Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Retorika SBY dan Pansus Bank Century

Masih ingat apa komentar publik mengenai pidato Presiden SBY sebagai sikap politiknya terhadap rekomendasi TIM 8 terkait kasus pejabat KPK Bibit-Candra? Umumnya komentar masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Ada yang menilai sikap Presiden SBY sangat tepat karena sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi tidak mau terjebak masuk dalam ranah hukum. Sebaliknya, ada yang menilai pernyataan Presiden SBY tidak jelas, berputar-putar sehingga membuat masyarakat semakin bingung. Semua sikap yang pro dan kontra dapat dibaca melalui berbagai media. Tulisan pendek ini ingin mengupas kembali pernyataan SBY dari sisi lain, yakni retorika. Dalam kajian hermeneutika, cabang ilmu filsafat yang khusus mengkaji makna melalui metode tafsir, dikenal ada metode part/whole, yakni sebuah pendekatan untuk menafsir sebuah realitas (apa saja — termasuk realitas teks) dengan asumsi dasar bahwa untuk memahami keseluruhan teks dilakukan dengan memahami sebagian dan sebaliknya untuk memahami sebagiannya dilakukan melalui pemahaman keseluruhannya. Berdasar pemahaman demikian, maka bisa diartikan bahwa untuk memahami retorika SBY tidak bisa hanya dilakukan dengan memahami teks pidatonya secara semantik. Perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, yakni whole tentang siapa SBY. SBY adalah orang yang meniti karier politiknya dari militer hingga berpangkat jenderal. Dia pernah memegang beberapa jabatan penting di negeri ini, sebagai Pangdam, Menkopolkam, Menteri ESDM, dan terakhir Presiden RI. Secara akademik, SBY sangat mumpuni karena dia adalah seorang doktor. Ditambah lagi kemampuan bahasa Inggrisnya yang sangat baik. Tetapi perlu diingat bahwa bagaimana pun SBY adalah orang Asia, Indonesia, dan Jawa. Kedua orangtuanya Jawa asli, hidup di Jawa, menikah dengan orang Jawa, dan tentu masih berbahasa Jawa. Singkatnya, dia hidup dalam sub-kultur Jawa.  Ada apa dengan kultur Jawa? Mengutip Kaplan, Kartomihardjo (1998) menyatakan bentuk retorika dalam satu bahasa berbeda dengan retorika bahasa lain, karena  dilandasi oleh logika yang ada dalam setipa budaya. Selanjutnya Kaplan membagi di antara bahasa-bahasa dunia terdapat setidaknya ada 4 (empat) macam bentuk retorika.. Pertama, retorika model bahasa Inggris yang tegas dan berpola pikir Platonic-Aristotelian yang bersifat linier dan to the point. Pola pikir demikian berlangsung di Barat sejak zaman Yunani Kuno, abad pertengahan, Romawi, Renaisans, hingga sekarang. Kedua, retorika bahasa Arab dan Persia yang diwarnai paralelisme yang berlebihan sehingga tidak jelas mana ide utama dan mana ide pendukung. Ketiga, retorika bahasa Franco-Italian, termasuk Spanyol, yang diwarnai oleh penggunaan kata-kata yang berbunga-bunga tetapi tidak menyentuh masalah intinya. Keempat, retorika model Asia — tentu termasuk Jawa— diwarnai dengan sangat kental oleh cara penyampaian maksud secara terselubung. Pokok pembicaraan tidak dinyatakan secara tegas dan langsung serta cenderung berputar-putar.  Karena itu, berbicara dengan orang Jawa jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan makud pembicaraan. Saya teringat bagaimana seorang mahasiswa yang kebetulan berasal dari kampung yang sama dengan saya datang ke rumah pinjam uang untuk membayar SPP. Bentuk retorikanya dimulai ucapan salam untuk saya dari kedua orangtuanya di kampung, menanyakan kesehatan saya dan keluarga, cerita tentang kuliahnya, kondisi orangtua yang hasil panen padinya tidak bagus, sampai akhirnya berceritera tentang waktu bayar SPP. Tak satu pun kata yang terucap bahwa dia mau pinjam uang. Tetapi dengan cerita dari awal hingga akhir tersebut dan dari bahasa tubuhnya, dengan jelas saya menyimpulkan bahwa dia perlu uang. Untuk itu, saya langsung bertanya berapa yang diperlukan. Dengan tertawa agak malu, dia menyebutkan angkanya. Berangkat dari tesis Kaplan tersebut di atas wajar jika retorika SBY, sebagai bagian dari pola pikir masyarakat Asia, digolongkan berputar-putar dan tidak to the point. Mengapa demikian? Secara antroplogis, pola pikir masyarakat Jawa lebih menekankan harmoni ketimbang konflik. Itulah sebabnya, SBY meminta masyarakat sendiri yang menilai sikap politiknya. Selaku pemimpin SBY ingin bersikap adil dan tidak memihak yang satu dengan mengorbankan yang lain. Dengan model retorika SBY tersebut  pihak-pihak yang berkonflik — KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan TIM 8 sebagai Tim Pencari Fakta—, tidak saling kehilangan muka. Akhirnya terbukti dengan bentuk retorika seperti itu permasalahan Bibit-Candra dapat diselesaikan dengan baik dan sekarang masing-masing institusi penegak hukum tersebut dapat saling bekerja sama. Karena pola pikir Jawa yang cenderung berputar-putar dan maksud utama terselubung, maka  para politisi di DPR terutama yang tergabung dalam Pansus skandal Bank Century, jangan tergesa-gesa menangkap ucapan SBY yang memerintahkan supaya kasus Bank Century dibongkar selebar-lebarnya dan sejelas-jelasnya agar masyarakat tahu duduk persoalan secara jelas pula. Tetapi kenyataannya, ketika Pansus sudah  hampir sampai tahap akhir dan masing-masing fraksi sudah mengeluarkan draf rekomendasi, fraksi dan penggede-penggede Partai Demokrat sibuk melobi fraksi lain untuk “menghaluskan”  isi rekomendasi. Kita tunggu bersama bentuk retorika rekomendasi Pansus. Sebab, bagaimana pun para anggota Pansus adalah orang-orang Indonesia — bagian dari Asia — yang bentuk retorikanya juga berputar-putar dan maksud  yang sesungguhnya juga terselubung !

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *