Pendustaan Terhadap Agama

Akhir-akhir ini disebut-sebut ada pihak-pihak yang melakukan penistaan terhadap agama. Tentu mereka dikecam atas perbuatannya itu. Agama oleh siapapun tidak boleh dinistakan. Agama bagi pemeluknya adalah ajaran mulia yang harus dihormati dan juga diamalkan. Penistaan  teradap agama akan melahirkan kemarahan. Karena itu harus dihindari oleh siapapun.

  Dalam kitab suci al Qurán, disebutkan ada istilah pendustaan agama dan bukan penistaan agama. Agama bukan dinistakan, melainkan lebih banyak didustakan.  Para pendusta itu adalah orang-orang yang sehari-hari  sebenarnya shalat, tetapi melupakan akan makna shalatnya. Yaitu orang-orang yang riya’ dan lupa tidak memberi makan  orang-orang  miskin dan tidak memperhatikan terhadap anak yatim.    Acaman terhadap orang-orang yang mendustakan agama  cukup berat, yaitu  kelak akan dimasukkan ke neraka wael. Ancaman itu tentu berat dan apalagi datang dari Allah sendiri. Apa  saja yang dikatakan-Nya selalu  benar. Karena itu, mestinya siapa saja  yang mengimani pada al Qurán  akan sangat  takut disebut sebagai pendusta  agama.  Namun  sayangnya, peringatan al Qurán ini belum terlalu banyak mendapatkan perhatian. Orang-orang miskin, yang sehari-hari masih kesulitan mendapatkan makanan masih ada di mana-mana. Mereka mengais-ngais tong sampah, meminta-minta, tidak terkecuali di pinggir-pinggir jalan menuju masjid pada setiap hari jumát, sekedar untuk mendapatkan sedekah seikhlasnya. Ternyata banyak orang kaya masih belum memiliki perhatian terhadap mereka.    Jika untuk makan sehari-hari saja belum tentu mendapatkannya, maka lebih-lebih lagi adalah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Mereka mengambil tempat seadanya. Di antara  mereka membuat gubug-gubug di pinggir kali,  atau di mana saja yang memungkinkan. Sudah menderita seperti itu, kalau kedapatan petugas, mereka diusir, dimaki-maki dengan alasan merusak pemandangan lingkungan.    Jumlah orang miskin  sebagaimana digambarkan secara singkat di muka  jumlahnya amat banyak. Sehingga tidak mungkin seorang, apalagi kelebihan yang dimiliki  belum seberapa, bisa menanggulangi persoalan yang sedemikian banyak itu.  Akan tetapi, andaikan kaum muslimin secara bersama-sama tumbuh kesadarannya untuk menolong mereka, maka beban itu tidak akan berat. Misalnya, seorang yang berlebihan menolong atau mengentaskan seorang  keluarga, maka  persoalan itu akan terkurangi.   Dalam hal menolong orang miskin , tidak perlu  berpikir harus tuntas terselesaikan semuanya. Sebab tidak akan mungkin persoalan kemiskinan itu dihilangkan secara tuntas. Dalam kehidupan masyarakat selalu saja  terdapat orang-orang  miskin dan  tertinggal, disebabkan oleh kelemahan dan atau ketidak-berdayaannya masing-masing. Akan tetapi, jika setiap orang yang  berada mau mengulurkan tangannya  untuk memberi, maka persoalan itu akan berkurang.    Pekerjaan memberi sekalipun mulia memang berat dilakukan.  Padahal, justru telah memberi sesuatu kepada orang lain itu,  maka  akan mendapatkan nikmat yang luar biasa. Sementara orang mengira, bahwa  kenikmatan akan didapat dan dirasakan tatkala menerima, padahal kenikmatan itu akan dirasakan oleh orang-orang yang telah memberi sesuatu kepada orang lain.   Seringkali orang salah paham. Seseorang yang telah mendapatkan pemberian dari orang lain, dikiranya beruntung, karena telah mendapatkan sesuatu itu. Padahal  sebenarnya mereka  yang beruntung dan lebih berbahagia adalah orang-orang yang berhasil telah memberi. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan konsep ajaran Islam, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Pemberi lebih  utama  daripada orang yang menerimanya. Islam menganjurkan agar orang berposisi sebagai pemberi dan bukan sebagai penerima sumbangan.  Sebagai pengalaman, ——- dan sama sekali bukan bermaksud lain yang tidak perlu, suatu saat isteri saya  menginformasikan ada seseorang yang tidak memiliki rumah. Tempat yang ditempati selama itu sangat tidak layak, dan itupun  harus menyewa. Kamar yang hanya berukuran tidak lebih dari 10 meter persegi,  ditempati  bersama-sama anak dan cucu-cucunya. Melihat kenyataan itu, isteri saya rupanya membayangkan  atas penderitaan orang dimaksud.  Atas laporan itu,  saya usulkan agar tabungan yang dimilikinya dibelikan rumah kecil-kecilan,  dan diberikan kepada orang yang disebutkan tidak punya rumah  itu. Usulan itu tidak segera disetujui dengan alasan,  tabungan dimaksud  akan digunakan untuk  pergi umrah.  Saya mengatakan bahwa membelikan rumah, sekalipun  kecil dan sederhana, nilainya jauh lebih tinggi dari pada sekedar umrah. Akhirnya, usul saya tersebut disetujui, dan  dibelikanlah  rumah kecil-kecilan,  kemudian diserahkan kepada orang yang sangat memerlukan tersebut. Hal yang demikian sudah dua kali dilakukan, dan ternyata  dirasakan  nikmat olehnya. Kesediaan memberi  sekalipun mudah, ternyata harus dibimbing dan dilatih.   Saya mengatakan kepada isteri saya,  bahwa umrah adalah penting  dilakukan, tetapi jika ditinggalkan ——oleh karena  sudah pernah umrah dan haji, maka tidak mengapa. Namun jika meninggalkan dari memperhatikan orang miskin dan anak yatim, maka resikonya dianggap sebagai pendusta agama. Resiko itu sangat berat,  mungkin  kurang lebih sama dengan resiko  orang-orang yang akhir-akhir ini disebut menisakan agama. Menistakan dan mendusatakan agama, keduanya rasanya agak mirip.  Oleh karena itu, seharusnya sama-sama dihindari. Wallahu a’lam.      

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share