Mengikuti Pertemuan Majelis Muwasholah Bainal Ulama Al Muslimin

Selama tiga hari, mulai hari Selasa hingga Rabu, tanggal 5-7 Januari 2010, saya mengikuti pertemuan majelis Muwasholah Baina Ulama’ di Bogor. Pertemuan tersebut diikuti oleh sekitar 200-an orang haba’ib, kyai, ulama’ yang datang dari berbagai wilayah Indonesia. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Habib Umar al Hafidz dari Hadramaut, Yaman. Selain itu juga dating ulama’dari Malaysia, al Jazair, Saudi Arabia dan Australia. Hadir dalam pertemuan itu, selain bersilaturrahmi dengan mereka yang hadir, setidak-tidaknya saya mendapatkan dua hal lainnya yang saya anggap penting. Pertama, saya mendapatkan gambaran tentang bagaimana ghirah atau semangat para Habaib, Kyai, dan Ulama untuk mendakwahkan ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Mereka memiliki rasa tanggung jawab yang amat besar dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Terkait dengan kegiatannya itu, saya menangkap bahwa, ada kegelisahan dari kalangan Habaib, Kyai, dan Ulama pada akhir-akhir ini yang dirasakan mengganggu pengembangan misinya. Beberapa hal yang dianggap mengusik itu di antaranya, misalnya dirasakan semakin meluasnya faham liberalisme, munculnya sementara kelompok menafsirkan al Qur’an secara bebas, dan munculnya aliran-aliran baru di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, masih ada lagi yang dianggap merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh mereka, adalah kondisi politik dan ekonomi umat yang semakin tertinggal. Sementara Habaib, Kyai’, dan ulama sadar, bahwa politik sangat penting untuk kepentingan dakwah. Demikian pula aspek ekonomi, dengan menyitir hadits Nabi, bahwa kemiskinan mendekatkan pada kekafiran, maka ekonomi umat perlu dicarikan jalan keluar pengembangannya. Kedua, yang sangat menarik lagi bagi saya adalah suasana religious yang begitu terasa ketika para ulama itu berkumpul. Sangat lain jika disbanding dengan menghadiri kegiatan seminar atau diskusi yang dilakukan oleh para cendekiawan atau ilmuwan lainnya. Sebagaimana namanya, yaitu Habaib, Kyai, dan Ulama’ tatkala mereka bertemu bersama, ternyata nuansa keagamaannya sangat mewarnai pertemuan itu. Nuansa keagamaan tidak saja tampak, misalnya dari selalu kegiatan tersebut dibuka dengan bacaan surat al fatekhah, bacaan ayat-ayat al Qurán setiap sesi, dan juga doa bersama setiap mengakhiri mata acara, melainkan juga dalam kegiatan di luar itu. Setiap waktu sholat, maka diskusi atau musyawarah segera dihentikan untuk sholat berjamaáh. Pagi menjelang adzan subuh, semua haba’ib, kyai, dan ulama sudah ada di masjid untuk berdzikir dan sholat berjamaáh. Selain itu, setelah dzikir panjang bakda sholat subuh, para habaib, kyai, dan ulama’ semuanya mengikuti pengajian bersama yang diberikan oleh salah seorang ulama’ yang dianggap memiliki otoritas keilmuan yang paling tinggi. Ketika itu, pengajian diberikan oleh Habib Umar bin Salim bin Hafidz dari Yaman. Suasana religious juga tampak dari cara mereka mengakhiri kegiatan itu. Selain doa bersama, di akhir pengajian, mereka saling berjabat tangan diikuti oleh semua Habaib, Kyai, dan ulama peserta kegiatan itu. Bahkan suasana keberagamaan juga masih tampak lagi dari cara mereka makan, minum, dan lain-lain. Tatkala makan atau minum, mereka lakukan dengan duduk bersila, membentuk lingkaran-lingkaran kecil, sehingga tampak, bahwa makan pun, para habaib, kyai, dan ulama juga dilakukan dengan nuansa berjamaáh. Mengikuti kegiatan tersebut, saya kemudian membayangkan, alangkah indahnya andaikan kehidupan kaum muslimin, di lingkungan keluarga, di kantor, di perusahaan, di masyarakat, di sekolah, termasuk di kampus-kampus bisa dilakukan seperti itu. Berjamaáh atau kebersamaan selalu dijadikan identitas atau ciri khas kehidupan kaum muslimin. Selain itu, kegiatan intelektual, spiritual, amal, dan social juga dilakukan seimbang dan maksimal. Jika demikian, maka Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi semua. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share