Dalam perjalanan pulang dari Jakarta sore ini, di pesawat, saya membaca Harian Republika. Terasa sangat sedih, ketika membaca berita di harian itu tentang kedua orang, suami isteri, yang sama-sama buta telah merikuk di penjara, karena dianggap salah, telah menyimpan daun ganja.
Keduanya telah tiga tahun menjalani hukumannya, masing-masing 15 tahun dan 16 tahun. Saya kira semua orang setuju siapapun yang menyimpan barang terlarang, semisal daun ganja atau obat-obatan terlarang lainnya, dihukum berat. Bahkan dihukum mati pun tidak mengapa, karena memang barang itu sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, kalau yang dituduh itu adalah orang buta, maka siapapun akan menggunakan akalnya untuk mempercayai atas kebenaran tuduhan itu. Akal siapapun akan bertanya, bagaimana orang buta menyimpan barang terlarang itu. Orang buta, apalagi cacatnya itu sejak kecil, tentu tidak akan tahu dan tidak akan bisa menyimpan barang haram itu. Umpama mereka melakukan kejahatan itu, maka secara mudah dapat diduga, bahwa ada orang lain yang menyuruhnya untuk mengambil keuntungan dari orang cacat itu. Bahkan orang buta juga tidak akan tahu, bahwa di rumahnya dijadikan gudang daun ganja, jika tidak ada orang yang memberi tahu kepadanya. Siapapun akan tahu, bahwa orang buta tidak bisa melihat, termasuk melihat daun ganja yang dituduhkan telah disimpan dirumahnya itu. Saya pernah mendapat cerita menyedihkan serupa itu, langsung dari orang tuna netra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Pada saat kecapekan, saya mengundangnya untuk memijat. Suatu ketika, saya diberi informasi, bahwa ada saja orang yang membohongi. Selesai dipijat dia pamit dan membayarnya dengan kertas biasa, menyerupai uang. Kertas yang langsung dimasukkan ke kantongnya itu ternyata kemudian diketahui bukan uang. Orang jahat yang baru dipijat langsung kabur meninggalkan rumah tukang pijat. Mendengar cerita itu saja, saya tidak tahan. Namun ternyata masih ada lagi kejahatan yang lebih berat dari itu. Yaitu, melakukan sesuatu yang menjadikan orang yang hidupnya sudah susah dan menderita, lebih menderita lagi. Membaca berita di harian tersebut, hati saya bagaikan teriris-iris lagi setelah tahu, ternyata suami isteri yang sama-sama menjalani hukuman itu, memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil, hingga sampai tiga tahun di penjara, ——menurut berita harian itu, mereka tidak tahu di mana anaknya itu dan siapa yang merawatnya. Pertanyaan mendasar, yang kiranya semua orang ingin tahu jawabnya adalah, apakah ketika itu hakim, jaksa, dan juga semua orang yang terlibat dalam pengadilan itu semuanya sedang dalam keadaan buta. Sehingga, dengan begitu orang buta pun dituduh dengan tuduhan yang sulit dipahami akal sehat. Atau, mereka semua seolah-olah sudah buta, setidak-tidaknya mata hati mereka sedang mengalami kebutaan. Sulit rasanya melupakan berita yang menyedihkan itu, Maka, berbagai pertanyaan dalam hati muncul, kenapa peristiwa itu terjadi di negeri yang religious ini. Jawaban sementara yang saya dapatkan, justru dari al Qurán, bahwa sesungguhnya manusia itu kadang menyerupai hewan, bahkan mereka lebih jahat lagi. Akibat kejahatannya itu, hingga orang buta pun harus ditambah penderitaannya dengan cara difitnah dan kemudian dihukum. Umpama, hakim yang memutus perkara tersebut, selain berpijak pada Undang-Undang, juga menggunakan pertimbangan mata hati, maka tidak akan terjadi keputusan yang terasa tidak masuk akal dan menyedihkan tersebut.. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang