Bagi komunitas Islam, masjid di mana-man, tak terkecuali di desa,  menjadi tempat pertemuan penting bagi masyarakat di sekitarnya. Memang di setiap desa telah ada  balai desa, balai RW, atau bahkan juga RT, tetapi  masjid selalu lebih dirasakan  sebagai milik bersama. Hal itu lebih-lebih lagi, jika kebetulan penduduk desa itu semua beragama Islam. Hanya saja, barangkali,—— sebagaimana terjadi di mana-mana,  ketaatan masing-masing orang terhadap agamanya tidak sama. Ada sementara yang sedemikian rajin ke masjid,  dan sebaliknya,  ada pula yang sekali-sekali saja ke tempat ibadah.
 Namun demikian apapun tingkat ketaannya, orang merasakan bahwa masjid adalah sebagai milik bersama. Tempat ibadah itu dianggap sebagai rumahnya yang kedua. Jika masing-masing keluarga memiliki rumah pribadi, maka selain itu dirasakan harus memiliki rumah bersama. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai rumah bersama itu adalah  masjid.  Bagi yang tergolong taat beragama, maka sehari-hari mereka selalu ke masjid. Setidak-tidaknya pada waktu shalat tertentu, misalnya maghrib, isya,  dan subuh. Pada waktu shalat dhuhur dan ashar, pada umumnya jumlah jamaáh lebih  sedikit, —-hanya beberapa orang saja, karena  mereka masih berada di tempat kerjanya masing-masing.  Setiap kali pulang ke desa, hal yang terpikirkan adalah tentang  pemanfaatan masjid  yang kurang maksimal. Masjid hanya digunakan untuk shalat berjamaáh oleh sebagian orang. Tempat ibadah itu didatangi oleh banyak orang, hingga menjadi penuh, hanya ketika shalat jumát seminggu sekali. Oleh karena itu, antara besarnya biaya pembangunan, perawatan, dan penggunaannya jika dihitung secara saksama  kurang seimbang.  Saya selalu membayangkan, umpama setiap masjid di pedesaan, tidak saja dijadikan sebagai tempat berjamaáh ritual, melainkan juga jamaáh kegiatan sosial lainnya, maka masjid akan meningkat penggunaan dan fungsinya. Dengan demikian, anggapan bahwa masjid merupakan rumah kedua bagi warga masyarakat sekitarnya akan benar-benar bisa terwujud.  Masjid sebagai tempat berjamaáh ritual sudah sedemikian lazim, apalagi pada bulan Ramadhan. Pada setiap malam malam bulan Ramadhan, masjid selalu ramai digunakan untuk shalat tarweh berjamaáh. Orang-orang yang tidak terbiasa ke masjid pun, pada bulan suci itu, akan datang untuk shalat tarweh berjamaáh. Mereka mengira bahwa, hanya shalat tarweh di bulan Ramadhan saja seharusnya di masjid, sementara shalat fardhu lima waktu, —— di luar bulan itu, dianggap tidak perlu berjamaáh. Padahal Nabi Muhammad,  menurut berbagai riwayat, selalu shalat berjamaáh dan di masjid.  Umpama saja, para penduduk desa di sekitar masjid, selain berjamaáh ritual ——shalat lima waktu, juga berjamaáh di bidang ekonomi misalnya, maka fungsi tempat ibadah tersebut  akan menjadi luar biasa.  Sebagai wujud jamaáh ekonomi, misalnya warga setempat membangun ide dan organisasi  ekonomi secara bersama-sama, misalnya di bidang pertanian, perdagangan, peternakan, perikanan dan lain-lain. Pengurus masjid tidak saja trampil dalam memimpin kegiatabn ritual secara berjamaáh, tetapi juga mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bersama yang bernuansa ekonomi itu.  Mungkin kegiatan itu bisa dimulai dari kelompok remaja atau pemudanya. Untuk menggerakkan kegiatan itu, diperlukan seorang atau beberapa orang yang menjadi fasilitator,  koordinator atau  yang bersifat  pendampingan. Sehingga dengan demikian, fungsi masjid meluas kembali, bukan saja sebagai tempat ritual, melainkan juga kegiatan sosial lainnya. Dulu, masjid dilengkapi dengan kegiatan kesenian yag bernuansa religious, maka ke depan kiranya perlu diciptakan dan dikembangkan kegiatan yang pada saat ini diperlukan, yaitu pusat pengembangan eknonomi dengan cara berjamaáh.  Pemikiran seperti itu muncul setelah melihat kenyataan bahwa ternyata di pedesaan sudah banyak anak-anak muda terpelajar, dan bahkan lulusan perguruan tinggi. Mereka itu jika diberikan saluran di masjid, selain akan meramaikan tempat ibadah itu, juga akan muncul kegiatan yang secara nyata bisa  menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat pedesaan, misalnya tentang pengurangan pengangguran.  Tatkala mereka diajak berkumpul, kemudian diorganisasi,  dan selanjutnya   potensi mereka  disalurkan melalui tempat ibadah itu, maka akan menjadi kekuatan ekonomi  yang berbasis ritual hingga menjadi kekuatan yang luar biasa.   Lebih dari itu,  masjid di desa, akan memiliki fungsi lebih sempurna, di antaranya  untuk menjawab kebutuhan zaman, misalnya penciptaan lapangan pekerjaan yang dirasakan oleh banyak orang  seperti sekarang ini. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang