Semangat membela agama akhir-akhir ini semakin banyak disuarakan, baik secara pribadi maupun organisasi. Agama dibela menandakan dicintai dan diposisikan pada tempat terhormat. Mereka tidak mau agama dinodai dan dinistakan oleh siapapun. Gejala itu baik dan mulia, karena agama memang selalu mengajak kepada jalan kebaikan dan keselamatan .
Namun demikian, dalam sepanjang sejarah, ada saja orang yang tidak mempercayai dan bahkan membenci. Agama dianggap mengganggu kebebasan dan keyakinan yang selama itu dimiliki. Dikatakan bahwa dengan agama, orang menjadi tidak bebas berbuat sesuatu. Sebab agama selalu memberikan batasan-batasan terhadap apa yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh. Oleh karena itu bagi sementara orang, kehadiran agama menjadi faktor pengganggu. Maka itulah sebabnya, agama tidak dikehendaki berkembang. Bahkan kalau perlu dimatikan. Selain itu, dengan banyaknya agama, maka juga terjadi persaingan antar pemeluknya. Mereka ingin saling berebut dominasi dan bahkan mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Selain itu, sebagai akibat telah melewati sejarah yang panjang, agama mengalami reinterpretasi dari waktu ke waktu. Inilah kemudian melahirkan kelompok-kelompok, sekte atau aliran yang jumlahnya semakin banyak. Interpretasi itu, oleh sementara pihak dianggap menganggu, dan atau bahkan mengancam terhadap kayakinan sebelumnya. Pandangan kontradiktif terhadap agama dan kekhawatiran makna agama keluar dari pengertian yang dianggap otentik itu menjadikan orang tergerak membelanya. Agama harus dibela dan diselamatakan. Selain itu agama juga harus dijaga, siapapun tidak boleh menginterpretasikan ayat-ayat sesuka hati, dikhawatirkan menyimpang dari makna aslinya. Persoalannya adalah bagaimana membela agama itu. Sementara, memaksa orang mempercayai agama juga tidak boleh. Agama tidak boleh dipaksakan. Beragama harus menjadi pilihan bebas dan diterima secara ikhlas. Apalagi agama adalah petunjuk. Sedangkan otoritas pemberi petunjuk hanyalah Allah. Manusia hanya sebatas memberikan peringatan atau kabar gembira. Mempercayai atau tidak, adalah urusan pribadi yang bersangkutan. Memilih agama adalah bagian dari kebebasan. Atas dasar pandangan itu, maka siapapun tidak boleh mengganggu agama pilihan orang. Tentu, pandangan itu berhadapan dengan persoalan dakwah. Setiap orang bermaksud menyeru kepada agamanya. Maka, misi itu kemudian tidak sederhana dilakukan, apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Oleh karena itu, cara membela agama sekaligus berdakwah, harus dilakukan dengan cara terbaik, atau disebut dengan hikmah. Disebut sebagai cara terbaik, manakala disampaikan dengan tanpa memaksa, menggembirakan, dan atau melalui tauladan atau bukti-bukti yang bisa dipahami dan diterima, karena meyakinkan. Maka, membela agama ternyata tidak mudah. Pendekatan kekerasan justru kontra produktif. Agama sendiri bukan kekerasan dan bahkan juga tidak boleh disampaikan dengan cara keras. Agama mengajak hanya takut kepada Tuhan dan bukan kepada selainnya, —–misalnya takut kepada penyeru agama. Jika itu terjadi, maka justru salah. Siapapun tidak boleh takut kepada orang lain, termasuk pada penyeru agama itu. Agama harus disampaikan dengan jalan lembut atau kasih sayang. Menjaga agama harus dilakukan dengan cara berhati-hati dalam memahami kitab suci. Akan tetapi sikap tidak berani memaknai kitab suci, —–hanya karena takut salah, kiranya juga tidak benar. Misalnya, membatasi hanya orang-orang tertentu yang boleh memahami al Qurán, maka menjadikan kitab suci tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Al Qurán harus menjadi petunjuk, penjelas, dan pembeda bagi semua orang. Masing-masing orang memiliki kapabilitas dalam menangkap makna sesuatu, tidak terkecuali terhadap teks kitab suci. Pemahaman setiap orang tidak akan mungkin sama, sekalipun misalnya lewat para ulama penafsirnya. Oleh karena itu, menjaga kitab suci tidak harus lewat pembatasan-pembatasan, misalnya hanya terhadap orang tertentu yang boleh memahami. Al Qurán semestinya dibiarkan terhampar bagi siapapun yang ingin menangkap dan memahaminya. Bahwa jelas, pengertian yang diperoleh akan berbeda-beda sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Namun itulah salah satu cara menjaga dan membela agama. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang