Resiko Berdemokrasi

Dua  orang tamu dari desa datang ke rumah saya.  Rupanya tidak ada maksud yang terlalu penting  dari kedatangan mereka itu,  kecuali bersilaturrahmi dan ingin mengungkapkan kekesalannya yang terjadi di desanya. Akhir-akhir ini, dirasakan oleh mereka bahwa kehidupan di desa sudah tidak seperti dulu lagi.  Hubungan antar warga masyarakat sudah tidak lagi dijalin atas dasar kekeluargaan, gotong royong, saling membantu, melainkan dalam banyak hal, sudah diwarnai oleh suasana transaksional.

  Apa yang digelisahkan dari pembicaraan itu, sebenarnya hanya sebagai dampak dari  pelaksanaan pemilihan kepala desa yang baru saja lewat. Pemilihannya itu sendiri  berjalan lancar, dan telah berhasil dilakukan  secara demokratis.  Hanya yang mereka gelisahkan adalah terjadinya  politik uang. Sekedar menjadi kepala desa, para calon  harus mengelurkan uang,  tidak kurang dari 500 juta rupiah. Padahal, imbalan sebagai kepala desa, ——baik tunjangan dari pemerintah dan hak mengolah tanah desa,    tidak seberapa luas.   Sebagai akibat  besarnya biaya pencalonan jabatan itu,  selang beberapa hari  dari pelaksanaan pemilihan itu, isteri seorang calon yang kalah sudah jatuh sakit, terkena  stroke. Diduga ia merasa kesusahan karena harus menanggung dua beban sekaligus, yaitu kekalahan suaminya  itu dan yang kedua,  harus mengembalikan  dana pinjaman yang telah digunakan untuk mencalonkan diri  itu.   Kedua tamu tersebut,  tidak saja  merasa kasihan  terhadap para calon yang telah menghabiskan apa saja yang dimiliki, ——-baik yang kalah maupun yang menang,  tetapi  mereka juga khawatir akan menurunkan nilai-nilai yang selama ini dijadikan pegangan bagi masyarakat.  Mereka menilai, bahwa demokrasi  itu sebenarnya baik. Akan tetapi    implementasinya ternyata membawa resiko yang tidak sederhana dan kecil. Hubungan antar warga,  seperti  kebiasaan saling percaya, tolong menolong, saling menghargai, dan sebagainya menjadi hilang. Belum lagi, dengan pemilihan kepala desa itu, banyak orang memanfaatkan momentum itu untuk berjudi, hingga banyak rakyat yang kalah dan  jatuh miskin.   Pelaksanaan kampanye yang disertai dengan pembagian uang kepada para pemilih, menjadikan masyarakat  tidak menghargai prestasi dan kualitas  kepemimpinan bagi  calon kepala desa, tetapi lebih banyak  mempertimbangkan siapa yang membayar banyak. Maka kemudian muncul pameo,  bahwa rakyat bukan memilih yang pintar, tetapi siapa yang membayar. Pemilihan bukan didasarkan atas pertimbangan yang terkait dengan kualitas kepemimpinan, seperti kecakapan, kejujuran, kearifan, dan sejenisnya, melainkan pada siapa yang dianggap menguntungkan  secara material.   Biaya besar untuk pemilihan kepala desa  seperti itu, sebenarnya telah terjadi sejak lama. Akan tetapi dahulu, kekuatan uang tidak sedemikian mencolok. Calon kepala desa, —–sebelum pemilihan, hanya sebatas memberi kesempatan rakyat datang ke rumah masing-masing calon, dan dijamu semuanya. Mereka bukan diberi uang seperti yang terjadi sekarang ini, tetapi sekedar diberi makan, sebagai symbol  ikatan persaudaraan.  Dengan cara itu dirasakan oleh rakyat,  bahwa  suasana kekeluargaan dan kebersamaan masih  dirasakan.   Setelah pemilih harus diberi uang, ——suara harus dibeli, maka yang terjadi  adalah bahwa   hubungan antara pemimpin desa dan rakyat,  bagaikan  pembeli dan penjual, atau bersifat transaksional.  Seorang naik menjadi pimpinan bukan karena prestasi, dedikasi, integritas, melainkan karena uang belaka. Jabatan kepala desa diperebutkan, bukan digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, melainkan  untuk  mendapatkan keuntungan  pribadi. Hubungan pemimpin dan rakyat bagaikan hubungan orang-orang di pasar. Di antara mereka masing-masing diikat oleh barang dan atau  uang. Padahal, semestinya bukan begitu, melainkan mereka seharusnya memiliki cita-cita dan   tujuan yang sama  untuk  diperjuangkan bersama pula.   Sebagai orang yang sama-sama berjuang, ——antara pemimpin dan rakyat,  harus ada ketulusan, komitmen, integritas , dan pengorbanan.  Dasar-dasar hubungan seperti itu akan melahirkan sikap kebersamaan, tolong menolong, peduli, empati,  dan lain-lain,  yang semua itu dijadikan sebagai dasar meraih kehidupan yang tenteram, damai, dan  sekaligus berkemajuan. Hal itu berbeda, tatkala semua nilai-nilai itu digantikan oleh uang. Hubungan antar sesama seolah-olah hanya ditentukan oleh besarnya uang, sehingga menjadi bersifat sangat materialitik.     Kehidupan seperti  digambarkan itulah yang menggelisahkan bagi masyarakat. Akibat pelaksanaan demokrasi menjadikan pimpinan  desa tidak memiliki kharisma atau kewibawaan. Ketulusan dan integritas sebagai pemimpin di mata rakyat diragukan. Kepala desa hanya dipandang sebagai pelayan administrasi yang diperlukan oleh  warga,  yang sehari-hari harus berada di kantor desa. Padahal peran pemimpin  desa, —–kepala desa, diharapkan tidak sebatas itu.   Kepala desa diharapkan melakukan multiperan.  Ia diharapkan mejadi pengayom, pembimbing, pelindung, tempat bertanya atau konsultasi, sebagai orang yang dituakan dan dijadikan anutan. Peran seperti itu tidak akan mungkin dilakukan  manakala  jabatan  kepala desa didapat hanya atas dasar uang. Peran tersebut bisa efektif, manakala kepala desa benar-benar berwibawa dan atau memiliki charisma. Padahal karisma atau kewibawaan tidak akan bisa dibeli  dengan uang, berapapun besarnya.   Lebih dari itu, berdasar pengalaman di beberapa tempat, —-menurut kedua tamu tersebut,    bahwa implementasi demokrasi seperti diceritakan itu  merupakan sumber atau awal terjadinya korupsi.  Seseorang yang memenangkan pemilihan kepala dengan biaya yang tidak sedikit, akan berusaha mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan sebelumnya  dari jabatannya itu. Maka, terjadilah banyak penyimpangan. Sebagai buahnya, kepala desa menjadi tidak berwibawa, nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi bersama diabaikan, dan tidak ada lagi orang yang dianggap bisa dijadikan pedoman bersama, karena semua sudah didasarkan atas besarnya uang. Keadaan  itulah yang menjadi kegelisahan banyak orang yang kemudian disebut sebagai resiko demokrasi yang selama ini dikira, bahwa  tatanan  itu  lebih baik dan menyenangkan. Wallahu a’lam.        

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share