Mencintai Harta

Cinta mendorong  sesorang melakukan apa saja untuk mengekpresikan  suara batinnya  itu. Orang akan  sanggup berkorban demi apa yang dicintainya. Sesuatu perbuatan sekalipun dianggap tidak pantas dan bahkan jelek sekalipun,  akan dilakukan demi  cintanya itu.

  Kita lihat misalnya,  seorang pemuda atau pemudi akan melakukan apa saja untuk memenuhi keinginan  seseorang yang dicintainya, sekalipun apa yang dilakukan itu terlarang, memalukan, dan bahkan juga merugikan dirinya sendiri.   Seseorang jika sudah dilanda cinta, semuanya menjadi gelap, seolah-olah segala resiko tidak pernah akan kelihatan.   Seorang ibu,  karena cinta kepada anaknya, maka  sanggup siang dan malam tidak tidur untuk mengurusinya. Demikian pula dengan cintanya itu, seorang ibu mau mengorbankan dirinya untuk kepentingan anaknya. Orang tua rela membiayai sekolah atau kuliah anak-anaknya, sekalipun sebenarnya ia tidak mampu. Maka apapun dilakukan dengan berbagai resiko.   Bahkan seseorang, karena cintanya kepada nabi atau ulama yang dianggap mulia,  tatkala sedang berziarah, ia menangis   di makamnya. Kecintaannya itu, di antaranya, diekspresikan dengan cara menangis itu. Selain itu, seseorang  karena  cintanya kepada Allah, maka pada malam hari bangun dari tidurnya, —— sekalipun dalam keadaan dingin, ia mengambil air wudhu, lalu shalat malam.   Begitu juga bagi orang-orang yang mencintai jabatan. Kita lihat seseorang dengan cara apapun,  mengorbankan  apa saja,  untuk meraih jabatan yang dicintai itu. Secara mudah juga kita saksikan, di masa kampanye,  lantaran  mencintai jabatan di atas yang lain, mereka rela fotonya dipasang di pinggir-pinggir jalan, agar dirinya dikenal dan pilih rakyat untuk menduduki jabatan yang diinginkan itu.   Demikian pula jika seseorang sudah terlalu mencintai harta, maka apa saja dilakukan untuk mendapatkannya. Jika dengan jabatan dianggap akan berhasil mengumpulkan harta,  maka jabatan itu dikejar-kejar sampai dapat. Muncul pula istilah jabatan basah dan jabatan tidak basah.  Bagi mereka yang lebih mencintai harta dari pada pengabdian, maka mereka akan mengejar-ngejar jabatan basah itu.   Begitu selanjutnya, jika seseorang  terlalu mencintai harta,  tatkala masuk perguruan tinggi,  mereka memilih jenis program studi yang lulusannya cepat mendapatkan pekerjaan dan berpenghasilan  tinggi, sekalipun mereka tidak berbakat dan atau tidak mampu. Orang yang sudah terlanjur terlalu mencintai harta, maka segala pikiran dan keputusan hidupnya selalu dikaitkan dengan harta yang akan didapatkan. Mencari pasangan hidup pun, jika seseorang telah gila harta, akan mempertimbangkan kekayaannya daripada kecantikan, nasab, ilmu,  dan akhlaknya.   Mencintai harta tentu tidak dilarang oleh siapapun. Akan tetapi jika kecintaan itu menjadi keterlaluan, yakni di luar batas-batas kewajaran, maka akan membahayakan dirinya. Pejabat yang sudah kaya, kemudian melakukan korupsi, sesungguhnya mereka itu adalah sedang menderita penyakit, yaitu terlalu mencintai  harta itu.  Segala resiko apapun, misalnya akan dipecat atau dimasukkan penjara,  bahkan juga akan dianggap kafir,  tidak dipertimbangkan. Yang  penting bagi mereka adalah mendapatkan uang yang terlalu dicintainya itu.   Jika pandangan itu benar, maka  salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menghilangkan kebiasaan korupsi adalah membangun persepsi di tengah masyarakat,  bahwa seorang pejabat yang kaya adalah tidak selalu baik.  Bahkan rendah, jelek,  dan bahkan nista jika kekayaannya itu tidak jelas asal muasalnya.  Sementara ini, yang terjadi justrru sebaliknya. Seorang pejabat  harus tampak kaya. Bahkan jika mengundang jamuan, ——termasuk berbuka puasa atau juga pesta hari raya, harus tampak lebih dari anggota masyarakat lainnya. Jika tidak tampak berlebih, maka dianggap kurang sempurna. Padahal, gaji pejabat pada umumnya tidak terlalu tinggi.   Tuntutan masyarakat seperti itu menjadikan orang terlalu mencintai harta. Dalam bahasa agama  disebut hubbul maal. Cinta harta dalam hasanah akhlak atau tasawwuf masuk kategori akhlak yang tidak baik. Oleh karena itu, jika masyarakat memilih seseorang pemimpin yang  terlalu mencintai harta,  maka sama halnya memilih pemimpin yang tidak berakhlak. Maka yang terjadi kemudian adalah masyarakat yang dipimpinnya akan rusak, sebagai akibat pemimpinnya yang rusak  itu.   Sayangnya, tolok ukur kemajuan seseorang dan bahkan juga sebuah negara,   dilihat dari seberapa besar pendapatan yang diperoleh. Akhirnya dengan cara apapun, berusaha agar pendapatan mereka selalu meningkat. Umpama saja akhlak selalu  dijadikan tolok ukur keberhasilan, mungkin korupsi bisa ditekan hingga sekecil-kecilnya. Orang kaya,  yang tidak jelas asal muasal harta kekayaan yang dimiliki, maka  dianggap jelek.  Tetapi sementara ini, pada kenyataannya belum seperti itu. Orang kaya, dari mana pun hasil kekayaannya, tetap  dianggap sukses. Akibatnya, orang mengejar-ngejar kekayaan, dan sangat mencintai harta,  sekalipun dengan jalan korupsi.    Berbeda dengan orang pada umumnya, Nabi Muhammad saw., mengajarkan bahwa kemuliaan akhlak lebih diutamakan daripada kekayaan lainnya. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa ia diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Dan, bukannya sebatas berjuang,  agar umatnya menjadi kaya raya. Namun begitu, orang miskin, anak yatim, dan orang  menderita lainnya selalu diperhatikan dan dibantu,  Wallahu a’lam

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share