Beberapa hari yang lalu, saya sama sekali tidak memperhitungkan bahwa hari raya idul adzha pada tahun ini akan jatuh pada hari yang berbeda di antara umat Islam di Indonesia. Saya menduga begitu, karena hari raya idhul fitri yang lalu, kebetulan bisa bersamaan. Pada pikiran saya tergambar, jika awal bulan bersama, maka akan mengakhiri pun juga sama. Apalagi bahwa peredaran bulan akan selalu tetap, dan atau tidak berubah-ubah.
Atas dasar pandangan seperti itu, maka ketika ditanya oleh seorang Kyai melalui tilpun tentang kapan jatuhnya hari raya Qurban, tanpa berpikir panjang, saya menjelaskan bahwa sebaiknya kita tidak perlu hisab dan rukyah sendiri. Kita mengikuti saja apa yang dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia. Jawaban seperti itu saya sampaikan dengan pertimbangan, bahwa idhul adha berbeda dengan idhul Fitri. Pada Idhul Adha didahului oleh kegiatan wuquf di Arafah. Bagi orang yang tidak wukuf di Arafah, pada hari itu disunnahkan berpuasa. Karena itu puasa sunnah Arafah, semestinya dijalankan ketika jamaáh haji sedang wukuf itu. Oleh karena itu, mengapa harus mengitung atau menghisab dan juga harus rukyah sendiri. Menghitung atau melihat bulan biar saja dilakukan oleh para ahli yang akan menentukan hari wukuf itu saja. Sedangkan umat Islam lainnya agar mengikuti saja. Apalagi, letak dan waktu di Indonesia tidak terlalu berbeda jauh dengan waktu di Saudi Arabia, yakni hanya selisih sekitar empat jam. Umpama orang lambat sehari dalam menjalankan puasa Arafah, maka sebenarnya Arafah sudah sepi. Jamaáh haji sudah pada beralih ke Minna untuk melempar jumrah dan mabit di sana. Berbeda dengan itu, adalah tatkala menentukan awal dan mengakhiri Ramadhan. Para ulama’atau ahli di Indonesia perlu untuk melakukan hisab atau rukyah sendiri. Karena puasa yang dijalani tidak terkait dengan peristiwa lainnya, kecuali dengan datangnya bulan Ramadhan di wilayah itu. Bisa jadi ada selisih waktu antara di Indonesia dan di Saudi Arabia. Awal puasa di Saudi akan berbeda dengan awal puasa di Indonesia. Artinya waktu sahur di Saudi akan lebih lambat bilamana dibandingkan dengan waktu sahur di Indonesia, yaitu selisih empat jam itu. Sedangkan wukuf, satuannya bukan jam, melainkan hari. Pada hari yang ditentukan, jamaáh haji berwukuf. Sedangkan hari dan tanggal berwukuf, baik di Indonesia maupun di Saudi Arabia selalu sama. Selang sehari setelah memberikan penjelasan kepada Kyai tentang bagaimana menyikapi Idul Adha, saya mendapatkan informasi yang mengejutkan. Pemerintah Saudi Arabia, yang saya ketahui dari website Kementerian Agama, mengumumkan bahwa Idul Adha jatuh pada tanggal 16 Nopember 2010, sedangkan pemerintah Indonesia sendiri menetapkan pada tanggal 17 Nopember 2010. Artinya terdapat selisih sehari pelaksanaan wukuf di Saudi Arabia dan bayangan wukuf di Indonesia. Saya menyebut bayangan wukuf, karena ibadah itu hanya terjadi satu-satunya di Arafah, di wilayah Saudi Arabia itu. Perbedaan jatuhnya hari raya seperti itu memang sudah biasa. Sejak dulu perbedaan semacam itu sudah sering terjadi, antara pemerintah dengan organisasi sosial keagamaan lainnya. Banyak orang sebenarnya menginginkan jatuhnya hari raya bersama-sama, tetapi apa boleh buat para pemimpinnya belum menghendaki. Saya menyebut begitu, karena sebenarnya umat yang dipimpin selalu tergantung pada pimpinannya masing-masing. Umpama para pemimpinnya sama-sama menghendaki umat Islam ini bersatu, maka apa salahnya mereka berusaha menyatukannya, dengan cara ada pihak-pihak yang mengalah, demi persatuan itu. Akan tetapi, sebatas keinginan saja untuk bersatu, rupanya belum dimiliki. Oleh karena itu untuk sementara ini, sikap yang terbaik adalah, mengatakan bahwa perbedaan itu tidak mengapa. Siapapun boleh memilih hari raya, kapan saja sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Sebagai orang bawah atau makmum, tugasnya adalah mengikuti pemimpinnya. Hanya sayangnya para pemimpinnya belum sadar atas betapa pentingnya nilai persatuan itu. Keadaan seperti itupun juga tidak mengapa, karena Tuhan sebenarnya juga Maha Pengampun dan Maha Penerima Ibadah. Kita yakin bahwa atas sifat kasih sayang Allah, semua ibadah akan diterima asalkan dilakukan secara ikhlas. Perbedaan di antara pemimpin itu, harus kita pahami sebagai bentuk kehati-hatian mereka dalam soal menjalankan ritual atau beribadah. Sesuatu yang diyakini terkait urusan dengan Tuhan, maka harus dilakukan secara hati-hati. Apapun Tuhan harus dimenangkan di atas segala-galanya, termasuk dari upaya menyatukan umat. Akan tetapi, jika mau merenung secara mendalam, sebenarnya Tuhan sendiri melalui al Qurán juga berpesan bahwa menjaga persatuan antar umat manusia itu adalah penting dan harus selalu diupayakan. Namun karena rupanya para pemimpin umat ini masih terlalu berhati-hati dalam soal beritual, maka kebutuhan untuk menyatukan umat masih dianggap belum terlalu penting. Aspirasi ummat ternyata belum dihisab dan juga belum dirukyah. Mudah-mudahanlah ke depan, keyakinan mereka bergeser, sehingga berani memaknai bahwa menyatukan umat pun adalah bagian dari upaya memenangkan Tuhan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang