Orang yang beragama secara benar selalu mencintai dan bersedia membela agamanya. Mereka tidak mau agamanya diganggu dan apalagi dirusak atau dikotori oleh siapapun dan dengan cara apapun. Agama harus dibela dan diperjuangkan. Banyaknya tempat ibadah, sekolah-sekolah agama, dan lain-lain, adalah merupakan wujud dari kecintaan dan cara banyak orang membela agamanya.
Atas dasar kecintaan dan semangat membela agama itulah maka fasilitas keagamaan, seperti tempat ibadah, bangunan lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, panti asuhan dan lain –lain bisa berdiri dan berkembang. Umumnya, fasilitas tersebut dibangun dari sumbangan masyarakat yang diberikan secara suka rela. Bermodalkan semangat beragama itu maka, tanpa bantuan pemerintah sekalipun, fasilitas keagamaan yang diperlukan berhasil dibangun oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu, tempat ibadah dan lembaga pendidikan yang berbasis agama, sekalipun tidak dibiayai dan dibantu oleh pemerintah akan tetap berdiri dan berjalan. Sehingga tidak heran manakala ada pesantren, masjid dan madrasah, sekalipun tanpa dibiayai pemerintah, dan bahkan juga tanpa petunjuk atau arahan dari siapapun, masih mampu bertahan hinngga sekarang. Berbicara tentang agama, sebagaimana kehidupan lain pada umumnya, selalu tampak ada yang bersifat simbolik dan yang lebih bersifat esensi atau substansinya. Bangunan masjid, madrasah, pondok pesantren, rumah sakit dan panti asuhan yang dibangun oleh masyarakat adalah bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat simbolik. Akan tetapi sebenarnya dibalik yang bersifat simbolik, sebenarnya masih terdapat ada nilai, esensi dan substansi dari agama itu sendiri. Agama yang lebih bersifat esensi dan substantive itu adalah berupa nilai-nilai luhur dan mulia yang seharusnya diwujudkan oleh masyarakat beragama dalam kehiduan sehari-hari. Nilai, esensi atau substansi itu misalnya adalah keyakinan atau keimanan terhadap adanya Tuhan dan hal yang bersifat ghaib, perilaku mulia yang dicontohkan oleh para utusannya, ajaran dalam kitab suci-Nya, dan lain-lain. Nilai-nilai mulia itu dijadikan sebagai pegangan dan petunjuk bagi pemeluknya. Selanjutnya, memang agama, baik yang bersifat simbolik maupun yang bersifat esensi dan atau substantive secara keseluruhan harus dibela. Namun sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, orang lebih melihat agama dari sisi-sisi simboliknya. Misalnya, orang menyukai membangun masjid atau tempat ibadah, tetapi belum sampai merasa salah tatkala tidak memanfaatkannya. Sehingga akibatnya, banyak masjid yang sepi dari kegiatan shalat berjama’ah dan juga kegiatan lainnya. Agama yang bersifat simbolik tidak saja tampak dari semangat membangun masjid, madrasah, panti asuhan dan sejenisnya, tetapi juga terlihat dari perilaku keagamaan lain yang lebih mendasar. Misalnya, orang sedemikian antusias menghitung-hitung hari datangnya bulan puasa dan hari raya, tetapi kurang peduli pada hal yang lebih substantive, misalnya menjaga persatuan ummat. Seolah-olah perselisihan ummat bisa ditoleransi dibanding pelaksanaan shalat sunnah, baik tentang waktu ataupun juga pilihan tempatnya. Contoh lain, sekalipun membela organisasi yang bernuansa keagamaan itu hanyalah sebatas kepatuhan bersifat simbolik, ternyata dinggap lebih penting dari menjaga persatuan. Sebagai akibat terlalu membela organisasi, maka ummat menjadi terpecah belah. Anehnya, hal itu dianggap wajar, termasuk oleh para elite atau tokohnya. Padahal secara substantive menjaga persatuan dan persaudaraan adalah lebih penting dari sekedar mempertahankan dan membela organisasi. Organisasi hanya sebatas sebagai alat untuk berjuang, sedangkan substansi dari apa yang diperjuangkan adalah menjaga persatuan, persaudaraan, kasih sayang antar sesama. Kedua-duanya, baik agama yang bersifat simbolik maupun yang lebih bersifat esensi atau substansinya harus dibela. Namun kurang tepat jika membela aspek simbolik, kemudian justru mengabaikan hal yang bersifat substantive. Misalnya, orang sedemikian bersemangat membangun masjid, membela organisasi, mengumpulkan zakat, dan lain-lain, tetapi tidak diikuti kegiatan yang mendukung misi utama dari dibangunnya fasilitas atau kegiatan itu. Contoh lain yang kiranya lebih relevan, seseorang secara khusuk shalat dan naik haji dan umrahg berkali-kali, akan tetapi ibadahnya itu tidak melahirkan atsar apa-apa. Sekalipun berhaji dan umrah berkali-kali, merekla masih berani melakukan korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya. Gambaran tentang bagaimana mencintai dan membala agama dalam tataran simbolik, selama ini sudah dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari secara jelas dan luar biasa besarnya. Maka yang diperlukan selanjutnya adalah, peningkatan dari tataran simbolik itu menuju pada wilayah yang lebih esensi dan substantinya. Dalam tataran yang lebih sederhana misalnya, setelah masjid dan tempat ibadah berhasil dibangun, maka seharusnya adalah ada gerakan untuk memakmurkannya dengan cara selalu memenuhi panggilan adzan lalu shalat berjama’ah pada setiap waktu. Sebagai bentuk mencintai dan membela agama, maka seseorang semestinya merasa salah jika mendengar adzan, tetapi tidak mendatanginya. Dalam aspek sosial, sebagai bentuk kecintaan dan pembelaan terhadap agama, maka seorang muslim seharusnya selalu mencinati sesama sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Mereka juga mencintai dan mengormati tetangga, para tamu, kedua orang tua, guru, para pencari ilmu dan menyayangi manusia serta makhluk pada umumnya. Mereka menyukai musyawarah, tidak sombong, menjauhkan diri dari sifat dengki, takabbur dan lain-lain. Mereka mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqoh, memperhatikan anak yatim dan member makan atau pertolongan pada orang miskin. Itu semua adalah ajaran agama yang harus dicintai dan dijaga. Oleh karena itu, sebagai gambaran seseorang mencintai dan membela agama adalah manakala seseorang selalu berusaha memakmurkan masjid, sanggup mencintai dan mengasihi sesama, tolong menolong, menyebarkan ilmu pengetahuan, bersikap jujur dan adil, menjauhkan diri dari kegiatan merusak, korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga merugikan orang banyak dan lain-lain. Mencintai dan membela agama di Indonesia dalam kontek sekarang ini, rasanya tidak pada tempatnya harus dilakukan dengan berperang, mengebom, merusak fasilitas umum, dan lain-lain. Juga tidak tepat, atas nama membela agama kemudian membenci pemerintah atau memusuhinya. Sebab pemerintah sendiri juga telah melakukan upaya-upaya kongkrit dalam menjaga dan membela agama. Dalam pemerintahan sendiri ada kementerian yang khusus bertugas mengurus dan membina kehidupan beragama bagi masyarakat secara keseluruhan. Bahkan betapa besar peran negara dalam memajukan agama, bisa dilihat dari sedemikian besar dana yang dianggarkan oleh pemrintah pada setiap tahun untuk membiayai kehidupan agama. Jika dihitung secara mendalam, pemerintah telah membiayai para guru untuk mengajarkan ilmu tauhid, fiqh, tafsir, hadist, tarekh, akhlak dan sejenisnya kepada anak bangsa ini. Oleh karena itu, mencintai dan membela agama, dalam kontek sekarang, dapat diekspresikan dengan berusaha melakukan sesuatu agar bangsa ini menjadi tenang, rukun, selamat, makmur, damai, dan sejahtera secara merata. Sebaliknya, bukan malah melakukan kegiatan yang menjadikan masyarakat gelisah dan bahkan ketakutan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang