Wednesday, 19 March 2025
above article banner area

Kunjungan Obama dalam Perspektif Dramaturgi; Sekadar Mampir?

  Sesuai rencana akhirnya Presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat Barack Hussein Obama jadi berkunjung ke Indonesia pada 8-9 November 2010 setelah beberapa kali tertunda.  Kunjungannya ini merupakan salah satu rangkaian lawatan 10 hari ke  empat  negara Asia, yaitu India, Indonesia, Korea Selatan, dan terakhir Jepang sekaligus untuk menghadiri pertemuan puncak KTT G-20 di Seoul, Korea Selatan. Waktu kunjungannya ke Indonesia paling singkat dibanding dengan ke India (selama 3 hari) dan dua negara lainya, Jepang dan Korea Selatan. Padahal, di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Indonesia bersama ayah dan ibu tirinya pada tahun 1960’an. Muncul pertanyaan mengapa Obama berada di Indonesia begitu singkat? Banyak analis mengatakan di mata Amerika Serikat posisi politik dan ekonomi Indonesia tidak begitu penting. Karena itu, Obama tidak perlu berlama-lama berada di Indonesia, karena tidak akan membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi Amerika yang ekonominya saat ini lumpuh. Mungkin Obama merasa tidak enak jika tidak berkunjung ke Indonesia. Toh sudah berada di Asia.

    Kunjungan seorang presiden, apalagi dari negara adidaya seperti Amerika Serikat, tentu menarik perhatian publik. Obama bukan sembarang warga kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat, tetapi dia  merupakan  representasi dari bangsa adidaya satu-satunya, setelah kompetitornya Uni Soviet hancur. Kendati banyak yang skeptis, tidak sedikit pula yang berharap kunjungan Obama bernilai bagi kedua belah pihak, terutama untuk  ‘mendekatkan’ Indonesia,  dengan Barat, yang di era sebelumnya, terutama era George Bush, hubungannya sangat tegang akibat ulah dan gaya kepemimpinan Bush yang dianggap arogan, suka bermusuhan, dan keras kepala terhadap negara-negara yang kebetulan sebagian besar warganya beragama Islam, seperti Irak, Afganistan, Pakistan, Palestina, Sudan, dsb.  Belakangan Iran juga tidak luput dari tekanan nya secara politik dan ekonomi. Banyak analis memandang kunjungan Obama dari berbagai sudut, tentu dengan beragam argumen dan hasilnya. Tulisan pendek ini akan mencoba memahami makna kunjungan Obama dari perspektif lain, yakni dramaturgi. Sebuah perspektif tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Karena itu, tidak mungkin akan dihasilkan pemahaman yang komprehensif. Sebagai sebuah teks, kunjungan Obama polisemik, artinya multitafsir dan multimakna. Namun demikian, kehadiran dan praksis sebuah perspektif sangat penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan. Para pengkaji ilmu sosial memahami dramaturgi sebagai salah satu teori sosial mikro yang digagas oleh Erving Goffman. Menurutnya, manusia adalah aktor yang senantiasa tampil dalam dua panggung yang berbeda, yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Di masing-masing panggung tersebut, tindakan aktor berbeda-beda. Dalam perspektif ini selalu ada tiga hal yang terlibat, yaitu setting yang melibatkan panggung (depan dan belakang), pelaku (aktor) dengan beragam ekspresi dan tindakannya, dan lakon yang  digelarnya. Panggung depan (front stage) merupakan arena di mana seseorang berpenampilan sebagai aktor, yang menuntut orang lain untuk membaca, mengamati dan memahami penampilannya tersebut. Sedangkan panggung belakang (back stage) merupakan arena di mana maksud yang sebenarnya dipendam. Menariknya, pada masing-masing unsur tersebut tidak selalu dijumpai konsistensi antara setting, penampilan, dan perilaku keseharian, karena aktor membimbing dirinya sendiri dengan apa yang dianggap sebagai nilai-nilai resmi dari fenomena yang dijelaskan. Karena itu, bisa saja terjadi di sebuah kesempatan seorang aktor mengatakan A, dan di kesempatan lain mengatakan B. Itu tergantung pada setting di mana lakon digelar. Menggunakan perspektif dramaturgi atas kunjungan Obama, maka  kata-kata yang diucapkan dengan lancar seperti  “sate, bakso’, dan ‘pulang kampung nih” ketika memulai ceramah  di depan 5000 anggota sivitas akademika Universitas Indonesia dan tak pelak memukau hadirin  harus dipahami sebagai ungkapan di panggung depan. Sebagai aktor, Obama sangat cerdik memanfaatkan panggung depan yang dia miliki untuk menampilkan kesan bahwa dia sangat dekat dan berempati kepada masyarakat Indonesia. Simpati masyarakat kepada Obama seakan sempurna tatkala dia mengucapkan “Assalamu’alaikum’ di awal kuliah umumnya yang disambut hadirin dengan ‘wa alaikum salam’. Ungkapan ‘sate, bakso, pulang kampung nih, dan ‘assalamu’alaikum‘ yang diucapkan dengan fasih ditambah dengan kalimat-kalimat yang bernada pujian seperti “Indonesia sebagai salah satu negara penting yang bisa berperan dalam percaturan politik global, sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, ribuan pulau di dalamnya, aneka ragam suku, bahasa dan budayanya, negara yang menuju demokrasi ketiga terbesar di dunia, dan saya suka Indonesia’ sebenarnya merupakan bahasa politik Obama yang sangat jitu. Sebagai bahasa politik, ungkapan-ungkapan tersebut sarat makna. Dan, makna itu tidak saja diperoleh dari kata-kata yang diucapkan , tetapi juga dari setting tempat lakon digelar. Disebut jitu, karena ungkapan itu mampu mengalihkan perhatian dan harapan besar masyarakat Indonesia atas kunjungan presiden Amerika Serikat berkulit hitam tersebut. Semula masyarakat Indonesia yang secara emosional dekat dengan Obama sangat berharap kunjungannya banyak membawa harapan baru pada Amerika dan manfaat bagi kedua negara, terutama di bidang ekonomi. Tetapi harapan itu  tampaknya sulit karena di dalam negeri Amerika Serikat sendiri saat ini Obama menghadapi persoalan ekonomi yang sangat serius, warisan pemerintahan sebelumnya. Sebagian besar publik Amerika Serikat sampai saat ini masih menilai dalam masa dua tahun pemerintahannya, Obama praktis dianggap belum berbuat apa-apa dalam hal pemulihan ekonomi. Yang lebih rumit lagi, Obama akan menghadapi tantangan berat dalam menjalankan kebijakannya setelah partai Republik memenangkan pemilihan umum legislatif sela yang siap menghadang apapun yang diputuskan Obama. Tampaknya Obama harus berjuang ekstra keras untuk bisa memenangkan pemilihan presiden periode kedua dua tahun lagi. Namun demikian, apapun yang sedang menyelimuti dirinya, sebagai aktor yang sedang main di panggung depan, Obama harus menampilkan perilaku tersebut. Di panggung resmi seperti itu, Obama tidak lagi bisa bertindak bebas, sebab dia dibatasi oleh struktur resmi yang menyelimuti, seperti nilai-nilai, kepatutan, dan norma layaknya seorang tamu yang datang ke rumah orang lain. Koridor-koridor itu yang membuat tindakan aktor  di panggung depan sejatinya bersifat semu, bukan tindakan yang sebenarnya. Menempatkan konsep ini dalam tindakan Obama sebenarnya tidak sulit. Di mata Amerika Serikat dan negara-negara Barat pada umumnya, Indonesia sejatinya tidak masuk dalam perhitungan sebagai negara yang punya akses politik dan ekonomi yang kuat. Karena itu, ada seorang kawan yang ahli ilmu politik yang menyatakan bahwa ke Indonesia, Obama bukan ‘berkunjung’, tetapi sekadar ‘mampir’. Malah lebih dari itu, Obama sebenarnya hanya bernostalgia. Karena hanya mampir, maka tidak banyak yang bisa diharapkan darinya. Sebab, mampir hakikatnya hanya kedatangan  demi kepatutan dan rasa persaudaraan dan pertemanan dan tidak punya maksud yang serius. Dari sisi waktu, ‘mampir’ lebih pendek daripada ‘kunjungan’ dan biasanya tanpa perencanaan yang matang. Dan, Obama telah menunjukkan hal itu. Pengakuan negara-nagara Barat bahwa Indonesia sebagai negara besar dari sisi luas wilayah, jumlah pulau, dan jumlah penduduk, terutama yang beragama Islam memang benar.  Sebab, kenyataannya memang demikian. Barat selalu melabel Indonesia sebagai negara ‘besar’, bukan sebagai negara ‘kuat’ secara politik dan ekonomi. Sekadar perbandingan, Singapura secara fisik merupakan negara kecil, tetapi siapa yang tidak mengakuinya sebagai negara kuat secara ekonomi dan politik. Jika saya tidak salah mendengar,  dalam sambutannya Obama tak sekali pun menyebut Indonesia  sebagai negara ‘kuat’. Kita tidak tahu bagaimana sejatinya pandangan Obama tentang Indonesia tatkala dia sudah pindah dari panggung depan ke panggung belakang di mana dia telah melepas topeng dan tampil dengan sejujurnya. Kita tidak tahu persisnya. Tetapi bisa saja dia tertawa tatkala menyaksikan masyarakat Indonesia yang menyambutnya bersorak sorai menyambut pidatonya. Tetapi bisa saja dalam batinnya Obama prihatin menyaksikan Indonesia yang besar secara fisik ini seakan tak berdaya dalam percaturan global karena lemahnya berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa seperti ekonomi, politik, hukum, politik, budaya dan sebagainya. Karena itu, agenda utama ke Indonesia hanya terfokus pada dua isu, yaitu budaya dan politik. Secara sengaja ekonomi tidak dijadikan isu kunjungan. Amerika pasti tahu persis dari aspek ekonomi tidak  ada yang bisa diharapkan dari Indonesia. Sebagai catatan penutup, saya ingin menyatakan bahwa sebuah tafsir, apalagi tafsir politik, tidak mungkin menghadirkan makna yang utuh sebagaimana maksud yang ditafsir. Ibarat sebuah teks, kunjungan Obama juga multitafsir dan tentu multimakna. Siapapun bisa memberikan tafsir sendiri-sendiri dari makud kunjungan Obama berdasarkan kepentingannya, dan tidak kalah pentingnya adalah kerak-kerak pengetahuannya atau archeology of knowledge-nya tentang  Obama selama ini. Dengan demikian, yang tahu apa semua maksud tindakan dan ucapan Obama sebenarnya hanya Obama sendiri. Karena itu, yang dipersoalkan dalam dunia tafsir bukan ‘kebenaran’ tafsir melainkan kebenaran konsep sebuah perspektif dan bagaimana perspektif itu dipakai. Jika demikian, yang dipersoalkan di sini bukan kebenaran tafsir atas maksud kunjungan Obama, melainkan bagaimana konsep dramaturgi dan aplikasinya dalam memaknai kunjungan Obama. Apapun tafsir orang dan bagaimana menafsirkannya, kunjungan Obama setidaknya telah meramaikan arena politik Indonesia dan untuk sementara dapat mengalihkan duka dan derita yang dialami sebagian masyarakat Indonesia akibat bencana alam, berupa banjir bandang di Wasior, tsunami di Kepulauan Mentawai, dan letusan gunung Merapi di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Oleh karena itu, kita sepatutnya mengucapkan “Thank You Mr. Obama for your short visit to Indonesia”. Normal 0 false false false st1\:*{behavior:url(#ieooui) } /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:””; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} Malang, 16 November 2010 Normal 0 false false false Malang, 16 November 2010

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *