Saya sering bertanya kepada diri saya sendiri mengapa saya mengalami konflik batin ketika melihat seorang mahasiswa senior—di kampung tempat tinggalnya disebut Ustad—yang tampak sopan dan santun di kampus itu ternyata di masyarakat sekitarnya menjadi buah bibir orang. Saya semakin gelisah ketika mengetahui bahwa mahasiswa tersebut sudah sering diminta memberikan kotbah dan ceramah-ceramah keagamaan di hari-hari besar Islam dan di kesempatan-kesempatan lain seperti pengajian ibu-ibu dan jama’ah tahlil di kampung-kampung. Dan, menurut informasi dari para jama’ah kotbah dan ceramahnya menarik, sehingga semakin hari banyak orang mengundangnya. Saya juga berpikir jelek bagaimana caranya memberitahu orang-orang agar tidak mengundang dia. Tetapi apa tindakan saya ini benar? Ketika memberikan kotbah atau ceramah, dia selalu berpakaian rapi, bertutur kata sopan dan halus dengan bahasa yang sangat menggetarkan hati pendengarnya. Dia ternyata memiliki bakat retorika yang bagus. Kepada jama’ahnya, dia suka menebarkan senyum ramah. Tetapi siapa sangka di sekitarnya dia sangat dibenci. Para tentangga menyebut dia sebagai biang kerok kampung. Hampir semua tetangga dekatnya pernah disakiti hanya karena persoalan-persoalan sepele. Siapapun yang pernah berhubungan dengan dia hampir pasti berakhir dengan pertengkaran. Anehnya, tidak ada orang yang berani menasihati, apalagi melawan. Padahal, dia selalu menantang untuk berkelai model apa saja jika bertengkar. Kadang-kadang saya bertanya “Benarkah dia seorang Muslim?”. Tetapi mengapa dia bisa berkotbah dan ceramah di mana-mana dan menarik banyak peminat? Lebih hebat lagi, dalam ceramahnya dia juga sering mengutip ayat dan hadis serta melafalkannya dengan sangat fasih. Saya benar-benar bingung mencari nalar penjelas perilaku mahasiswa Ustad sekaligus tetangga dekat saya itu. Hidup ini benar-benar bagaikan sandiwara. Kok bisa-bisanya. Di sekelilingnya dia sangat sadis terhadap tetangga, tetapi di luar dia berperilaku sangat baik dan banyak orang terkesima kehebatannya. Tapi saya terasa terhibur teringat lagu Niki Astria berjudul “Dunia Panggung Sandiwara”. Jadi segalanya memang bisa terjadi. Bukankah sekarang maling bisa berteriak maling? Pelopor demokrasi bisa malah menjadi pengkianat demokrasi seperti Amerika itu? Penegak hukum juga bisa menjadi pelanggar hukum nomor wahid? Pusing kan memikirkan dunia ini? Tapi, untuk soal-soal begini masa penjelasnya kok lagu Niki Astria? Nah, ketika secara tak sengaja saya membuka catatan-catatan kuliah saya yang amburadul, saya menemukan jawaban sebagai penjelas perilaku ustad tadi. Dalam catatan yang sudah agak kumal itu, ada seorang teoretisi hebat bernama Erving Goffman yang melahirkan teori yang disebut Dramaturgy. Intinya, menurut Goffman terdapat tiga ranah tindakan sosial berlangsung, yakni panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage), dan panggung luar (out stage). Pada masing-masing panggung, perilaku orang berbeda-beda, bahkan bisa berlawanan. Bisa saja, seseorang sehari-hari di rumah sangat sadis terhadap tetangga atau bahkan keluarganya sendiri, di luar berperilaku sangat baik, sebagaimana dipertontonkan sang ustad tadi. Ketika berada di panggung depan (front stage) dalam dramaturgi Goffman, seseorang berusaha menunjukkan performance sebaik mungkin untuk memenuhi kepuasan audience. Bagaimana berpakain, gaya bahasa, gerak gerik mimik dan tubuhnya dan lain sebagainya semuanya untuk memenuhi selera audience, bukan untuk dirinya. Karena itu, lanjut Goffman, perilaku ini bukan asli, tetapi perilaku dibuat-buat. Ketika berada di panggung belakang, tindakan seseorang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Perilaku seseorang di sini mencerminkan keasliannya, karena tidak dibuat-buat. Sementara panggung luar diartikan sebagai situasi nonformal di mana aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial tanpa mengganggu kebutuhan dan kepentingan yang bersifat personal. Berangkat dari fenomena perilaku sang Ustad dengan merujuk dramaturgi Goffman kita bisa sampai kesimpulan bahwa ada tiga jenis perilaku orang yang berbeda, tergantung pada ranah atau tempat kejadian serta tujuannya. Perilaku Ustad ketika di panggung sangat berbeda dengan perilakunya ketika di rumah dan lingkungannya. Perbedaan perilaku terjadi karena perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai. Karena, itu jangan terkecoh dengan perilaku seseorang ketika berada di panggung depan. Sebab, itu bukan perilaku sesungguhnya. Perilaku asli sang Ustad justru ketika dia berada di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Idealnya, seseorang bisa berperilaku sama di ketiga panggung. Tapi mungkinkah? Barangkali Erving Goffman yang harus menjelaskan lagi!
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang