Mudik Sudah Menjadi Kebutuhan Bagi Semua

Salah seorang Pimpinan BUMN menilpun saya, mengatakan bahwa dia sedang di Malang. Saya kemudian bertanya, lagi sedang merencanakan proyek apa. Secara spontan dijawab olehnya, bahwa ia lagi berziarah ke makam ibunya. Dia menambahkan bahwa hanya setahun sekali berkesempatan berziarah, dan hanya berdoa seperti itu yang ia bisa lakukan, sebagai bentuk pengabdian kepada ibunya yang telah lama wafat. Sekalipun pembicaraan itu hanya lewat tilpun, dia menjelaskan panjang lebar tentang hikmah silaturrahmi atau mudik tatkala lebaran. Bahkan silaturrahmi itu belum dianggap cukup jika belum disempurnakan dengan datang ke makam leluhurnya yang sudah meninggal. Dia juga tidak merasa ada yang menyuruh, dan apalagi memaksa untuk melakukan hal itu. Akan tetapi jika semua itu telah dilakukan maka sudah merasa enak, lebih dari itu semua kewajiban sudah merasa telah ditunaikan. Cara pandang atau berpikir seperti itu, sesungguhnya tidak saja dimiliki oleh orang tertentu, semisal pejabat BUMN seperti cerita tersebut, melainkan juga para pejabat lainnya. Kita lihat misalnya, orang-orang yang mudik bukan saja berasal dari masyarakat pada level tertentu, melainkan mereka itu berasal dari berbagai kalangan. Mudik akhirnya bukan hanya dijalankan oleh orang-orang biasa, klas bawah, berpendidikan dan berpenghasilan rendah, melainkan juga kaum elite, berpangkat dan berjabatan tinggi. Mereka itu bukan saja berasal dari orang-orang yang baru mampu mengembangkan kekuatan emosinya, melainkan juga para peneliti, pemikir, pengusaha, kaum intelektual semacam pengamat, atau pun juga guru besar. Dalam hal bermudik rupanya sudah tidak mengenal siapa, klas mana, berpendidikkan apa, berjabatan apa. Semua sudah membutuhkannya. Manusia, siapapun orangnya suatu saat memang merasakan kerinduan untuk kembali ke asalnya. Secara fisik, setiap orang memiliki tempat kelahiran, yaitu di desa tertentu, kota tertentu, atau negeri tertentu. Mereka memiliki ikatan batin dengan tempat di mana dilahirkan. Oleh karena itu, sekaliupun seseorang sudah berumah tangga, memiliki anak dan cucu di tempat tertentu, tatkala tiba hari raya atau saat-saat tertentu, ditanyakan kapan pulang. Istilah pulang di sisni diartikan sebagai kembali menjenguk tempat kelahirannya. Dirasakan bahwa rumah aslinya adalah di tempat kelahirannya. Mudik tidaklah selalu mudah dilakukan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas kendaraan atau biaya yang cukup. Kekurangan fasilitas, jarak yang jauh, kesehatan, dan bahkan juga resiko di jalan karena selalu macet dan seterusnya tidak akan menjadi penghalang, sehingga mereka membatalkan niat bermudik atau bersilaturahmi di hari raya. Dalam kitab suci al Qurán bahwa manusia dinyatakan sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk sebaik-baik. Manusia dalam berbagai halnya diciptakan dalam keadaan terbaik. Disebutkan sebagai ahsanut taqwiem. Manusia diciptakan dalam bentuk yang serba lengkap, yaitu memiliki fisik yang kokoh, keinginan atau emosi, akal, dan hati nurani. Tidak ada makhluk, selain manusia, yang dasar kejadiannya selengkap itu. Namun karena manusia tidak mampu menjaga amanah, yaitu memiliki telinga tetapi tidak digunakannya secara baik, mereka memiliki mata tetapi juga tidak digunakan untuk melihat secara benar, mereka memiliki akal tetapi juga tidak digunakan untuk berpikir, mereka memiliki hati tetapi juga tidak digunakan secara benar, maka kemudian makhluk mulia ini digambarkan seperti hewan dan bahkan lebih sesat daripada binatang. Dalam gambaran yang sangat sederhana, bisa kita lihat sehari-hari, misalnya orang tahu betapa bahayanya mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi juga tetap dilakukan. Pada zaman sekarang dikenal banyak orang melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme. Sekalipun hal itu dianggap hina dan berbahaya. Seorang yang telah menempuh pendidikan tertinggi di lembaga pendidikan terhormat dan berkualitas, tetapi tatkala memegang amanah, sebagai pejabat tinggi, ternyata masih menyimpang, menyalah gunakan wewenangnya. Seorang cerdas atau pintar dari hasil pendidikan yang hebat, jika tidak dibekali dengan keimanan dan amal sholeh, ternyata justru memiliki kekuatan perusak kehidupan masyarakat yang amat dahsyat. Hari raya idul fitri yang menjadikan masyarakat terdorong untuk mudik, yaitu kembali ke asal kelahiran mereka, tidak saja dimaknai secara fisik, ialah sebatas berkenjung ke orang tua, tempat kelahirannya, tetapi mestinya lebih dari sebatas itu. Istilah mudik seharusnya dimaknai secara hakiki, ialah mudik ke asal bentuk kejadiannya, ——sebaik-baik bentuk. Mata, telinga, akal, dan hatinya selalu didekatkan dengan petunjuk kitab suci al Qurán. Inilah sesungguhnya mudik yang sebenarnya, setelah mereka kembali dari mudik secara fisik, dari kampung halamannya masing-masing. Jika fenomena mudik dimaknai seperti ini, ialah kembali ke asal kejadian yang terbaik, maka hari raya benar-benar memiliki makna yang amat besar dalam membangun negeri dan bangsa ini. Semua energy yang telah dihabiskan untuk mudik menjadi tidak hilang percuma. Sebab hasilnya jauh melebihi dari semua yang dibelanjakan itu. Mudik tidak saja kembali ke asal secara fisik, tetapi kembali ke kejadian awal, yaitu sebaik-baik bentuk kejadian. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share