Nuzulul Qurán Dan Tradisi Riset

Istilah Nuzulul Qurán di tengah-tengah masyarakat sudah sedemikian popular, ialah diartikan sebagai malam pertama kali turunnya al Qurán. Pada setiap tanggal 17 malam pada Bulan Ramadhan selalu diperingati oleh kaum muslimin sebagai turunnya ayat al Qurán yang pertama kali. Demikian pula, masyarakat juga sudah mengenal dengan baik, bahwa ayat yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Semakin lama, masyarakat memaknai perintah membaca juga semakin berkembang. Perintah membaca tidak saja dimaknai secara terbatas, misalnya membaca tulisan, buku, atau sejenisnya. Perintah membaca, sejalan dengan tingkat perkembangan kualitas pemikiran masyarakat, dimaknai semakin luas. Membaca tidak saja terhadap buku, tulisan, atau catatan-catatan, melainkan lebih luas dari itu, ialah membaca keadaan,. potensi, kondisi, situasi, atau bahkan alam semesta ini. Dalam tradisi akademik, istilah membaca dalam pengertian luas disebut riset atau penelitian. Sedemikian pentingnya kegiatan membaca atau riset ini, hingga maju mundurnya institusi, lembaga, bidang usaha, dan bahkan juga negara, tergantung pada bagaimana meletakkan kegiatan riset sebagai bagian penting dalam isntitusi atau lembaga itu. Perusahaan yang memiliki tenaga-tenaga riset berkualitas tinggi akan mengalami kemajuan dan memenangkan kompetisi dengan para pesaingnya. Demikian juga perguruan tinggi yang memiliki tenaga-tenaga riset yang unggul, akan berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana misi pokoknya. Perguruan tinggi yang mampu mengembangkan riset akan memiliki pupolaritas tinggi, dan begitu juga sebaliknya. Namun sayangnya, umat Islam yang memiliki kitab suci al Qurán yang mulia itu, ternyata belum mampu mengembangkan kegiatan riset sebagaimana tuntutan kemajuan masyarakat. Umat Islam masih mengalami ketertinggalan di bidang riset ini. Hasil-hasil riset dari kalangan umat Islam belum banyak terdengar. Padahal, ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah adalah berupa perintah membaca atau riset. Lebih-lebih lagi, jika kita mau berkontemplasi, bahwa ayat itu diturunkan ketika Nabi Muhammad saw., sedang berada di puncak gunung, ialah di Guwa Hira’. Melalui Guwa ini, siapapun bisa melihat keadaan masyarakat yang tinggal di berbagai penjuru di sekitar gunung itu. Mungkin bisa dibayangkan bahwa, tempat yang tinggi itu juga bermakna, seolah-olah Allah swt., ketika itu memerintahkan Muhammad saw. , dengan kalimat bacalah atau lihatlah, maka yang kemudian dilihat adalah masyarakat Arab yang tinggal di hamparan luas, yang akan menjadi sasaran penyebaran misi dakwahnya. Bagi kita yang hidup lebih 14 abad kemudian, rasanya juga bisa memaknai perintah itu dengan pengertian, cobalah diriset jagat atau alam semesta ini secara teliti dan saksama. Sehingga atas makna itu kemudian melahirkan semangat atau etos pengembangan ilmu pengetahuan, melalui kajian mendalam atau disebut dengan istilah riset. Kegiatan membaca dalam pengertian yang luas dan mendalam, biasanya akan melahirkan kreativitas baru, atau kemampuan daya cipta. Demikian pula, perintah membaca yang didasarkan atas menyebut asma Allah, …iqra’bismirabbikalladzi kholaq , ternyata perintah membaca juga diikuti oleh keterangan tentang sifat Allah, yaitu Maha Pencipta. Sedemikian banyak sifat Allah swt., tetapi ternyata yang diperkenalkan terlebih dahulu di antara sifat-sifat-Nya yang mulia, adalah sifat Maha Pencipta. Melalui renungan terhadap sepotong ayat pendek ini, memberikan pemahaman yang amat jelas, tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Semestinya, ayat ini mengingatkan dan bahkan menggerakkan hati seluruh kaum muslimin, tentang betapa pentingnya riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hanya orang yang mau melakukan riset yang bisa disebut sebagai orang yang berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan, siapapun akan mengatakan, adalah merupakan pintu mendapatkan berbagai hal di muka bumi ini, baik terkait dengan keselamatan, kemakmuran, kejayaan, kebahagiaan, dan bahkan juga derajat yang tinggi. Lagi-lagi sayang sekali bahwa umat Islam, yang menyandang amanah besar dan mulia sebagai pengusung misi pengembangan ilmu pengetahuan ini, ternyata masih belum mampu mewujudkannya secara maksimal. Umat Islam terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, masih berada di posisi belakang dari umat lainnya. Akibatnya, posisinya masih menjadi pengikut, peniru, dan bahkan tertinggal jauh di belakang. Kaum muslimin, di berbagai belahan dunia, terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan masih sibuk menyelesaikan persoalan ilmu yang terkait dengan kegiatan spiritual dan atau ritual. Karena itulah tatkala berbicara Islam, maka yang muncul adalah wacana yang terkait dengan kegiatan sejenisnya itu. Sebagai akibatnya, kegiatan yang mengemuka bagi umat Islam hanya pada pengembangan spiritual dan atau ritual itu pula. Coba kita lihat misalnya, umat Islam hanya ramai dalam kegiatan-kegiatan di seputar masjid, puasa, sholat tarweh, umrah, dan haji. Bahkan jika mereka berdebat, maka yang diperdebatkan juga masih di seputar kegiatan ritual itu. Termasuk misalnya, jika menjelang tiba bulan puasa, idul fitri, dan idul adzha, banyak tokoh muslim di sementara negara bersilang-sengketa soal jatuhnya awal bulan itu. Ini semua kiranya terjadi sebagai akibat dari cakrawala pengembangan ilmu di kalangan umat Islam, atau dalam memaknai perintah ber-iqra’’, masih terbatas. Padahal semestinya, para ilmuwan harus ada keberanian memaknai kitab suci dan hadits nabi dalam kerangka yang lebih luas. Jika al Qurán memerintahkan agar memperhatikan bagaimana unta dijadikan, langit ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, maka semstinya akan lahir kegiatan riset atau penelitian di bidang biologi, kimia, fisika, geologi, kedirgantaraan, kelautan dan seterusnya, sebagai pengejawantahan dari perintah al Qurán tersebut. Lagi-lagi umat Islam dalam kaitannya dengan ilmu, masih mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Rupanya sampai saat ini kebanyakan kaum muslimin belum berhasil memaknai bahwa kegiatan riset untuk memahami ayat-ayat kauniyah di samping ayat-ayat qouliyah sebagai bagian dari keber-Islaman mereka. Peringatan Nuzulul Qurán yang diselenggarakan di berbagai tempat, semoga berhasil semakin menyadarkan akan betapa luasnya wilayah pengetahuan yang bersumber dari kitab suci al Qurán dan Hadits Nabi. Selanjutnya, setidak-tidaknya perguruan tinggi Islam, segera memposisikan diri sebagai pelopor pengembangan ilmu dalam perspektif yang luas dan bersifat universal itu, dan bukan hanya sebatas mengkaji hal-hal yang terkait dengan ritual dan spiritual, yang sebenarnya juga tidak pernah selesai itu. Dengan cara ini, yaitu memaknai al Qurán dan hadits sebagai sumber ilmu dan sekaligus kekuatan pendorong kegiatan riset yang sebenarnya, maka kiranya kaum muslimin akan segera mengalami kemajuan, kemenangan, dan kejayaannya. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *