Dalam hal mengembangkan pendidikan, khususnya pendidikan pesantren dan madrasah, NU adalah jagonya. Tidak ada organisasi sosial yang berhasil mengembangkan lembaga pendidikan sebanyak NU. Muhammadiyah juga bergerak dan mengembangkan lembaga pendidikan, tetapi belum sebanyak NU jumlahnya. Bahkan keberhasilan itu, selain tampak dari aspek kuantitasnya yang besar, juga dari konsep pendidikannya.
NU memiliki konsep pendidikan yang lebih utuh. Tatkala orang mengeluhkan terhadap pendidikan yang hanya menyentuh aspek kognitif, maka NU sudah berhasil menjawab persoalan itu. Pendidikan NU lebih mengedepankan aspek akhlak. Berbekal akhlak yang mulia, maka aspek lainnya tidak terlalu sulit memperbaikinya. Terkait dengan akhlak itu, lembaga pendidikan di NU sarat dengan konsep-konsep terkait dengan itu, misalnya tawadhu’, berkah, ridho, tho’at dan semacamnya. Kecerdasan dan berpengetahuan luas tetap dianggap penting, akan tetapi jika kekayaan itu tidak didasari oleh akhlak yang mulia, maka semua itu tidak akan memberi manfaat bagi hidupnya. Pandangan NU seperti itu kiranya sulit dibantah oleh siapapun tatkala melihat kenyataan di negeri kita sekarang ini. Betapa banyak orang pintar, berpendidikan tinggi, bahkan telah menduduki jabatan tinggi, tetapi tidak sedikit masih harus masuk penjara karena korupsi. Nasib mereka itu bukan disebabkan oleh karena sedang sial, tetapi karena kurang berakhlak. Keberhasilan NU dalam mengembangkan pendidikan selama ini, belum diimbangi dalam pengembangan ekonomi secara memadai. Beberapa tahun yang lalu, NU ramai diisukan pengembangan Bank Nusuma. Tetapi upaya itu gemanya tidak lama terdengar. Kiranya melalui muktamar di Makassar, yang segera dibuka beberapa hari lagi, maka tepat kiranya jika isu tersebut diramaikan kembali. Problem bangsa saat ini, selain harus meningkatkan kualitas pendidikan, yang cukup mendesak untuk dijawab adalah persoalan ekonomi umat. Pendidikan yang baik, dengan mengembangkan aspek akhlak tersebut, ternyata pada kenyataannya juga belum mencukupi. Anak-anak setelah menamatkan pendidikan pesantren misalnya, mereka harus mencari pekerjaan di kota yang tidak mudah memilihnya, hingga terpaksa mendapatkan seadanya. Akibatnya, apa yang diperoleh di pesantren sekian lama menjadi percuma, atau sekurang-kurangnya tidak banyak membekas. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan bagi NU, perlu disempurnakan dengan pengembangan ekonomi atau peluang-peluang lapangan pekerjaan yang mencukupi. NU dalam berekonomi, sesungguhnya sama tatkala mengembangkan pendidikan. Keduanya harus selektif. Ajaran Islam yang dianut NU dalam mengembangkan ekonomi member tuntunan agar selalu memilih, yaitu memilih yang halal, baik, dan berbarokah. Bagi warga NU dalam mendapatkan harta atau kekayaan tidak bebas, misalnya hanya mengedepankan aspek jumlah atau banyaknya. Warga NU sebagai seorang muslim, dalam mencari rizki, ada keharusan memilih, yaitu memilih sebagai mana disebutkan di muka , yaitu yang baik, halal, dan berbarokah. NU sangat berpotensi dalam pengembangan ekonomi umat. Usaha itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kegiatan cultural yang dimiliki oleh NU. Komunitas NU dengan kegiatan culturalnya, seperti tahlilan, dibaán, yasinan, istighosah, dan belum lagi kegiatan masjid sangat potensial untuk digunakan sebagai modal untuk mengembangkan ekonomi. Warga NU bisa menjadi pasar, sumber tenaga kerja, dan sekaligus produsen. Bisa dibayangkan, betapa mudah warga NU bertemu dan dikumpulkan, melalui kegiatan kultural tersebut. Untuk mengembangkan ekonomi umat, yang diperlukan adalah kepemimpinan, bimbingan dan ketauladanan. Jika masing-masing cabang NU, hingga ranting digerakkan secara bersama-sama, maka potensi itu akan luar biasa besarnya. Hanya memang, kelemahan NU selama ini, yang tampak adalah terkait dengan pengorgansasian. NU bisa digerakkan, tetapi tidak mudah diorganisasi. Oleh karena itulah, ada sementara orang menyebut, warga NU sangat pintar berkumpul, tetapi masih kalah jika diajak berlomba berbaris. Jika mereka ikut berlomba, biasanya semua ingin mengambil posisi di depan. Rasa-rasanya statemen itu ada benarnya. Selama ini lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan bahkan juga madrasah diurus secara individual, atau lebih bersifat pribadi. Yaitu pribadi para kyainya. Umpama pesantren diurus oleh NU dengan menggunakan prinsip-prinsip organisasi, maka bisa jadi tidak akan tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini. Di sinilah kira-kira salah satu letak kelemahan NU tatkala akan mengembangkan ekonomi. Namun sebagaimana mengembangkan lembaga pendidikan, dalam mengembangkan ekonomi pun bisa dilakukan dengan cara yang sama, ialah secara individual. Pada kenyataannya juga tidak sedikit orang-orang NU yang sukses dalam pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, NU perlu seacara terus menerus mendorong warganya. Jika NU berhasil mengembangkan lembaga pendidikan secara pribadi, maka demikian pula seharusnya ditempuh dalam pengembangan ekonominya. NU tingkat ranting misalnya, mendorong warganya yang potensial untuk mengembangkan ekonomi, agar bisa menolong lainnya. Lebih lanjut NU semestinya juga mendorong warganya yang mampu secara ekonomis, membuka lapangan kerja baru. Sehingga orang-orang NU berhasil menampung tenaga kerja yang akhir-akhir ini semakin banyak jumlahnya. Jumlah anggota yang sedemikian besar, NU seharusnya memandang dirinya sebagai organisasi yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. Setidak-tidaknya, melalui muktamar ini, perlu dipikirkan upaya-upaya menumbuhkan semangat dan langkah nyata untuk memecahkan problem ekonomi umat. NU memiliki potensi yang luar biasa, baik menyangkut SDM, permodalan, kultur, pasar, dan lainnya. Sedangkan titik lemah yang dimiliki,—–jika perlu disebut, hanyalah terletak pada kepemimpinan dan managerialnya. Namun kiranya hal itu pun, insya Allah bisa diatasi. Wallahu a’lam. Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang