Peran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

Pendahuluan Berbicara PTAIN  dikaitkan  dengan pengembangan pendidikan, maka yang lebih relevan adalah  mengungkap tentang Fakultas atau Jurusan Tarbiyah. Sedangkan fakultas lainnya, kalaupun dibicarakan sebatas sebagai pelengkap. PTAIN, baik berupa STAIN,  IAIN, dan  UIN semuanya memiliki fakultas atau jurusan Tarbiyah. Bahkan menurut berbagai informasi, fakultas dan jurusan yang paling banyak peminatnya di lingkungan PTAIN, salah satunya  adalah fakultas dan jurusan ini. Dengan demikian lulusannya juga sudah cukup banyak, hingga  berhasil memenuhi kebutuhan guru agama  bagi madrasah di berbagai jenjang, sebagai  guru agama di sekolah umum dan bahkan juga perguruan tinggi.

  Selama ini  Fakultas dan atau jurusan Tarbiyah telah  berhasil melakukan peran sebagai penyedia calon guru agama dimaksud. Selain itu, dari hasil penelitian dan kegiatan akademik lainnya, fakultas yang tugas pokoknya  adalah mencetak calon guru agama juga melakukan peran-peran akademik, memberikan sumbangan  berupa  pemikiran,  atau konsep yang berhubungan dengan pengembagan pendidikan agama.   Fakultas Tarbiyah di beberapa IAIN dan UIN juga membantu pemerintah untuk melakukan tugas-tugas peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi guru yang tersebar di seluruh tanah air. Selain itu, beberapa fakultas yang ditunjuk melakukan training dan atau peningkatan kualifikasi guru agama, baik melalui program-program gelar maupun program-program jangka pendek berupa penataran guru, kepala sekolah, pengawas dan sebagainya.   Peran-peran itu sudah barang tentu masih akan berlanjut. Namun di hadapannya terdapat berbagai tuntutan, tantangan  dan problem yang tidak ringan diselesaikan.  Berbagai tuntutan dan tantangan itu  bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat dan juga tuntutan masyarakat yang semakin besar.   Sebagai gambaran tentang besarnya tuntutan dan tantangan  guru agama itu misalnya, bahwa dulu guru agama asalnya sudah menguasai bahan pelajaran agama berupa ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh dan bahasa arab sederhana, maka dianggap  sudah mencukupi. Akan tetapi sebagaimana disiplin ilmu lainnya, guru agama juga dituntut untuk memperluas wawsan keagamaannya agar relevan dengan tuntutan masyarakat. Guru agama dituntut mampu menjelaskan kaitan antara al Qurán dan hadits dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang selalu berkembang cepat.   Itulah sebabnya, peran PTAIN dan tidak terkecuali fakultas atau jurusan tarbiyah ke depan dituntut mengembangkan diri agar tetap bisa melakukan peran-peran strategis dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia secara maksimal. Oleh karena itu,  agar peran itu  berhasil ditunaikan secara maksimal maka, harus ada kemampuan membaca secara jernih dan tepat tuntutan masyarakat dimaksud. Gagal dalam melakukan pembacaan itu, maka  PTAIN akan kehilangan relevansinya di tengah-tengah masyarakat.   Tantangan Dan Harapan PTAN Ke Depan Saya melihat  bahwa sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat, luas dan mendalam, juga telah  berpengaruh terhadap tuntutan guru agama. Guru agama ke depan dituntut tidak hanya sebatas mengajarkan  tentang ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, bahasa arab, sebagaimana yang berjalan selama ini. Guru agama atau bahkan lulusan PTAIN akan dituntut untuk menerangkan Islam dalam berbagai perspektif yang luas.   Alam keterbukaan seperti yang terjadi sekarang ini, menuntut para agamawan, —–tidak terkecuali Islam, tidak hanya mengajarkan bagaimana ritual harus dijalankan, melainkan mampu menjelaskan wilayah Islam dalam pengertian yang lebih luas.  Orang di mana-mana belajar al Qurán dan hadits nabi dengan cara yang mudah dan terbuka. Kita lihat misalnya melalui alat-alat modern, kajian-kajian al Qurán dapat  dilakukan oleh siapapun dan di mana saja.   Semua itu artinya bahwa guru agama harus berani membuka diri seluas-luasnya dengan membekali diri berupa wawasan pemahaman kitab suci secara lebih mendalam dan luas. . Guru agama Islam yang hanya berbekal pemahaman berupa beberapa ayat al Qur’an  dan  terjemahannya, maka jelas  tidak akan  mampu merespon kebutuhan masyarakat.   Lebih-lebih pada dekade terakhir ini, Islam banyak dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan. Orang mulai sadar, bahwa dalam kitab suci al Qurán tersedia jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaan akademik. Setidak-tidaknya al Qurán sudah mulai dijadikan sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Maka jika demikian halnya, maka seorang lulusan PTAIN ke depan standar pengetahuannya harus meningkat jauh dari yang dihasilkan oleh institusi ini  pada tahun-tahun terdahulu.       Selain itu, para ilmuwan lulusan PTAIN harus mampu berdialog dengan kalangan yang lebih luas, yaitu yang beraneka ragam latar belakang kultur, budaya dan bahkan juga agamanya. Lulusan PTAIN dituntut mampu menggelar ajaran yang diyakininya dalam wilayah yang luas dan  tidak terbatas. Bahkan saya membayangkan, lulusan PTAIN harus mampu memberikan penjelasan yang cukup tentang al Qurán dan hadits nabi dalam berbagai perspektif  dan bahkan rasional.   Doktrin Islam  harus bisa dikomunikasikan secara rasional. Penjelasan yang bersifat fiqhiyah seperti haram, halal, makruh, mubah sekalipun itu tetap perlu tetapi akan tidak mencukupi lagi. Demikian pula pendekatan teologis, tentang  surga dan neraka, jumlah pahala yang didapat dari amal yang dilakukan,  harus disempurnakan dengan alam pikiran dan kebutuhan masyarakat modern.   Islam harus bisa diterangkan tidak saja sebagai agama, tetapi adalah  juga sekaligus sebagai peradaban yang luas. Dengan cara berpikir itu, maka Islam harus dimaknai sebagai ajaran yang membawa umatnya kaya ilmu pengetahuan, behasil melahirkan manusia unggul, menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, memberikan pedoman ritual untuk memperkukuh spiritualitas  dan  memperkenalkan konsep amal shaleh atau bekerja secara professional.   Sarjana PTAIN yang mampu memberikan pemahaman Islam yang  luas dan fungsional, serta relevan dengan tuntutan zaman seperti itulah yang ditunggu-tunggu masyarakat. Oleh karena itu, PTAIN dituntut untuk melakukan reorientasi visi dan misinya secara terus menerus, agar keberadaannya tidak tertinggal oleh perubahan zaman yang semakin cepat, namun  tetap berhasil memainkan peran-peranya di tengah masyarakat yang beraneka ragam.   Persoalan Yang Harus Dihadapi Setidaknya PTAIN menghadapi  tiga  persoalan yang sama-sama beratnya untuk diselesaikan.  Tiga persoalan itu adalah terkait dengan birokrasi pemerintah,  internal institusinya sendiri,  dan  masyarakat lingkungannya.  Ketiga hal itu harus dihadapi oleh PTAIN dalam mengembangkan dirinya agar mampu merespon tantangan masa depan.   Terkait dengan birokrasi, bahwa statusnya sebagai perguruan tinggi yang tersubordinasi oleh pemerintah, maka tidak akan memiliki keleluasaan untuk berkembang secara bebas. Pemerintah dengan alasan telah membiayai semua operasional PTAIN, maka  merasa berwenang  mengatur hingga tingkat detail-detailnya. Padahal  kebijakan pemerintah sendiri, selalu terikat dengan nomenklatur yang tidak mudah diubah. Tuntutan masyarakat sudah sedemikian cepat, namun sebaliknya,  para pejabat masih berpegang pada aturan yang kadang sudah usang dan harus ditinggalkan.   Perguruan tinggi mestinya  memiliki kebebasan, keterbukaan dan keberanian. Namun hal itu tidak pernah dimiliki.  PTAIN bisa dianjurkan untuk bergerak dinamis dan inovatif, tetapi selalu diikat oleh peraturan yang membelenggu.  Sebagai contoh sederhana yang dialami oleh fakultas dan atau jurusan tarbiyah adalah terkait dengan pengembangan program studinya, yang sebenarnya memang harus dikembangkan dan bahkan diubah.   Sejak madrasah berubah menjadi sekolah umum yang berciri khas agama, maka  semestinya fakultas dan jurusan tarbiyah di PTAIN sebagai institusi yang bertugas menyediakan guru bagi madrasah  juga  harus diubah.  Akan tetapi hal itu sangat sulit dilakukan, karena tidak tersedia pintu untuk mengubahnya. Maka akibatnya, lulusan tarbiyah ketika masuk menjadi guru di madrasah banyak yang disebut sebagai mismatch.   Persoalan berikutnya adalah terkait dengan internal institusi Fakultas atau Jurusan Tarbiyah sendiri. Membawa perubahan pada tingkat institusi yang melibatkan orang banyak ternyata juga tidak mudah. Semangat berubah ternyata belum tentu tersedia. Banyak orang hanya berpedoman pada apa yang terjadi pada masa lalu. Padahal agar selalu meraih kemajuan, maka  seharusnya selalu berpegang pada kebutuhan masa depan.      Selain itu cara berpikir, berbuat dan bekerja apa adanya masih selalu menghiasi kehidupan  di  sebagian  PTAIN. Perintah membaca dan berkreasi sebagaimana ditunjukkan dalam al Qurán dan hadits ternyata sangat sulit ditangkap oleh sebagian warga  PTAIN. Akibatnya  di mana-mana tidak terjadi inovasi, dan bahkan yang berkembang adalah sifat curiga, khawatir jika terjadi perubahan, dan menutup diri. Persoalan ini seringkali tidak mudah diselesaikan oleh pimpinan PTAIN.   Persoalan berikutnya adalah  datang dari stakeholder, yaitu masyarakat pendukung PTAIN. Misi PTAIN  sebagai  membawa pikiran baru seringkali berhadapan dengan pandangan masyarakat yang lebih menyukai kemapapan, lebih-lebih menyangkut keagamaan. Agama biasanya  bersifat  peka,  dan depensif terhadap segala perubahan. Jika PTAIN sudah diberi label yang kurang disukai,  semisal terlalu liberal, pluralis, dan apalagi radikalis, maka jangan berharap mendapatkan dukungan  dari masyarakatnya.   Persoalan tersebut jelas tidak  ringan menghadapinya. Jika pendekatan yang dilakukan  kurang tepat, maka bisa jadi akan ditinggalkan oleh pendukungnya. Di sini ada kontradiktif, antara misi perguruan tinggi dengan masyarakatnya. Sebagai lembaga pendidikan tingggi harus berhasil menemukan hal baru dari penelitian dan hasil kajiannya. Sementara hal baru itu selalu menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan dari masyarakatnya. Keadaan seperti ini, kiranya merupakan  konsekuensi logis agama dikaji oleh perguruan tinggi, sehingga jalan keluarnya   para pimpinan PTAIN  harus benar-benar memahami dan sekaligus cakap  mengelolanya.   Keberanian Mengubah Diri    Menghadapi persoalan tersebut di muka, maka agar fakultas atau jurusan tarbiyah tidak kehilangan  relevansinya dalam memainkan peran-perannya ke depan, maka perlu keberanian  melakukan upaya-upaya pembacaan diri secara cermat  maupun tantangan-tantangan eksternalnya yang semakin variatif, selalu berubah cepat,  dan bahkan radikal. Dari hasil bacaan itu, maka fakultas tarbiyah tidak cukup hanya mengedepankan tradisinya yang dijalankan selama ini. Fakultas  tarbiyah sebagai institusi yang memiliki misi di bidang pengembangan pendidikan, harus mampu melahirkan guru agama masa depan.   Sedangkan guru agama masa depan, bayangan saya bukan sebatas orang yang mengajarkan fiqh, tauhid, tarekh, akhlak dan tasawwuf di depan para siswanya di kelas-kelas.  Guru agama masa depan, harus akrab dengan kitab suci al Qur’an dan hadits Nabi plus  disiplin bidang ilmu yang dikembangkannya. Sebagai contoh sederhana, tatkala madrasah berubah menjadi sekolah umum yang berciri khas agama, maka  artinya  madrasah  bukan saja kemudian harus  menambah mata pelajaran umum dalam kurikulumnya dan mengurangi mata pelajaran agama dari jumlah sebelumnya.   Ciri khas  agama di sini harus dimaknai bahwa semua pelajaran di madrasah harus diwarnai oleh sumber-sumber ayat  qawliyah selain sumber-sumber berupa ayat-ayat kawniyah. Tidak masalah lulusan fakultas tarbiyah mengajar biologi, fisika, kimia, matematika, sosiologi, ekonomi dan lain-lain,  akan tetapi bidang ilmu yang diajarkan tersebut harus disempurnakan  dengan  bahan yang bersumber-sumber kitab suci dan hadits nabi. Penambahan sumber tersebut bukan berarti  mengurangi  forsi yang harus dicapai pada kurikulum tersebut.   Selain itu, pelajaran yang dikenal sebagai ilmu umum tersebut oleh guru lulusan fakultas atau jurusan tarbiyah bukan hanya diorientasikan pada upaya agar  para siswanya lulus ujian, baik ujian local maupun ujian  nasional. Mempelajari biologi, fisika, kimia, sosiologi dan lain-lain harus dipahami sebagai upaya mengimplementasikan  perintah al Qur’an dan Hadits Nabi agar mempelajari ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi.  Lebih dari itu,  pelajaran tersebut juga memiliki misi transcendental, yaitu  mengantarkan para peserta didik pada puncak keimanannya hingga secara ikhlas mereka mengakui keagungan Allah dengan  mengucapkan tasbih, takhmid dan tahlil.   Atas dasar pemikiran seperti  ini maka, guru agama  yang dihasilkan oleh fakultas atau jurusan tarbiyah mampu menanamkan dan membangun keimanan peserta didik melalui ilmu pengetahuan yang mendalam. Jika  sosok guru agama seperti ini yang akan diharapkan lahir dari fakultas dan jurusan tarbiyah, maka PTAIN akan menjadi pelopor dalam pengembangan pendidikan Islam di masa depan. Sebaliknya, jika hanya sebatas menjalankan peran-perannya sebagaimana aturan, dan bahkan nomenklatur yang ada, saya yakin PTAIN, khususnya di bidang pendidikan,  hanya akan  menjadi  pengikut dan bahkan posisinya selalu  di belakang.   Atas dasar pandangan seperti itulah maka dari PTAIN sendiri diperlukan keberanian melakukan inovasi, modernisasi, dan reformulasi  secara terus menerus tanpa mengenal waktu. Misi  besar yang diemban yaitu Islam harus berhasil mewarnai segala gerak perubahan dan  bahkan pelopor perubahan itu sendiri.  Hanya dengan cara ini, maka PTAIN akan berhasil melakukan peran-peran strategisnya dalam pengembangan pendidikan Indonesia di masa depan.   Penutup Peran-peran besar itu hanya akan terwujud manakala  PTAIN berhasil membangun manajerial dan leadership secara kokoh, iklim akademik yang tangguh, mampu membangun jaringan kerjasama dan kebersamaan yang luas. Selain itu, juga dituntut untuk berani  melakukan terobosan atau kebijakan di luar format yang ada yang lazim terjadi.   Saya menggambarkan fakultas dan atau jurusan  tarbiyah harus berhasil melahirkan orang-orang yang berpikiran dan berhati luas, yang semua itu sebenarnya adalah sebagai keberhasilan dalam menangkap pesan-pesan suci dari al Qur’an dan tauladan Rasulullah. Wallahu a’lam.   *) Makalah dipersiapkan sebagai bahan Seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,  pada hari Kamis, tanggal 11 Nopember 2010

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share