Korupsi yang sedemikian makin marak di negeri ini, mengingatkan saya tentang pengalaman tatkala masih kecil di pedesaan dulu. Anak-anak kecil belasan tahun zaman dulu berbeda dengan anak sekarang. Anak zaman dulu belum mengenal HP, computer, game dan lain-lain. Permainannya beradaptasi dengan lingkungannya. Saya sebagai anak desa, hidup di lingkungan pertanian, maka permainannya terkait dengan lingkungan itu.
Pada sore hari, sepulang dari sekolah, ada saja yang harus dilakukan. Anak desa dianggap aneh jika tidak mau membantu orang tua bekerja. Mencari kayu bakar, makanan ternak, mencangkul di kebun atau sawah adalah hal biasa. Konsep bekerja tidak seperti sekarang, harus di perusahaan atau di kantor. Bekerja bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Jenis pekerjaan juga banyak. Dan memang tidak membutuhkan kemampuan professional. Itulah kehidupan di desa. Di waktu-waktu tertentu, anak desa bermain olah raga bersama teman-teman sekampung. Jenis dan alat olah raga yang digunakan tidak harus berharga mahal. Bermain sepak bola, kadang bolanya cukup dengan buah jeruk yang masih muda. Pertandingan antar kampung dilakukan di lapangan seadanya. Bola yang digunakan hanya buah jeruk itu. Selain olah raga, ada saja lainnya yang dilakukan oleh anak-anak desa. Misalnya di musim penghujan, anak-anak kecil, —-termasuk saya, mencari belut di sawah. Berburu belut adalah merupakan pekerjaan yang mengasikkan. Sedemikian semangat, kadang berburu belut hingga berani dimarahi oleh pemilik sawah, karena dianggap mengganggu tanamannya. Tapi namanya anak desa, tidak ada yang ditakuti atau dianggap menjadi halangan. Mencari belut memerlukan tenaga ekstra. Selain itu harus berani kotor terkena lumpur. Semangat mengejar belut kadang harus mengorbankan segalanya. Tidak peduli badan dan hingga kepala terkena lumpur dan bahkan kotoran, demi mengejar belut. Mengejar belut bukan pekerjaan mudah. Badan belut yang licin, tidak mudah dipegang. Oleh karena itu, pemburu belut selalu beresiko terkena lumpur dan kotoran. Selesai berburu belut di sawah, badan menjadi tidak karu-karuan, baik warna maupun baunya. Resiko kerja seperti itu hanya dimaksudkan mendapatkan belut yang nilainya tidak seberapa. Seolah-olah harga belut lebih mahal dari harga dirinya. Untuk menangkap belut, yakni jenis ikan kecil yang tidak seberapa lezat, harus berkorban sedemikian berat. Badan harus kotor dan berbau, hingga sebenarnya tidak seimbang jika dibanding dengan nilai ikan yang ditangkap itu. Tetapi itulah dilakukan, seolah-olah belut menjadi segala-galanya. Cerita ini sangat sederhana, ialah tentang kebiasaan anak desa berburu belut. Untuk menangkap belut yang sederhana nilainya, ternyata memerlukan kesediaan berkorban hingga seluruh anggota badannya kotor dan berbau. Pengalaman berburu belut anak-anak desa itu, ternyata ada kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh para koruptor di perkotaan pada saat sekarang. Sebatas mendapatkan uang, harta, atau kekayaan yang sebenarnya nilainya tidak seberapa, berani mengorbankan harga diri dan keluarganya yang seharusnya dijaga baik-baik. Berkorupsi uang negara sedemikian bersemangat. Resiko apapun seolah-olah tidak pernah diperhitungkan. Yang dilihat hanya uang, harta atau kekayaan. Padahal kekayaan itu tidak selalu menjadikan nama diri dan keluarganya harum. Orang tidak akan terheran-heran dengan kekayaan yang dikumpulkan dari hasil korupsi. Apalagi jika ketahuan dan tertangkap, maka akan diadili dan dipenjarakan. Semua orang akan mencaci maki, harga diri yang bersangkutan menjadi jatuh, malu dan menderita berkepanjangan. Identitas sebagai pejabat, orang yang dihormati, dan disegani akan berubah total, menjadi hina karena sebagai koruptor. Akhirnya, ingat koruptor, saya juga menjadi teringat pula pemburu belut. Benda atau harta yang diburu tidak seberapa, tetapi sama-sama beresiko sangat tinggi. Bedanya, resiko pemburu belut hanya badannya menjadi kotor dan berbau. Untuk menghilangkannya cukup mandi dengan sabun dan akhirnya bersih kembali. Sedangkan bagi koruptor, kotoran yang melekat pada badannya itu berupa citra, nama buruk, dan atau kenistaan. Menghilangkannya lebih sulit, tidak cukup hanya dengan air, tetapi harus dengan bertaubat. Lagi pula nama buruk itu sulit dilupakan, hingga sekalipun yang bersangkutan sudah mati, keburukan itu masih diingat orang. Wallahu
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang