Adagium ‘tidak ada teman abadi, tetapi kepentingan abadi dalam politik’ sangat tepat untuk menggambarkan gonjang -ganjing politik di Tanah Air akhir-akhir ini yang mengguncang partai penguasa saat ini antara bendahara Partai Demokrat Nazaruddin dan Ketua Umumnya. Anas Urbaningrum. Pasalnya setelah disangka melakukan tindak korupsi dan melarikan diri ke luar negeri sejak 23 Mei 2011, Nazaruddin melalui wawancara di tempat yang dirahasiakan dengan stasiun televisi TV One and Metro TV mulai ‘menyanyi’ siapa saja yang terlibat menikmati dana APBN dalam pembangunan proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang. Padahal, keduanya adalah sama-sama petinggi partai penguasa dan selama ini sangat dekat. Anas sebagai Ketua Umum dan Nazaruddin sebagai bendahara. Dalam organisasi apa saja hubungan keduanya bagaikan sejoli yang saling mendukung jika diinginkan organisasi berjalan lancar. Ketua Umum sebagai pemimpin tertinggi yang membawa ke arah mana organisasi akan dibawa, bendahara sebagai fasilitator yang mengakomodasi semua keperluan sang pemimpin. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah organisasi berjalan jika hubungan keduanya rusak.
Lewat wawancara rahasia itu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi pihak yang paling dirugikan dalam ‘nyanyian’ Nazaruddin. Sebab, Nazaruddin yang dikenal Anas sejak 2004 menyebut bahwa kemenangan Anas Urbaningrum dalam pemilihan Ketua Umum PD di Bandung tidak lepas dari politik uang yang dibagi-bagikan pihak Anas ke para pemilik suara yang menghabiskan dana hingga mencapai 20 juta dolar. Padahal, Anas selama ini berkali-kali dengan gaya khasnya yang tenang mengelak semua tuduhan bahwa kemenangannya karena menggunakan money politics. Tanpa money politics, Anas tidak akan menang. Sebab, sesuai pengakuan Nazaruddin, Anas sebenarnya tidak begitu dikehendaki oleh pihak Istana yang memilih Andi Malarangeng. Nazaruddin juga menelanjangi KPK dan beberapa anggota DPR yang menikmati dana pembangunan wisma atlet tersebut. Tak ketinggalan, ‘nyanyian’ Nazaruddin juga menyeret Gubernur Sumatera Selatan. Semua kata-kata Nazaruddin tentu saja ditolak Anas dengan mengatakan bahwa Nazaruddin berbohong dan hanya melakukan halusinasi belaka yang bertujuan untuk menghancurkan nama baik Anas secara sistematis. Dalam versi Anas, ulah Nazaruddin tidak saja ingin menghancurkan dirinya selaku Ketua Umum, tetapi juga Partai Demokrat. Ibarat permainan dalam drama, perseteruan Nazaruddin dengan Anas sudah mendekati titik klimaks. Kita tidak tahu bagaimana akhir dari drama politik ini. Sebagai orang awam dan rakyat jelata, saya tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, apa semua pengakuan Nazaruddin atau penolakan Anas. Sebab, masing-masing memiliki alasan pembenar sendiri-sendiri. Tulisan ini tidak bermaksud mengadili mana yang salah dan mana yang benar, karena bukan kapasitas saya untuk melakukan itu, selain saya pasti tidak mampu. Tetapi tulisan ini merupakan uneg-uneg saya sebagai salah seorang anak bangsa yang merasa sangat prihatin dengan semua kejadian yang menimpa negeri ini lewat tangan-tangan jahat para koruptor. Betapa tidak! Kasus mafia pajak yang menyeret Gayus belum tuntas, kini kasus korupsi dengan versi lain terungkap. Sebelumnya tragedi keuangan dalam kasus dana Bank Century yang mengeruk dana negara trilyunan rupiah juga belum terselesaikan hingga kini. Seperti Nazaruddin, Gayus juga ‘menyanyi’ ketika disidang di pengadilan. Banyak pihak disebut Gayus sebagai penerima dana haram hasil korupsinya. Selain itu, Gayus juga menyebut beberapa orang yang terlibat dalam aksi mengemplang dana pajak. Sebab, sebagai pegawai kelas rendah, Gayus tidak mungkin melakukan kejahatan pajak sendirian. Korupsi di negeri ini sudah merupakan kejahatan kolektif. Di saat ini pula KPK masih sedang menangani kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai wakil gubernur senior BI. Anehnya, KPK yang diharapkan sebagai lembaga yang mampu memberantas korupsi sepertinya mandul menangani kasus-kasus besar tersebut. Bisa diduga bahwa banyak orang kuat di balik kasus-kasus besar itu, sehingga sulit dibongkar secara tuntas. Dari MK juga terbongkar kasus surat palsu terkait sengketa Pemilu 2009 di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan. Diduga pengurus teras Partai demokrat Andi Nurpati terlibat kasus tersebut. Nazaruddin aneh. Tidak seperti buron kasus korupsi yang lain yang biasanya menyembunyikan diri dari publik, Nazaruddin yang kini menjadi buron interpol justru muncul lewat media walau di tempat yang rahasia dan membuka borok para elite politik Partai Demokrat. Wawancara Nazaruddin membuat merah telinga para petinggi Partai Demokrat. Masyarakat menjadi tahu apa yang selama ini terjadi di tubuh partai penguasa itu. Nazaruddin tidak saja meledek pemerintah dengan terang-terangan, tetapi juga menampar wajah presiden SBY yang bertekad memberantas korupsi. Jika apa yang disampaikan Nazaruddin itu benar, maka betapa bobroknya negeri ini. Betapa tidak! Nazaruddin adalah bendahara partai penguasa di mana SBY sebagai pembina partai adalah presiden saat ini. Sebagai presiden, SBY menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas pemerintahannya. Itu sebabnya SBY terpilih hingga dua kali masa jabatan karena masyarakat memang merindukan negeri ini bebas dari praktik korupsi. Sebagai bangsa, kita malu negeri ini dilabel sebagai salah satu negei terkorup di dunia. Dampak dari korupsi luar biasa. Masih terdapat 30 juta lebih rakyat miskin dan belum menikmati hasil pembangunan sama sekali hingga saat ini. Anehnya, justru salah seorang petinggi partai SBY sendiri menjadi salah seorang koruptor. Ironis dan memalukan. Hingga saat ini belum banyak komentar yang muncul dari partai politik lain terkait kasus Nazaruddin. Tetapi tampaknya kasus Nazaruddin akan menjadi bom waktu bagi partai politik lain pada suksesi 2014. Jika beberapa kasus yang melilit Partai Demokrat akhir-akhir ini tidak mampu diselesaikan dengan baik, maka sangat sulit bagi PD mencapai angka kemenangan 30% pada pemilu mendatang sebagaimana amanat Kongres di Bandung. Selain itu, PD yang tidak bisa lagi mencalonkan SBY sebagai presiden karena alasan yuridis bisa menjadi bulan-bulanan para lawan-lawan politiknya. Semua lawan tentu merekam dengan baik ocehan Nazaruddin. Entah benar apa salah, ucapan Nazaruddin merupakan senjata ampuh untuk merongrong Partai Demokrat yang mentargetkan memenangi pemilu yang akan datang. Banyak yang memprediksi PD akan turun suaranya seiring dengan berakhirnya kekuasaan SBY. Sebab, kejayaan PD bukan karena program-program partai yang baik, melainkan personifikasi SBY sebagai pembina secara pribadi. Karena itu, ketika sang pembina sudah akan turun dari gelanggang politik yang berkuasa, kondisi internal PD tidak solid, sehingga bisa mempengaruhi perolehan suara pada pemilu 2014. Ini mengingatkan kita apa yang terjadi pada Golkar ketika Soeharto selaku pembina sudah turun dari kekuasaan. Golkar goyah dan kader-kadernya yang selama ini menjadi tulang punggung roda organisasi keluar dan ikut partai lain. Ujungnya, Golkar tidak lagi menjadi partai pemenang peda beberapa pemilu terakhir. Mencermati drama politik yang dilakukan Nazaruddin, kita menjadi bertanya-tanya apa ini buah dari gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru pada 1998. Keributan dan penyelewengan kekuasaan seolah menyertai perjalanan kehidupan bernegara. Dana pembangunan wisma atlet untuk perhelatan SEA Games yang mestinya dijalankan dengan penuh amanah karena membawa nama baik bangsa dan negara di bidang olah raga di kancah bangsa-bangsa Asia Tenggara diselewengkan. Pajak dikorupsi, keputusan MK tentang sengketa pilkada dipalsukan, dana Bank dibobol, jaksa tertangkap basah menerima suap adalah sekadar gambaran bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang bersih masih jauh dari kenyataan. Kita tentu berharap praktik korupsi di negeri ini bisa diakhiri. Kita mendambakan para elit politik dan penyelenggara pemerintahan adalah orang-orang yang bersih dan penuh amanah untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara. Tetapi jika membaca gelagat terus merebaknya para elit politik terlibat korupsi, kita tidak yakin bahwa praktik korupsi akan segera berakhir. Tampaknya, masih banyak Nazaruddin-Nazaruddin yang lain yang ngemplang uang negara dan melarikan diri ke luar negeri setelah dinyatakan sebagai tersangka. Sebagai wong cilik, kita semua hanya bisa berucap “astaghfirullah”, semoga Tuhan masih berkenan mengampuni dan meyayangi bangsa ini. Sebab, di luar Nazaruddin masih banyak warga yang jika di tengah malam bangun tidur untuk bersujud dan berdoa memohon pertolongan dan ridho-Mu. Yang beragama lain juga masih banyak yang masih rajin pergi ke tempat-tempat ibadah mereka dengan penuh harapan lewat lantunan doa yang dipanjatkan. __________ Malang, 22 Juli 2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang