Pada zaman sekarang ini, mencari rizki oleh banyak orang dirasakan sulit. Untuk mendapatkan penghasilan, orang harus bekerja keras.  Sedangkan mencari pekerjaan itu sendiri juga tidak mudah. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Mencari pekerjaan, apalagi kota besar, seseorang harus memiliki ketrampilan. Tanpa memiliki ketrampilan tertentu, jangan berharap seseorang mendapatkan pekerjaan.
 Selain itu, agar diterima bekerja di suatu tempat orang harus jujur atau dapat dipercaya. Tanpa kejujuran, maka tidak akan diterima atau bertahan lama, sekalipun yang bersangkutan memiliki ketrampilan. Sebab orang yang tidak jujur akan merugikan dan bahkan membahayakan. Terampil dan jujur adalah dua kekayaan yang harus dimiliki dan dipelihara sebaik-baiknya.  Sekalipun demikian sulit  mendapatkan rizki itu, tetapi menurut ajaran Islam, harus diperoleh secara selektif. Terkait dengan rizki, bukan asal dapat dan juga berjumlah banyak. Bagi kaum muslimin, rizki harus benar-benar selektif, baik dari jenis bendanya ataupun juga cara mendapatkannya. Kaum muslimin tidak boleh memakan benda yang diharamkan, misalnya bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih tidak dengan menyebut asma Allah.  Selain hal yang disebutkan itu, harta yang didapatkan dari cara yang tidak halal juga tidak boleh dimakan dan dimilikinya.  Harta yang didapat dari hasil curian, merampok, korupsi, menipu, judi, dan juga lainnya yang merugikan orang lain atau tidak mendapatkan ridha dari pemiliknya, maka juga haram atau tidak boleh dikonsumsi atau dimiliki.  Dalam ajaran Islam, harta harus didapat secara halal dan bendanya pun harus baik, sehingga disebut halalan,  thayyiban dan mubarakan. Halal artinya dibolehkan atau tidak ada larangan mengkonsumsi atau memilikinya. Thayyiban artinya baik, dalam arti cara mendapatkannya maupun jenis harta itu. Bangkai dan darah tidak boleh dimakan karena tidak baik bagi kesehatan. Demikian juga barang curian atau hasil korupsi tidak baik, karena cara mendapatkannya itu merugikan orang lain.  Harta bagi kaum muslimin juga harus disucikan. Cara mensucikannya adalah dikeluarkan sebagian sebagai zakat. Dalam harta seseorang terdapat hak bagi orang lain. Para fakir miskin, dan orang-orang yang memerlukan lainnya, memiliki hak dari harta yang dimiliki oleh seseorang setelah memenuhi standard tertentu. Memberikan sebagian harta kepada yang berhak itu artinya adalah suatu cara mensucikannya.  Selain zakat, masih ada lagi harta yang seharusnya dikeluarkan untuk kepentingan orang lain, yaitu  lewat shadaqah, infaq, wakaf, dan hibah. Berbagai jenis pengeluaran itu, bukan berarti untuk mengurangi hingga pemiliknya mengalami kerugian, tetapi justru sebaliknya, adalah untuk menyelamatkan. Dengan berbagi, maka fungsi harta menjadi maksimal, yaitu bahwa pemiliknya menjadi aman dan selamat dari fitnah atau gangguan orang lain. Selain itu, akan terjadi silaturrahmi yang kokoh antara mereka yang berpunya dan yang berkekurangan. Dengan cara itu, kebersamaan dalam Islam akan selalu terjaga.  Dalam Islam, bekerja untuk mendapatkan rizki atau hata kekayaan sedemikian penting. Namun harta kekayaan menurut ajaran Islam, tidak saja diukur dari jumlah atau nilai besarnya. Sedemikian kaya seseorang, akan tetapi jika kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak benar dan juga jenis kekayaan itu tidak halal, maka  tidak dibolehkan, dan bahkan pemiliknya justru dipandang rendah.  Oleh karena itu, kemuliaan seseorang dan bahkan juga suau bangsa tidak cukup dilihat dari jumlah dan besarnya kekayaan yang berhasil telah dikuasai. Kekayaan bagi kaum muslimin harus selektif. Kekayaan memang bisa meningkatkan derajat atau  kemuliaan seseorang, tetapi  manakala harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan juga jenisnya yang baik. Dalam Islam ada konsep yang disebut tazkiyah, adalah proses pensucian diri, termasuk mensucikan lewat harta kekayaannya. Mereka itu yang benar-benar mulia dan dimuliakan oleh Allah.  Kekayaan yang melimpah, tetapi diperoleh dengan cara yang tidak benar,  dan atau juga jika kekayaan itu  tidak disucikan, maka tidak akan mengantarkan pemiliknya ke derajad yang mulia. Sebaliknya, orang miskin akan lebih mulia di mata Allah daripada seorang kaya yang hartanya diperoleh dari cara yang tidak benar. Pada tataran empirik,  para koruptor yang bergelimang dengan harta, ——dan akhirnya masuk penjara,  jauh lebih nista atau tidak terhormat, dari pada petani miskin yang rizkinya  sehari-hari diperoleh dari hasil bertani yang halal dan baik. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang