawaban itu sangat sederhana, akan tetapi ternyata hal sederhana itu sangat berat dijaga,  tanpa kecuali oleh orang-orang yang berkedudukan  dan berlatar belakang pendidikan tinggi sekalipun. Orang-orang desa pada umumnya, ternyata mampu menjaga kejujuran itu, karenanya  patut ditauladani.   Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share