Memperkenalkan Pesantren Dengan Teknologi

Isu yang dikembangkan oleh Dr.KH.Said Agil Siroj bahwa NU harus kembali ke pesantren adalah sangat strategis. Saya lihat dan rasakan di pesantren ada semangat membangun akhlak, keimanan, ke Islaman dan ikhsan, dan etos terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Semangat seperti itu, jika dilengkapi dengan aspek lain, yaitu pengembangan teknologi akan menjadi luar biasa hebatnya.

Kelemahan yang semakin dirasakan oleh banyak kalangan terhadap hasil pendidikan selama ini adalah dalam hal membangun watak, kharakter, atau kepribadian. Tugas memperbaiki aspek ini tidak mudah. Padahal bahayanya luar biasa besarnya. Kejadian akhir-akhir ini, tentang korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, seorang pegawai pajak, baru golongan III a telah melakukan korupsi tidak kurang dari 25 milyard rupiah adalah contoh nyata betapa besar bahayanya , seorang pintar tetapi tidak memiliki kharakter, watak, atau akhlak yang mulia. Pesantren selama ini dikenal berhasil membangun kharakter, akhlak, dan watak melalui tradisi pendidikan yang dikembangkannya. Hanya saja pesantren selama ini masih menyandang kekurangan, yaitu dalam memperkaya diri di bidang teknologi. Bahkan hampir-hampir pesantren tidak diperkenalkan dengan pengetahuan itu. Padahal teknologi di zamkan modern sekarang ini tidak akan mungkin ditinggalkan. Teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan ini. Dulu orang bisa hidup secara alami. Orang bekerja di sawah, kebun atau di laut menangkap ikan dengan alat-alat sederhana, tanpa menggunakan teknologi, bisa mendapatkan hasil dan cukup untuk memenuhi kehidupannya. Sekarang, hal itu tidak mungkin lagi dilakukan. Bertani harus menggunakan pupuk yang diproduk dengan teknologi modern. Nelayan tidak mungkin lagi menggunakan dayung, tetapi perahunya harus digerakkan dengan menggunakan mesin. Ibu rumah tangga, mulai dari mencuci pakaian, memasak, dan kegiatan lainnya selalu bersentuhan dengan produk-produk teknologi. Orang yang bertahan dengan tradisi lama, tidak menggunakan hasil teknologi akan menjadi terasing. Mereka akan disebut sebagai ketinggalan zaman. Oleh karena itu maka, mau tidak mau pesantren pun juga harus mengenal teknologi, dengan tanpa sedikit pun harus meninggalkan tradisinya yang dianggap mulia selama ini. Bahwa di pesantren tetap saja diajari tentang hidup sederhana, mandiri, tawadhu’ kepada siapapun, lebih-lebih kepada guru dan orang tua, tetapi pesantren semestinya juga harus mengenal teknologi. Jika hal itu dilewatkan begitu saja, maka pesantren hanya akan menjadi penonton dan ditinggal oleh zaman. Ke depan pesantren masih tetap harus melakukan peran-peran kepemimpinan masyarakat. Sementara masyarakatnya telah berubah dari waktu ke waktu, dan akhir-akhir ini perubahan itu tampak semakin cepat. Karena itu pesantren, sebagai pencetak kader pemimpin masyarakat, harus selalu menempatkan diri pada posisi di depan. Sebagai sebuah rintisan, untuk memperkenalkan pesantren dengan teknologi secara nyata, saya sudah beberapa kali menghubungi ITB untuk bekerjasama. Saya merancang agar ada saling keterbukaan dan kerjasama antara pesantren dan perguruan tinggi. Untuk sementara, kami berfokus bekerjasama dengan pesantren tremas, Pacitan. Dengan usaha itu, nanti saya harapkan agar terjadi sinergi kerjasama antara UIN Maliki Malang, Institut Teknologi Bandung, dan Pesantren Tremas. Melalui kerjasama itu, rencananya semua santri pesantren Tremas, —-tentu bagi mereka yang mau dan berbakat, dibekali dengan teknologi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pacitan. Direncanakan di pesantren itu, atas kerjasama Pesantren Tremas, UIN Maliki Malang, dan ITB, dibuka program deploma teknologi, untuk bidang-bidang yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Pacitan. Misalnya bidang pertambangan, teknologi pengelolaan hasil pertanian, kelautan, dan seterusnya. Pacitan kaya akan sumber alam semacam itu, maka semestinya para santri pesantren tidak boleh hanya berperan sebagai penonton tatkala sumber-sumber alam itu diekploitasi. Namun perlu dipertegas kembali bahwa dengan program ini sama sekali tidak akan mengubah tradisi pesantren menjadi bentuk pendidikan lain, semacam pendidikan deploma. Pesantren tetap menjadi pesantren dengan segala jati dirinya. Namun dengan kerjasama itu pesantren akan diperkaya dengan teknologi. Sebab nyatanya teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di semua segi kehidupan. Oleh karena itu pesantren juga harus ikut mengambil peran sebagai bagian dari motor penggerak sekaligus menentukan arah bagi kekehidupan masyarakat secara keseluruhan, agar selalu sesuai dengan filsafat hidup yang dikembangkannya. Selama ini telah beberapa kali dilakukan pertemuan antara UIN Maliki Malang, ITB, dan Pesantren Tremas. Bahkan dari hasil pertemuan itu telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Pacitan dan bahkan dukungannya. Usaha-usaha seperti ini jika berhasil dan berlanjut bisa dijadikan sebagai model, membangun pendidikan secara utuh dengan melibatkan berbagai pihak, antara perguruan tinggi dan pesantren. Dengan cara seperti ini kiranya kelebihan dan kekurangan akan bisa saling diatasi dengan selalu bersinergi dan bekerjasama dalam membangun bangsa ini. Kiranya apa yang dimaksudkan oleh DR.KH.Saidil Sirodj, selaku Ketua PB NU yang baru, kembali ke pesantren akan menemukan momentum yang tepat. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share