Untuk mengisi waktu luang hari minggu, —-sebagaimana biasa, saya pergi ke pedesaan. Minggu lalu, saya lupa nama desa yang saya kunjungi. Saya masih ingat tempat tersebut, hanya lupa tidak menanyakan nama desa itu. Saya baru sadar bahwa nama desa itu penting saya ketahui setelah pulang, nyampai di rumah kembali.
Bagi saya, alam pedesaan sangat menarik. Rumah-rumah belum terlalu padat. Di samping rumah, masih ada kebun, ternak sapi, atau kambing. Pohon-pohon dan tanaman masih tumbuh dan rindang. Demikian pula orang-orangnya, mash tampak santun, mereka hidup saling mengenal, guyub, dan peduli sesama. Kebersamaan, terasa sekali, masih menjadi kebutuhan utama. Keindahan lainnya, tampak dari suasana yang menunjukkan, bahwa orang tua masih sangat dihargai. Dalam perjalanan ke pedesaan minggu lalu, saya singgah di mushalla kecil. Tempat ibadah di desa itu sudah kelihatan tua. Keaadaannya sederhana, dan saya lihat kayu-kayu bagian atas sudah mulai lapuk. Bahkan beberapa bagian tembok mushalla itu sudah ditambal. Tatkala bertemu dengan takmir yang sedang berada di tempat itu, saya menawarkan untuk memperbaiki bersama-sama. Tawaran saya tersebut disambut gembira. Namun dia akan lapor kepada orang-orang tua terlebih dahulu. Mereka mengatakan, bahwa kebiasaan di desa ini, hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama, harus memberi tahu kepada orang tua di desa. Bisa saja mereka memutuskan, akan tetapi untuk menghormati orang tua, harus minta izin terlebih dahulu. Saya menyetujui pendapoat tersebut, dan saya sanggupi akan datang lagi Desa yang saya kunjungi sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Malang. Akan tetapi karena tidak ada akses jalan besar, dan berada di pinggiran, komunikasi kurang, sehingga nuansa pedesaannya masih terasa sekali. Pengurus mushalla tersebut mengaku, kebetulan juga merangkap sebagai wakil RT. Ia mengatakan bahwa penduduk di wilayahnya ada 104 KK. Umumnya mereka bekerja sebagai petani, peternak sapi, dan buruh atau kuli bangunan. Mushalla yang hanya satu-satunya di tempat itu, selain untuk shalat berjama’ah beberapa orang, juga dijadikan sebagai sarana berkumpul. Memang, tidak semua warga RT di kampung itu rajin berjama’ah. Menurut catatan, semua penduduknya beraga Islam. Akan tetapi, sebagian hanya sekali-sekali saja datang ke mushalla, yaitu ketika ada tahlil atau istighasah bersama, dan juga ketika datang bulan Ramadhan untuk shalah tarweh dan pada hari raya untuk shalat Id. Mushalla tersebut juga digunakan sebagai tempat belajar mengaji bagi anak-anak di sore hari. Semua kegiatan dijalankan atas dasar suka rela. Anak-anak yang mengaji, tidak ditarik SPP atau biaya lainnya. Bagi guru mengaji di mushalla itu, yang penting anak-anak bisa belajar agama. Menurut penglihatan mereka, bahwa anak-anak yang rajin mengaji, perilakunya ternyata lebih baik dari yang tidak. Sehingga, jika di desa itu terdapat anak nakal, atau kurang hormat kepada orang tua, dan sejenisnya, maka disebut karena tidak mau mengaji. Hal yang menarik lainnya, bahwa sekalipun ekonomi masyarakat masih tergolong lemah, menurut informasi, kampungnya selalu aman. Sejak ada mushalla tidak pernah ada judi, sabung ayam, meminum minuman keras, dan bahkan juga tidak pernah terdengar ada pencuri. Dulu katanya, sebelum ada mushalla, ada saja pencurian, walaupun yang dicuri juga sederhana, misalnya radio, type recorder dan sejenis itu. Sejak ada mushalla, mereka mengaku, keadaannya menjadi aman, tidak pernah ada kejadian apa-apa, sekalipun tidak ada petugas jaga. Mushalla bagi masyarakat desa, atau bahkan di mana saja, keberadaannya memang sangat penting. Masyarakat selalu membutuhkan terpenuhinya dua jenis kebutuhan sekaligus, yaitu kebutuhan pribadi dan kebutuhan bersama. Rumah tangga dan seisinya adalah merupakan kebutuhan pribadi keluarga yang harus terpenuhi. Sedangkan masjid atau mushalla adalah kebutuhan dan sekaligus dimiliki bersama. Temp[at ibadah itu banyak fungsinya, termasuk adalah untuk membangun kebersamaan dan kohesifitas di antara mereka. Atas kenyataan itu, membangun masyarakat, akan menjadi lebih strategis jika dimulai dari mushalla atau masjid. Rasulullah sendiri tatkala membangun masyarakat Madinah juga memulainya dari masjid. Masjid itu dijadikan sebagai tempat tempat berkumpul, tempat belajar, mengembangkan ilmu pengetahuan, kegiatan sosial, dan juga menjalankan berbagai kegiatan ritual. Masjid dan mushalla di Indonesia sudah sedemikian banyak, namun pemanfaatannya ke depan masih perlu ditingkatkan lagi. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang