Banyak orang akan mengatakan bahwa harta itu penting, sebab tanpa harta  akan disebut miskin. Orang miskin maka hidupnya akan susah,  tidak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Selain itu, orang miskin akan direndahkan orang, disebut tidak pintar, bodoh, tertinggal, tidak cakap dan atau sebutan lain yang tidak enak didengar.
 Miskin kemudian juga dikaitkan dengan ketertinggalan dan kelemahan. Oleh karena itu orang tidak menyukai hidup miskin. Sehingga, semua orang  berusaha mencari harta kekayaan. Harta akhirnya menjadi sesuatu yang dicari dan dicintai. Dengan harta, orang akan dihargai, dianggap sukses dan dihormati. Dengan harta pula orang bisa memenuhi kebutuhannya. Rumah, kendaraan, sekolah, rekreasi dan masa depan bisa tercukupi, dengan hartanya itu.  Dengan harta maka seseorang bisa berhasil menyalurkan idealismenya. Misalnya dengan harta bisa membangun masjid, mencari ilmu, naik haji, pergi ke mana-mana, menolong orang, menyelenggarakan pesta sebesar apapun. Bahkan akhir-akhir ini tanpa harta orang tidak bisa menduduki jabatan tertentu, misalnya menjadi bupati, wali kota, gubernur dan bahkan, apalagi presiden.   Seorang yang miskin jangan coba-coba menjadi bupati atau pejabat politik semacam itu. Zaman demokrasi yang dianggap baik seperti sekarang ini, untuk menjadi pejabat orang harus membayar dana partisipasi kepada partai politik yang tidak murah, membayar biaya kampanye, dan bahkan jika diperlukan membayar para pemilih. Tidak ada uang, maka tidak akan bisa mencalonkan diri sebagai pejabat, dan apalagi menang.  Jika  tidak punya uang banyak,   seorang Gayus Tambunan yang sedang ditahan, maka tidak akan mungkin bisa nonton pertandingan tenes ke Bali. Kabar itu sangat lucu dan sekaligus memalukan, tetapi itulah kekuatan uang. Uang atau harta menjadi diyakini sangat penting dalam kehidupan ini. Maka, bisa dimengerti  manakala sementara orang menempatkan harta sebagai segala-galanya. Uang menjadi sesuatu yang amat penting, sehingga apapun dilakukan untuk mendapatkannya.  Islam menganjurkan agar mencari rizki. Hanya saja terkait dalam harta, Islam memberikan batasan-batasan, misalnya dalam mencari harta harus dilakukan dengan cara yang benar, selektif, dan begitu pula penggunaannya. Dalam mencari harta, harus dilakukan dengan cara yang benar. Tidak boleh merugikan atau merusak orang lain. Mencuri, korupsi,  berjudi dan apalagi merampok, sama sekali tidak dibolehkan.  Dalam mencari harta, tidak boleh mengakibatkan orang lain terugikan dan sengsara. Karena itu, maka tidak boleh mendapatkan harta lewat cara-cara yang mendatangkan riba. Membungakan uang dianggap riba dan haram hukumnya. Tidak boleh memakan harta anak yatim. Jadi Islam dalam hal mendapatkan harta menganjurkan agar selalu selektif.  Harta dalam Islam harus dipilih yaitu yang baik, halal, dan membawa berkah. Ukuran keberhasilan dalam mendapatkan harta tidak sebatas jumlah atau banyaknya. Oleh karena itu, kesuksesan hidup tidak saja  diukur dari seberapa banyak harta yang berhasil dikumpulkan. Tidak semua orang kaya dianggap mulia. Sebab tatkala seseorang menjadi kaya, masih akan dilihat dari mana kekayaannya itu didapatkan dan untuk apa harta itu digunakan. Harta yang banyak, tetapi perolehan dan digunakan dengan cara  tidak jelas, justru akan merendahkan derajat pemiliknya.  Selain mendapatkannya harus selektif, maka harta harus dibelanjakan secara benar. Menumpuk-numpuk harta, karena terlalu mencintainya, dan melupakan orang lain yang sebenarnya memiliki hak atasnya  tidak dibolehkan dalam Islam. Dalam harta seseorang terdapat hak orang lain. Pemilik harta, dalam ukuran tertentu, harus mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqoh. Pemilik harta yang melupakan hak orang miskin dan anak yatim, maka dalam Islam,  dianggap sama dengan mendustakan agamanya.        Bekerja untuk mendapatkan harta atau mencari rizki adalah diperintah oleh Islam. Tetapi terlalu mencintai harta, sehingga mengabaikan kebutuhan orang lain juga tidak dibolehkan. Harta memang penting untuk didapat, tetapi tidak boleh terlalu dicitai. Orang yang terlalu mencintai harta disebut dengan hubud dun’ya atau hubbul mal. Dalam kajian akhlak, sifat itu dikategorikan sebagai bagian dari akhlak buruk yang harus dihindari.  Terlalu cinta terhadap harta dianggap sebagai bagian dari akhlak buruk, karena hal itu akan melahirkan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Orang yang terlalu mencintai harta akan lahir sifat tamak, sombong, kikir, pelit dan bahkan juga permusuhan. Selain itu, orang yang terlelu mencintai harta akan melupakan kebutuhan orang lain dan bahkan melahirkan jarak hubungan antar sesama.  Sayangnya, banyak orang, bahkan tidak terkecuali  pemerintah sendiri, dalam  mengukur keberhasilan hidup rakyatnya hanya dari seberapa banyak pendapatan yang berhasil diperoleh. Akibatnya, banyak orang  ngawur dalam mencari pendapatan, seperti mengabaikan lingkungan, menghindari pajak, dan bahkan juga korupsi besar-besaran.   Oleh karena itu semestinya, penghargaan terhadap seseorang, terkait dengan kepemilikan harta, hanyalah  diberikan kepada orang yang dalam mendapatkan dan membelanjakannya dilakukan secara benar. Bukan  sebatas berhasil mendapatkan dalam banyak atau besar jumlahnya. Sebab, seseorang yang terlalu mencintai harta, sehingga mencarinya dilakukan secara tidak benar dan mengabaikan orang lain, ternyata juga dapat merusak, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain,  dan bahkan juga terhadap  lingkungannya. Wallahu a’lam.Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang