Jumlah perguruan tinggi di Indonesia ini sudah sedemikian banyak. Yang berstatus negeri,  memang hanya  sekitar 140-an, di antaranya itu 80-an dikelola oleh kementerian pendidikan nasional, sedangkan sisanya, yaitu sekitar 60-an dikelola oleh kementerian agama. Selain itu, yang justru lebih banyak lagi, yaitu  tidak kurang dari 3000-an, berstatus swasta.
 Umumnya kampus-kampus besar, seperti UI, ITB, UGM, UNDIP, UNAIR, ITS, UNHAS, UNAND, UB, UM dan lain-lain berada di kota-kota propinsi, atau kota besar. Demikian pula perguruan tinggi negeri yang dikelola oleh Kementerian agama, seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Makassar, UIN Bandung, UIN Riau dan lain-lain. Sedangakan kampus-kampus perguruan tinggi swasta merata,  mulai dari yang ada di kota besar hingga kota kecil, ——tingkat kecamatan. Dilihat dari semangatnya, pertumbuhan perguruan tinggi  tersebut memang luar biasa. Di kota kecamatan sudah terdapat lembaga pendidikan tinggi. Sepintas kenyataan itu menggambarkan kemajuan yang cukup hebat. Namun,  perguruan tinggi yang ada di kota kecil itu umumnya belum berhasil menumbuhkan iklim akademik. Dosennya terbatas jumlahnya, belum lagi di antara mereka bekerja secara sambilan, dan belum memiliki  sarana dan prasarana pendidikan yang memadai  Perguruan tinggi yang tumbuh di tingkat pedesaan tersebut pada  umumnya dimaksudkan untuk menampung anak-anak lulusan sekolah menengah tingkat atas yang tidak berpeluang meneruskan pendidikan di kota-kota besar. Selain itu juga melayani para pegawai, —–baik PNS atau lainnya, yang ingin meningkatkan jenjang ijazahnya.  Umumnya  mereka memasuki program perguruan tinggi seperti itu bukan berorientasi mendapatkan ilmu, melainkan ijazah dan gelar. Sebagai hasilnya, pada saat sekarang sudah banyak sarjana dengan berbagai bidang ilmu, ——umumnya ilmu-ilmu sosial seperti ilmu pendidikan, ekonomi, hukum, administrasi, agama, yang dihasilkan dari perguruan tinggi  tersebut. Saya cukup kaget, tatkala suatu ketika berkunjung ke desa, ternyata banyak orang desa yang di belakang namanya sudah dibubuhkan gelar akademik, misalnya S.Pd, S.Ag, SE, SH dan lain-lain. Bahkan juga tidak sedikit yang telah lulus pascasarjana, hingga bergelar master,  seperti M.Ag, M,Pd, MH, MM, MT, M.Sc.  Banyak perguruan tinggi hingga ke pelosok, maka setidak-tidaknya berhasil menghibur orang desa,   untuk mendapatkan gelar akademik. Para lurah dan perangkat desa bergelar SH, S.Pd, S.Ag,  dan seterusnya. Begitu juga pegawai kantor kecamatan, para guru, penilik sekolah, dan berbagai jenis pegawai lainnya.  Dengan demikian,  dilihat dari jumlah orang yang bergelar akademik, ——biasa ditampilkan dalam data statistik, daerah pedesaan  pun sudah sedemikian maju.    Semangat memiliki gelar akademik juga semarak di kalangan birokrasi pemerintah tingkat menengah ke atas. Banyak wali kota, bupati, polisi, tentara, pimpinan bank, dan bahkan   gubernur hingga menteri  bergelar Doktor. Gelar akademik sudah dianggap sebagai tuntutan zaman.  Untuk mendapatkan gelar akademik itu tidak sulit, selain mengambil di perguruan tinggi swasta sebagaimana dikemukakan di muka, juga dari  PTN yang menyelenggarakan program-program  khusus, eksekutif, program jarak jauh,  dan lain-lain.  Berkembangnya program pendidikan tinggi sebagaimana digambarkan tersebut,   oleh sementara orang dianggap kurang memenuhi standard kualitas, dan bahkan mengkaburkan makna lembaga pendidikan tinggi yang sebenarnya.  Perguruan tinggi hanya dimaknai secara sederhana, yaitu penyelenggaraan perkulihaan, ujian, dan upacara wisuda,  yang  semua itu tidak menutup kemungkinan hanya sebatas  bersifat formalisme.  Namun pelayanan pendidikan tinggi seperti itu ternyata juga  dihendaki oleh masyarakat.   Semua pihak  sebenarnya  tahu,  bahwa hal itu bersifat formalisme belaka. Perguruan tinggi merasa teruntungkan, karena institusinya bertahan hidup. Demikian pula masyarakat, mereka  merasa terpenuhi kebutuhannya baik secara formal, —-tuntutan sertifikasi,   maupun tuntutan sosial, misalnya  seorang pejabat atau pengusaha harus bergelar akademik.  Padahal sebenarnya,  perguruan tinggi seperti itu akan melahirkan resiko   yaitu  mengabaikan peran strategisnya. Amanah yang lebih jauh dari sebatas mengeluarkan ijazah dan mewisuda lulusannya tidak sepenuhnya bisa ditunaikan. Dari  perguruan tinggi seharusnya berhasil diperoleh temuan-temuan baru dari hasil penelitiannya. Amanah besar tersebut  rasanya sulit dipenuhi, manakala  perguruan tinggi hanya memiliki tenaga sambilan, perpustakaan dan laboratorium yang tidak mencukupi,  dan apalagi iklim akademik yang kurang mendukungnya. Akibatnya, perguruan tinggi kembali menjadi seperti sekolah. Atas gambaran seperti itu, maka sementara orang mengkhawatirkan tentang kualiatas pendidikan yang dihasilkan. Tetapi apa boleh buat, apa yang dikhawatirkan itu telah  terjadi. Sebab di alam ekonomi kapitalis seperti sekarang ini, ——maka  apapun, asalkan ada pihak  penjual dan pembeli, dan mereka sama-sama bersepakat, maka jual beli pun terjadi. Demikian pula, tidak terkecuali, dalam pendidikan.   Dalam keadaan seperti itu, tatkala seseorang  menanyakan tentang produk-produk akademik seperti hasil penelitian, jurnal,  dan penulisan buku ilmiah yang lahir dari perguruan tinggi, maka tentu sulit dijawab. Bagaimana pertanyaan itu bisa dijawab, sedangkan  semua hanya dijalankan atas tuntutan formalisme, dan bukan atas dasar kecintaan pada ilmu. Oleh karena itu, buku,  dan hasil penelitian  yang seharusnya  ditulis dan terbit yang dimaksudkan itu, ——agar tidak kecewa, maka jangan ditanyakan.  Bahkan juga jangan berharap, ——dengan keadaan seperti itu, bangsa Indonesia segera maju, karena sementara  perguruan tingginya saja, bersifat formalisme seperti itu.  Wallahu a’lam.    Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang