Pesantren Tahfidz Al Qurán

Hari Ahad, tanggal 10 Januari 2010 yang lalu, saya diundang oleh Pengasuh Pesantren al Munawariyah Sudimoro, Bululawang dalam acara wisuda para santri dan sekaligus peringatan Haul para pendirinya. Saya hadiri undangan itu, sekalipun datang agak terlambat, karena pagi itu berangkat dari Jakarta. Pada kesempatan itu, saya diminta untuk memberikan mauidhoh hasanah. Bagi saya pesantren al Munawaiyah ini sangat menarik. Pesantren yang kata pengasuhnya, Kyai Muhammadi Maftuh Said, sering disebut sebagai pesantren Unyil, karena sebagian santri-santrinya masih kecil-kecil, mulai umur 5 tahun. Sejak umur kanak-kanak itu, para santri diajak menghafal al Qurán. Pada acara itu, berhasil diwisuda 24 santri hafal al Qurán genap 30 juz. Kyai Maftuh memberikan penjelasan bahwa menghafal al Qurán bagi anak-anak justru lebih mudah. Biasanya, untuk menghafal al Qurán 30 juz memerlukan waktu antara 3 sampai 4 tahun. Akan tetapi, tidak sedikit anak-anak yang berhasil selesai lebih cepat. Pada acara wisuda itu, ada santri yang berhasil menghafal al Qurán 30 juz hanya dalam waktu 18 bulan saja. Prestasi lebih cepat lagi, diraih oleh santri yang diwisuda pada tahun sebelumnya, yakni hanya memerlukan waktu 15 bulan. Atas prestasi ini, Kyai Maftuh Said dan para ustadznya yang membantu sangat bangga. Mendengar prestasi itu, Saya yakin, semua orang juga senang dan memberikan apresiasi yang tinggi. Para santri yang belajar di pesantren ini berasal dari berbagai kota atau wilayah di seluruh Indonesia. Anak-anak yang masih berada di bawah umur 10 tahun dikirim oleh orang tuanya, agar mulai menghafal al Qurán. Saya menjadi ikut senang, ternyata kesadaran tentang betapa pentingnya menghafal al Qurán sejak dini, ternyata telah dimiliki oleh banyak orang di negeri ini. Terus terang saya terlambat mengetahui keberadaan dan prestasi pesantren yang tempatnya tidak terlalu jauh dari kota Malang ini. Saya sendiri menjadi tidak paham, kenapa informasi tentang prestasi yang sedemikian baik, saya terlambat mendapatkannya. Kiranya banyak factor yang menyebabkan. Di antaranya, mungkin selama ini perhatian terhadap pondok pesantren dengan berbagai cirri khasnya itu umumnya masih terbatas. Akibat keterlambatan mengetahui prestasi pondok pesantren itu, saya dalam berbagai ceramah, tatkala memberikan contoh tidak pernah menyebut pesantren al Munawariyah itu. Kalau menyebut lembaga pendidikan penghafal al Qurán khusus bagi anak-anak, saya selalu menyebut apa yang pernah saya lihat, misalnya di Baghdad, Teheran, Sudan, Mesir dan lain-lain. Selama ini, saya selalu menunjukkan kekaguman terhadap apa yang saya lihat di kota Qom, Iran misalnya. Anak-anak baru umur 8 atau 9 tahun di kota itu sudah berhasil menghafal al Qurán 30 juz. Saya selalu menceritakan, bahwa di kota Teheran tidak kurang dari 300 buah lemnbaga pendidikan penghafal al Qurán. Saya juga selalu sampaikan atas kekaguman saya terhadap anak-anak Qom yang berhasil menghafal al Qurán hanya dalam waktu 2 tahun. Bagi saya, itu adalah prestasi yang luar biasa. Kekaguman itu ternyata bukan saja saya sendiri yang merasakan, akan tetapi juga banyak orang lainnya. Buku-buku yang sedemikian banyak beredar, mengungkap tentang prestasi meng hafal al Qurán yang diraih oleh anak-anak berusia antara 8 atau 9 tahun, kebanyakan adalah menceritakan tentang apa yang terjadi di Iran. Saya yakin pembaca buku-buku itu akan mengaguminya. Mereka juga tidak membayangkan, bahwa apa yang terjadi di negeri yang kebanyakan penganut aliran syiáh itu, sesungguhnya juga telah diraih oleh anak-anak Indonesia, semacam di Sudimoro, Malang ini. Memang terasa aneh, prestasi pendidikan di negeri sendiri yang sesungguhnya jauh lebih unggul dari yang diraih oleh negeri orang ternyata tidak dikenali. Kita seringkali menganggap bahwa diri kita, desa, kota, dan negeri kita selalu lemah, dan selalu menganggap bahwa orang lain lebih maju. Atas dasar anggapan itu banyak orang bangga pergi belajar ke negeri orang, tidak terkecuali belajar agama, termasuk menghafal al Qur’an. Padahal apa yang ada di negeri kita sendiri justru lebih unggul. Di Iran berhasil menghafal al Qurán dalam waktu dua atau tiga tahun sudah disebut hebat. Padahal di Sudimoro, ——–belajar kepada Kyai Muhammad Maftuh Said, bisa selesai lebih cepat lagi, yakni ada santri yang hanya memerlukan waktu 15 bulan saja. Bejalar dari kenyataan itu, rasanya bangsa ini tidak saja memerlukan peningkatan di bidang ekonomi, tetapi juga rasa percaya diri. Kebanggaan terhadap prestasi yang berhasil diraih selama ini perlu ditanamkan secara meluas dan sungguh-sungguh. Perasaan rendah diri, selalu gagal, tertinggal dari bangsa lain perlu dihilangkan jauh-jauh. Perasaan serba rendah seperti itu, jelas tidak menguntungkan dan juga tidak melahirkan rasa syukur. Padahal hanya orang-orang yang pandai bersyukur saja yang akan ditingkatkan nikmatnya. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share