Wednesday, 19 March 2025
above article banner area

Menangkap Pesan Ibadah Kurban

Setiap tahun ada dua momen ibadah sangat penting bagi umat Islam yang syarat makna, yaitu Idul Fitri yang didahului dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan, dan Idul Adha  yang dirangkai dengan ibadah haji. Jika idul fitri merupan puncak dari ibadah puasa selama Ramadan dan orang yang telah menjalankan puasa semata karena menjalankan perintah Allah telah   kembali ke keadaan suci (fitrah), maka Idul Adha juga tidak kalah pentingnya jika dilihat dari pesan dan nilai yang dikandungnya, yakni kesediaan manusia untuk berkorban. Karena itu, Idul Adha juga disebut sebagai hari Raya Kurban.

Dua ibadah penting itu juga disempurnakan dengan gema takbir yang dikumandangkan oleh kaum muslimin di mana pun berada untuk mengingatkan kembali manusia tentang kebesaran dan keagungan Allah. Gema takbir yang dibaca berkali-kali dan saling bersautan itu bukan sekadar pengulangan, tetapi secara substantif bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan bahwa seluruh alam semesta dan isinya hanya ciptaan Allah, karena Allah Maha Besar. Karena itu, sejatinya bagi orang yang menggunakan akal sehat, tidak ada alasan baginya untuk ingkar dan tidak mengakui kebesaran Ilahi. Manusia seakan diingatkan kembali penciptannya, yakni tidak ada lain kecuali  hanya untuk beribadah kepada Allah swt. Beribadah yang dimaksudkan tentu tidak hanya sholat, tetapi juga semua aktivitas yang dijalankan karena Allah sebagai bentuk pengabdian sebagai hamba Allah, termasuk kesediaan untuk berkurban. Ajaran berkurban telah diabadikan di dalam al Qur’an melalui peristiwa perintah kepada nabiyullah Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Ismail. Perintah itu dilaksanakan oleh Ibrahim dengan penuh keikhlasan, sehingga Ibrahim digelar sebagai kholilullah, kekasih Allah. Tidak banyak manusia yang diberi gelar sebagai kekasih Allah. Itu hanya manusia-manusia pilihan, seperti Ibrahim AS, Ismail, dan Muhammad SAW. Apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Ibrahim itu tentu sulit dinalar dengan akal sehat. Bagaimana seorang ayah yang lama tidak punya anak, dan setelah punya anak yang mulai tumbuh menjadi remaja berusia 13 tahun  malah disuruh untuk  menyembelihnya. Padahal, salah satu tugas utama seorang ayah adalah untuk melindungi dan merawat anaknya agar tumbuh menjadi manusia sehat dan hidup sukses. Tetapi perintah Allah memang tidak selalu dapat dinalar dengan akal sehat, sebab itu memang kawasan di luar penalaran. Itu kawasan ilahiyah yang tidak mampu dijangkau oleh nalar. Kendati telah menerima perintah yang diyakini benar, Ibrahim tidak serta langsung menjalankan perintah tersebut melainkan berdialog dulu dengan sang putra yang akan disembelih. Bisa dibayangkan juga bagaimana perasaan Ismail tatkala diberitahu bahwa dia akan disembelih. Tetapi di luar dugaan, Ismail dengan tulus untuk menjalankan perintah itu jika memang itu perintah dari Allah, apa pun dan bagaimana pun beratnya. Dialog Ibrahim dan putranya Ismail yang sangat indah tersebut terdapat pada surat Ash Shoffaat ayat 100 – 102. رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصََّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ إِنِّيْ أَرَى فِيْ الْمَنَامِ أَنِّيْ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى، قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ، سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ Selain mengandung nilai ketulusan, ketakwaan, dan keikhlasan menerima perintah Allah, jika dikaji lewat ilmu bahasa ayat tersebut juga menyiratkan makna betapapun besarnya pengorbanan jika dilakukan dengan bahasa yang indah dan santun maksud tersebut dapat berhasil, sebagaimana yang diucapkan oleh Ibrahim AS kepada putranya, Ismail tersebut. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa tatkala penyembelihan akan dilakukan Ismail justru meminta ayahnya untuk mengikat kedua tangannya agar tidak dapat bergerak  sehingga mengganggu penyembelihan, dan mengasah pedangnya agar tajam dan cepat berlalu sehingga meringankan rasa perih mautnya.  Subhanallah. Sesudah nyata keikhlasan dan kesabaran baik oleh Ibrahim maupun Ismail untuk menjalakan  perintah Allah sebagaimana difirmankan Allah pada surat yang sama ayat 107 “وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ” , maka Allah melarang menyembelih Ismail dan menggantinya dengan seekor  kambing. Peristiwa ini pula yang dipakai sebagai dasar penyembelehan kambing pada ibadah haji. Karena demikian besarnya pengorbanan Ibrahim untuk menjalankan perintah Allah, maka ibadah kurban disyariatkan dalam Islam, bahkan ibadah haji pada hakikatnya merupakan napak tilas atau istilah yang populer saat ini adalah rekonstruksi terhadap tarikh Ibrahim AS dan pengorbanannya. Setidaknya ibadah kurban memiliki  tiga  aspek  makna penting untuk kita renungkan, yakni: 1. Berkurban merupakan ibadah dan perintah Allah, sebagai piranti mendekatkan diri kepada-Nya. Kata kurban itu sendiri berasal dari kata qarraba – yuqqarribu – qarbaanan, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Memang kurban bukan satu-satunya sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi kurban memiliki efek langsung dan memiliki nilai guna yang tinggi bagi orang yang yang disantuni. Selain itu, kurban juga  bisa dijadikan tolok ukur kedekatan seorang hamba  dengan Tuhannya.  Muhammad Rasulullah SAW  pernah bersabda bahwa “Sedekah itu dapat menutup 70 pintu dari keburukan”. Di hadis yang lain Rasululah juga bersabda bahwa “Orang bakhil  itu tidak akan bisa masuk surga, meskipun dia orang zuhud”. Jika demikian pesan Nabi, maka betapa pentingnya nilai bersedekah, termasuk berkurban, bagi kehidupan kita. 2. Kurban bernilai sosial tinggi dalam kehidupan sosial kita. Sebagai sebuah ajaran suci, Islam mengajarkan kita untuk membangun hubungan baik dengan sesama, lebih-lebih  dengan yang kekurangan. Islam mengajarkan pemeluknya untuk bersedia  berempati kepada yang papa, baik harta maupun jiwa agar masyarakat muslim menjadi masyarakat yang sejahtera. Banyak janji Allah di dalam al Qur’an bahwa orang yang berkurban atau membantu orang lain berupa shodaqoh itu hartanya tidak akan berkurang. Tidak pernah orang yang suka beramal shodaqoh menjadi miskin, tetapi justru diganti Allah dengan kemuliaan karena kesediaan menjalankan perintah-Nya. 3. Kurban juga berdimensi pendidikan, yakni ketersediaan untuk mau didik oleh Allah dengan menjalankan perintahnya. Artinya, orang yang mau berkurban itu adalah orang yang berada dalam naungan didikan Allah. Sebab, Allah memang memerintahkan umatnya untuk bersedia menafkahkan sebagian rizki — tidak banyak — dari yang dimiliki untuk keperluan di luar dirinya.  Kita harus sadar bahwa dari rizki yang kita terima  itu ada sebagian yang milik orang lain. Dan untuk itu, kita harus bersedia menafkahkanya kepada yang berhak. Momentum Hari Raya Kurban  saat ini  dapat membuka  mata hati kita  untuk menyalurkan sebagian rizki yang kita peroleh dari Allah di tengah-tengah banyaknya penderitaan masyarakat kita akibat bencana alam yang terus menerus terjadi di negeri kita tercinta, banjir bandang, tanah  longsor, tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi. Kita bisa menyaksikan penderitaan masyarakat akibat tsunami di kepulauan Mentawai, banjir Wasior, dan letusan gunung Merapi yang merenggut nyawa sekian banyak. Bagi kurban luka, uluran bantuan kita hari ini ditunggu, apapun bentuknya. Banyak ahli telah menjelaskan semua penyebab peristiwa alam tersebut sesuai disiplin ilmu maisng-masing dan bisa dinalar secara ilmiah. Tetapi ada pintu lain juga untuk memahami  semua peristiwa tersebut dengan melakukan refleksi tentang perjalanan hidup kita, baik pada dataran secara individu maupun sosial sebagai warga sebuah bangsa. Sebagai individu, kita bisa melakukan introspeksi diri atas berbagai tindakan dan tabiat kita selama ini yang kita sadari atau tidak  telah melenceng dari rel ajaran Allah. Jika berbagai bencana itu kita makanai sebagai bentuk peringatan Allah kepada kita, maka bisa ditanyakan pula mengapa Allah menginagtkan kita. Orang yang diingatkan tentu telah melakukan kesalahan, termasuk kesalahan tidak bersedia bersedekah dan berkurban dan kita menjadi bakhil, Padahal, keduanya jelas-jelas merupakan perintah Allah. Sebagai warga bangsa, kita juga bisa menanyakan peran dan fungsi kita sebagai makhluk soasial. Allah ciptakan kita semua dengan berbeda-beda (warna kulit, suku, budaya, bahasa) tidak lain untuk saling belajar dan memperoleh manfaat. Pertanyaan yang lain, apakah kita telah menjadi penyumbang kehidupan masyarakat yang harmonis, atau sebaliknya kita justru menjadi perusak, baik kerusakan sosial, budaya, maupun kerusakan lingkungan. Padahal, Islam tidak mengajarkan berbagai bentuk kerusakan apa pun dalihnya. Bagi para pemimpin, berbagai musibah yang menimpa negeri  ini juga bisa dipakai sebagai momentum untuk melakukan perenungan apakah telah menjalankan semua amanah yang diemban demi kesejahteraan masyarakat tanpa melanggar syariat agama (Islam). Jika ya, segera bertaubat dan Allah senantiasa menerima taubat orang-orang yang segera sadar tekah melakukan kesalahan. Sebagai catatan penutup, jika ditilik dari perspektif teori-teori sosial seperti fenomenologi, maka berbagai musibah yang menimpa negeri kita akhir-akhir ini tidak pernah terjadi tiba-tiba dan tanpa sebab. Semua itu bukan peristiwa tunggal, melainkan rentetan dan akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Sayang manusia terlalu lemah untuk menangkap makna semua peristiwa yang terjadi di depannya dan sejarah manusia-manusia pilihan masa lalu,  termasuk kisah mulia tarikh Ibrahim AS dan putranya Ismail AS.

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *