Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Masihkah KPK Diperlukan?

Jika anda ditanya fenomena apa yang menarik perhatian publik selama beberapa bulan terakhir di negara kita selain kasus Gayus, Nazaruddin yang terus ‘menyanyi’, korupsi pembangunan Wisma Atlet Sea  Games, korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TKW yang akan dipancung di Saudi,  reshuffle Kabinet, penyelidikan pimpinan KPK oleh Komisi Etik, mogoknya  Banggar DPR, dan yang paling gres dan konyol adalah  kesalahan ketik Polri atas status Ketua KPU (disebut konyol karena bagaimana institusi negara setingkat Polri bisa keliru mengetik tentang status seseorang sebagai saksi atau tersangka dalam perkara pidana? Bagi saya, semua fenomena di atas menarik untuk dilihat secara jernih, tetapi perseteruan DPR-KPK tak kalah menariknya  untuk direnungkan sejenak. Mengapa demikian? Berikut uraian ringkasnya.

Sejak awal kelahirannya, KPK tidak lepas dari upaya pelemahan baik secara institusional maupun personal. Bahkan belakangan, suara nyaring terdengar dari anggota DPR untuk membubarkan KPK, karena KPK dianggap tidak lagi kredibel. Jika upaya pembubaran itu berhasil dampaknya sangat luar biasa bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Sekadar kilas balik, sejak awal kelahirannya lembaga yang khusus menangani korupsi ini memang membuat banyak pihak yang berurusan dengan penyelewengan keuangan negara ketar ketir. KPK pun  secara politik menjadi lembaga super body yang telah menyeret banyak koruptor negeri ini ke meja hijau. KPK terbukti membuat para pembajak uang rakyat tiarap, karena selama ini mereka bisa melenggang aman dan sepertinya tidak bisa disentuh oleh lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Akibatnya, Indonesia menjadi lahan subur praktik korupsi. Tidak mengherankan jika Indonesia tercatat menjadi salah negara terkorup di dunia. Tetapi di lain pihak, kelahiran KPK merupakan angin segar dan harapan bagi siapa pun yang memimpikan negeri ini bersih dari praktik korupsi. Dimulai sejak kasus Ketua KPK yang lama, Antasari, yang diadili karena diduga menjadi otak pembunuhan Nasruddin Zulkarnain, muncul pertanyaan apa Antasari benar-benar terlibat dalam pembunuhan tersebut hingga dijatuhi hukuman selama 18 tahun penjara?. Atau dengan kata lain, apa benar pengadilan Antasari murni kriminal atau bermuatan politik? Banyak pihak meragukannya bahwa itu pengadilan kriminal. Bahkan Mantan Ketua MK, Prof. Jimley Assidiqie tegas-tegas menyatakan bahwa pengadilan Antasari penuh dengan rekayasa politik dan sangat terkait dengan upaya pelemahan KPK sebagai lembaga negara. Banyak pihak sakit hati dengan Antasari yang dengan kekuasaannya menangkap banyak pihak yang diduga menyalahgunakan keuangan negara. Adik kandung korban, Andi Syamsuddin, juga menyatakan bahwa pembunuhan kakaknya yang menyeret Antasari penuh rekayasa politik. Bahkan dia menyatakan andai saja dijamin keselamatannya, dia akan membungkar kasus pembunuhan kakaknya hingga tuntas dan hasilnya dijamin jauh dari fakta yang terungkap selama ini. Karena itu, saat ini Antasari minta peninjauan ulang atas kasusnya. Kita belum tahu apa upaya peninjauan ulang tersebut akan membuahkan hasil.  Yang jelas Antasari merasa sangat didholimi oleh pengadilan yang menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara. Dengan hukuman sebesar itu, habis sudah karier Antasari. Sejak saat itu upaya pelemahan KPK memang tidak henti-hentinya. Tatkala Antasai selaku ketua KPK menghadapi tuntutan pengadilan, dua pimpinan KPK Bibit dan Candra Hamsyah juga ditahan karena dituduh menerima suap oleh Anggodo. Penahanan kedua pimpinan KPK memancing reaksi keras masyarakat luas. Masyarakat berhasil mendesak Presiden SBY mengeluarkan keputusan untuk menghentikan kasus Bibit-Candra. Sebab, dilihat dari berbagai segi, manfaatnya jauh lebih sedikit dibanding mudaratnya jika kasus Bibit-Candra diteruskan ke meja hijau. Akhirnya,  atas intervensi Presiden dengan mengedepankan kemanfaatan dan melihat keberadaan KPK keduanya bisa bebas. Saat itu, posisi KPK sangat sulit dan terjepit. KPK  tidak saja berhadapan dengan Polri, tetapi juga Kejaksaan Agung. Bahkan sempat muncul istilah “Cicak-Buaya” yang diucapkan oleh Kabareskrim saat itu, Komisaris Jenderal Susno Duadji.  Istilah “Cicak-Buaya” yang diucapkan oleh Susno Duadji tidak lain juga merupakan upaya pelemahan KPK secara simbolik. Menurut Susno, istilajh itu dikeluarkan untuk menggambarkan  kecilnya kekuatan dan kekuasaan KPK dibanding lembaga POLRI. Karena istilah tersebut mengundang kontroversi yang begitu meluas di masyarakat, bahkan sempat dibahas di acara sidang Komisi III DPR RI dan Kapolri, Kapolri saat itu Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat meminta maaf kepada masyarakat atas keteledoran penggunaan istilah tersebut oleh anak buahnya  dan berjanji akan memberi sanksi kepada Susno Duadji. Terbukti sanksi itu dipenuhi. Susno dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim, bahkan dijatuhi hukuman penjara karena terbukti terlibat penyalahgunaan dana pengamanan pemilihan Gubenur Jawa Barat kala itu. Kendati Susno mengelak semua tuduhan Jaksa, namun dari bukti-bukti yang diungkap dalam persidangan Susno terbukti bersalah. KPK tidak bebas dari perseturuan. Setelah dengan Polri dan Kejakasan Agung selesai (?), kini giliran DPR yang ganti menggoyang KPK. Berawal dari isu suap menyuap di Banggar DPR, KPK menyelidiki kasus tersebut. Anggota Banggar seperti kebakaran jenggot ketika KPK benar-benar menyelidiki kasus tersebut, sehingga membuat anggota Banggar mogok bekerja. Istilah ‘mogok’ ditolak oleh anggota Banggar. Mereka tidak mau disebut mogok, sebab yang mereka lakukan adalah mempertanyakan etika dan mekanisme kerja KPK dalam menangani isu suap di Banggar DPR tersebut. Terlepas apa yang sebenarnya terjadi, masyarakat sudah terlanjur memperoleh informasi dari media bahwa Banggar DPR mogok setelah diperiksa KPK. Sikap Banggar tersebut disayangkan banyak pihak. Sebab, yang dibahas anggota Banggar menyangkut hajat hidup seluruh penduduk Indonesia. Kejengkelan DPR mungkin bisa dimengerti setelah sebelumnya KPK menangkap beberapa anggota DPR yang diduga melakukan tindakan korupsi. Di mata DPR, KPK hanya dapat memberantas korupsi yang berskala kecil dengan nilai yang tidak seberapa besar dibanding dengan kasus-kasus besar seperti BLBI, dan skandal Century yang hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Kejengkelan anggota DPR bisa dilihat pada diskusi di acara Jakarta Lawyers Club di mana seorang anggota DPR dari fraksi PKS dengan jelas dan lantang untuk mengusulkan pembubaran KPK. KPK dianggap tidak lagi steril dari kepentingan politik dan sudah jauh melenceng dari tujuan semula. Pimpinan KPK tidak lagi kredibel dan model kerjanya tebang pilih. Belakangan suara untuk membubarkan KPK semakin nyaring, dan tampaknya anggota DPR dari fraksi PKS tersebut tidak sendirian. Sebagai seorang pendidik yang awam dunia politik, saya bertanya mengapa beberapa anggota DPR begitu getol untuk membubarkan KPK? Mengapa mereka sangat terganggu dengan keberadaan  KPK jika mereka  baik-baik saja? Bukankah kelahiran KPK merupakan amanat rakyat yang lahir lewat Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang juga disetujui DPR? Pertanyaan selanjutnya adalah jika anggota DPR memandang para pimpinan KPK dianggap tidak kredibel di mata publik,  mengapa lembaganya yang dibubarkan? Mengapa tidak orang-orang yang ada di dalam KPK yang diganti? Secara lebih spesifik, mengapa anggota DPR dari fraksi PKS, partai politik yang mengikrarkan diri paling bersih dengan menggunakan  moral sebagai basis perjuangan, justru yang getol untuk membubarkan KPK? Semua tahu bahwa KPK memang lembaga negara yang bersifat ad hock, yang keberadaannya  karena lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan dianggap mandul dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sebagai lembaga ad hock, KPK tidak selamanya ada. Jika suatu saat lembaga-lembaga penegak hukum sudah dapat berfungsi secara maksimal dan memperoleh kepercayaan publik, KPK tidak perlu ada. Tetapi saat ini di mata publik, KPK merupakan lembaga negara yang paling kredibel. Buah kerja KPK sebenarnya sudah bisa dilihat. Berapa pejabat publik, mulai dari bupati/walikota, gubernur, mantan pejabat tinggi negara setingkat menteri dan sebagainya yang terbukti menyalahgunakan keuangan negara saat menjabat dan akhirnya masuk penjara. Rasa takut orang saat ini untuk melakukan korupsi patut pula dicatat sebagai buah dari gebrakan KPK selama ini. Kerja KPK mungkin dianggap belum maksimal, sebab kasus-kasus korupsi raksasa belum dapat diungkap. Padahal, masyarakat menunggu hasil kerja KPK dan ingin tahu siapa saja yang terlibat? Kesan tebang pilih KPK dalam memberantas korupsi memang tidak bisa dihindari. Apa yang terjadi di negeri yang korupsinya demikian hebat ini jika tidak ada lembaga seperti KPK? Bukankah pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas pemerintahan SBY sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye sehingga rakyat memilihnya untuk kedua kali memimpin negeri ini? Korupsi merupakan tindakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya sangat menyengsarakan rakyat banyak dan bermatarantai panjang. Secara sosiologis, korupsi merupakan perilaku yang merusak atau mengandung pengertian penyalahgunaan atau penyimpangan. Bentuk perilaku korupsi bisa dari yang sangat sederhana hingga ke yang sangat kompleks dengan menggunakan teknologi canggih. Pelakunya pun juga beragam dari lapisan paling bawah hingga ke elit yang paling atas. Semua bentuk, pelaku, dan cara korupsi ada di Indonesia, sehingga Indonesia masuk sebagai salah satu negara dalam deretan negara terkorup di dunia. Jika sebuah negara dilabel sebagai negara korup, maka akibatnya adalah kepercayaan masyarakat internasional, terutama para pelaku bisnis, enggan menanamkan modalnya. Dampaknya lapangan kerja sempit, sehingga angka pengangguran tinggi. Jika pengangguran tinggi, maka angka kriminilatas juga tinggi. Lebih dari itu semua, negara yang dianggap korup, maka martabatnya bangsanya rendah. Yang terakhir merupakan dampak paling menyakitkan. Sebab, apa maknanya semua yang kita miliki sebagai bangsa jika ternyata kita dianggap bangsa yang martabatnya rendah. Padahal nilai kemanusiaan terletak pada tingginya martabat yang melekat padanya. Karena itu, atas dasar semua alasan tersebut, saya berkeyakinan KPK masih sangat diperlukan oleh bangsa ini. KPK bukan lembaga yang diisi oleh para malaikat, tetapi pribadi yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Karena itu, tugas kita adalah  bukan melakukan upaya pelemahan dan apalagi pembubaran lembaga KPK,  melainkan pengawalan secara bersama-sama agar KPK bisa fokus dan kerja maksimal. Selain itu, kita perlu memberikan dukungan moral agar KPK berani membongkar kasus-kasus korupsi besar dan tidak tebang pilih. Saya yakin jika diadakan survei ke masyarakat apa KPK masih diperlukan, maka jawabnya hampir pasti KPK masih sangat diperlukan. Karena itu, upaya pembubaran KPK sebagaimana disuarakan oleh beberapa anggota DPR berarti  berlawanan dengan kehendak dan hati nurani rakyat yang telah memilih dan mempercayainya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat yang terhormat. Rakyat yang kritis bisa mencatat siapa saja yang anti KPK dan perlu mempertimbangkan dengan matang apakah mereka layak untuk dipilih kembali pada pemilu yang akan datang. Jawabnya saya kembalikan kepada kita masing-masing! __________ Pulau Seribu, 15 Oktober 2011

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *